Mourinho, dirimu bukan yang dulu lagi

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mourinho, dirimu bukan yang dulu lagi

AFP

Mengapa pemain selalu menjadi kambing hitam kesalahan yang sebenarnya dia ikut andil di dalamnya? Mourinho kini telah berubah, kehilangan nilai-nilai lama yang justru telah membuatnya sukses

JAKARTA, Indonesia — Dalam buku biografinya, salah seorang penyerang terbaik dunia saat ini Zlatan Ibrahimovic punya kesan mendalam terhadap Jose Mourinho. Menurut dia, pelatih yang kini menangani Chelsea itu layaknya sosok komandan perang yang begitu loyal terhadap anak buahnya.

“Mourinho adalah sosok yang aku akan rela mati untuknya,” kata bomber Paris Saint-Germain tersebut dalam bukunya, I Am Zlatan.

Dalam sebuah jamuan makan antara pemain dan keluarga saat mereka masih bersama di Inter Milan (2008-2009), Mourinho bertemu dengan Helena, kekasih Ibra—sebutan Ibrahimovic. Di depan Ibra, dia berkata, “Helena, misi kamu hanya satu: beri Zlatan makan, biarkan dia tidur, usahakan agar dia selalu bahagia.”

Striker Swedia tidak menduga Mourinho akan berkata seperti itu. Tapi dia tertawa mendengarnya. Pelatih kelahiran Setubal, sebuah daerah pinggiran di Lisbon, itu mengatakan demikian agar Ibra tampil prima di lapangan. Tidak direpotkan dengan urusan Helena.

“Orang ini berkata semaunya. Tapi aku menyukainya. Dia adalah pemimpin pasukannya. Tapi dia juga sangat peduli. Dia akan mengirimiku SMS setiap waktu. Bertanya apa yang sedang aku lakukan,” kata Ibra.

Mourinho dan Ibra berpisah di musim berikutnya, 2009-2010. Manajer yang kini berusia 52 tahun itu memutuskan tetap bertahan di raksasa Italia tersebut dan mempersembahkan prestasi terbesar sepanjang sejarah Inter Milan: treble winner (menjuarai Liga Champions, Serie A, dan Coppa Italia).

Pelatih yang menuntut loyalitas

Bukan kali itu saja Mourinho mendapat loyalitas “tanpa batas” dari anak buahnya. Kapten Chelsea John Terry juga pernah memberikannya di periode pertama Mourinho menangani Chelsea (2004-2007).

“Mourinho membuat kami seolah-olah diserang banyak pihak. Tapi, itu justru membuat kami semakin solid. Kami bertarung mati-matian di lapangan untuk memberikan bukti kepada orang-orang yang membenci kami,” kata Terry.

Mourinho adalah pelatih dengan pendekatan psikologis yang luar biasa. Pendekatannya kepada pemain sangat dahsyat. Tapi justru dari situ dia mendapatkan banyak loyalis. Orang-orang yang rela mati untuknya di lapangan.

Sekalipun dia sudah meninggalkan klub tersebut, beberapa pemain masih sangat mencintainya. Loyalitas adalah salah satu kekuatan Mourinho.

Ketika Chelsea menjuarai Liga Champions pada musim 2011-2012, sosok yang dipuji pemain justru bukan manajer saat itu, Roberto Di Matteo.

Mereka mampu melewati hadangan klub-klub besar seperti Barcelona dan Bayern Munich di final justru karena gaya yang diwariskan Mourinho. Bertarung habis-habisan sebagai satu kesatuan tim.  Atau dalam bahasa yang lebih klise, dalam sebuah kebersamaan.

“Semuanya dimulai dari dia. Meski dia tidak ada di sana, semangatnya bersama kami semua. Dari dirinyalah semua semangat ini berasal,” kata legenda Chelsea Frank Lampard dalam sebuah penganugerahan gelar di Savoy, seperti dikutip Guardian.

Mourinho akan melakukan segalanya untuk pemain. Dia melindungi mereka dari keputusan wasit, tekanan suporter, bahkan tekanan manajemen. Sebaliknya, para pemain akan membayarnya dengan bertarung habis-habisan di lapangan.

Saat Adriano stres berat di Inter Milan dan performanya menurun, dia berkata kepada media. “Setiap kali anakku bermain PlayStation, dia selalu memasang Adriano sebagai penyerang utama,” katanya.

Ketika menangani Chelsea atau Inter, seringkali terlihat bagaimana dia begitu emosional setiap kali pemainnya mencetak gol dan memenangi pertandingan.

Di Inter Milan, dia akan berlari masuk lapangan menuju kiper Julio Caesar kemudian melompat dan memeluknya seperti anak kecil yang bertemu ayahnya.

Ketika menyingkirkan Barcelona di Liga Champions 2009-2010 di Camp Nou, Mourinho berlari ke seberang tribun hanya agar bisa menunjuk-nunjuk para suporter Inter Milan yang datang untuk mendukungnya.

Bukan tanpa alasan manajer yang mengawali karir sebagai penerjemah di Barcelona itu menggunakan strategi tersebut. Beberapa tim yang dia latih adalah klub dengan talenta yang pas-pasan. Jika dia memaksa adu talenta dengan lawan-lawannya, mereka akan kalah melawan tim-tim besar.

Tapi, hal itu hanya berlaku saat dia menangani FC Porto (2002-2004), Chelsea (2004-2007), dan Inter Milan (2008-2010). Setelah itu, pendekatan loyalitas tak lagi dilakukannya. Di Real Madrid, dia justru memiliki banyak “hater”.

Masalahnya, Mourinho bukan orang yang tepat untuk dilawan. Dia akan melawan balik. Bahkan lebih keras. Iker Casillas yang mendapat “gelar” orang suci dari para suporter, dicadangkan. Sergio Ramos pun mendapatkan kritik tajam darinya.

Nilai-nilai lama yang hilang

TOTTENHAM VS CHELSEA. Laga Tottenham Hotspurs melawan klub sekotanya, Chelsea di Liga Primer Inggris pada Minggu, 29 November. Foto oleh Gerry Penny/EPA

Lantas, bagaimana dengan Chelsea?

Mourinho bukan lagi orang yang sama di klub London Barat tersebut. Loyalitas bukan lagi sesuatu yang dia upayakan. Tapi lebih sebagai tuntutannya kepada para pemain. Jika dulu dia selalu melindungi para pemain, kini dia justru yang menjadikan mereka kambing hitam.

Dia mengkritik habis-habisan para pemain di depan umum. Tak hanya pemain muda, bahkan pemain senior pun menjadi korban. John Terry dia tarik saat kebobolan di laga melawan Manchester City. Branislav Ivanovic diganti pemain 19 tahun Ola Aina yang bahkan namanya belum tercatat di Wikipedia! Nemanja Matic yang masuk menggantikan Ramires, diganti lagi 27 menit kemudian oleh Loic Remy. 

“Mereka berbuat salah. Karena itu mereka harus diganti,” katanya

Mourinho kini bukan lagi pemimpin pasukan. Sosok yang begitu mencintai pemainnya itu kini menjadi bos perusahaan besar yang hanya menuntut produktivitas karyawannya. Dan marah besar saat pendapatan perusahaan menurun.

Lihat saja performa Chelsea saat melawan Leicester City, Selasa 15 Desember dini hari. Mereka bermain dengan rasa takut berbuat kesalahan. Tanpa inisiatif. Bek Kurt Zouma dengan jelas melihat Jamie Vardy berlari ke arahnya. Tapi dia diam dan memilih untuk hanya menjaga garis pertahanan bersama bek lainnya.

Eden Hazard terjatuh dan memutuskan sendiri bahwa dirinya tidak bisa melanjutkan pertandingan. Ternyata, pekan depan dia sudah bisa bermain lagi. Lantas, cedera apa yang membuat Hazard sampai harus mundur dari pertandingan? Mourinho sendiri juga meragukan bahwa cedera itu serius.

Mourinho menuding mereka “berkhianat”. Padahal, berkhianat dan sekadar bermain buruk adalah dua hal yang berbeda. Apakah ada yang membocorkan strategi tim ke lawan? Atau itu hanya strategi Mourinho untuk cuci tangan.

Para pemain Chelsea berada dalam tekanan yang luar biasa, justru dari manajernya sendiri. Mourinho perlu mempelajari kembali nilai-nilai lamanya. Nilai yang kini sangat akrab dengan yang dilakukan Juergen Klopp di Liverpool. — Rappler.com

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!