Dunia yang diharapkan para ibu untuk anak-anak Indonesia

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dunia yang diharapkan para ibu untuk anak-anak Indonesia
Seperti apa dunia yang diharapkan untuk anak-anak Indonesia dari sudut pandang seorang ibu? Apa ancaman terbesar bagi anak-anak?

Kongres Perempuan Indonesia pertama kali diadakan pada 22-25 Desember 1928. Inilah cikal bakal yang menjadikan setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.

Tapi tulisan ini tidak akan membahas bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia memaknai dan merayakan Hari Ibu, melainkan berbicara tentang peranan para wanita ini dalam mempersiapkan generasi mendatang.

Rappler bertanya kepada sembilan perempuan Indonesia lintas profesi tentang:

  1. Seperti apa dunia yang diharapkan untuk anak-anak Indonesia dari sudut pandang seorang ibu?
  2. Apa ancaman terbesar bagi anak-anak Indonesia masa kini?

Berikut jawaban mereka: 

Dewi Rezer (Selebriti, presenter, model)

Presenter Dewi Rezer. Foto dari Instagram/@rezerdewi

1. Dunia yang tidak penuh dengan kebencian dengan kebencian dan rasisme. Dunia yang mengajarkan anak-anak untuk bersabar, contoh sederhananya, bisa mengantri tanpa rebut-rebutan. Karena banyak sekali orang dewasa sekarang pun yang suka menyelak antrian. Dari kecil memang sudah diajarin untuk tahu hal-hal seperti itu. Dan dunia yang tahu etika juga. Intinya, dunia yang penuh cinta.

2. Salah pendidikan. Anak-anak zaman sekarang banyak yang belum mengerti SARA. Contoh salah pendidikan seperti ajaran-ajaran agama yang salah. Rasisme. Mereka masih ada yang suka membeda-bedakan suku, dan segala macamnya, bukan diajarkan keberagaman. Stereotyping juga menjadi masalah. Saya sering dengar orangtua berkata pada anaknya, “Eh si itu kan anak orang Cina.” Orang tua itu pengaruh nomor satu. Mereka harus memberi contoh kepada anaknya. 

Ledia Hanifa (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI 2014-2019, Fraksi PKS) 

Ledia Hanifa (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI 2014-2019, Fraksi PKS)

1. Dunia yang diinginkan bagi anak-anak adalah dunia di mana mereka bisa tumbuh sesuai usia dan tahap perkembangannya. Mereka juga bisa terlindungi dari kejahatan, bisa berekspresi, dan mengoptimalkan potensinya.

2. Ancaman untuk anak-anak kita hari ini justru orang dewasa yang belum bisa menyediakan dunia yang seperti saya sebut di atas, misalnya kita lihat dengan adanya pornografi, human trafficking, dan lain sebagainya.

Kita bicara bonus demografi, itu soal kuantitas. Sedangkan kalau kualitasnya, skill, dan kompetensi mereka tidak memadai karena dunia yang tidak mendukung proses perkembangan mereka, justru akan jadi disaster.

Shinta Kamdani (Ketua APINDO, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kerjasama Luar Negeri, dan CEO Sintesa Group) 

1. Bagi seorang ibu dapat melihat anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan dalam lingkungan yang baik adalah suatu pengharapan yang harus diwujudkan menjadi kenyataan. Hal itu bisa menjadi keniscayaan jika ada kolaborasi yang baik antara keluarga dengan unsur pendukungnya.  

Artinya begini, keluarga menjalankan perannya dengan memberikan pendidkan yang baik dari sisi keilmuan dan budi pekerti, termasuk agama. Saat peran keluarga dalam mendidik anak-anak adalah maksimal yang kemudian ditopang dengan lingkungan eksternal yang kondusif, maka modal yang cukup sudah tersedia guna mencetak penerus generasi bangsa yang unggul.  

Lalu di mana harapan seorang ibu bisa digantungkan? Dari sisi eksternal, maka mencakup lingkungan rumah, sekolah, dan umum. Lingkungan rumah akan terkelola dengan baik jika masing-masing keluarga menjalankan fungsinya dengan baik, berkolaborasi dengan unsur pendidik di sekolah, dan keamanan yang dijamin dari sisi pemerintah. 

2. Saat keluarga tidak bisa menjadi “rumah” di mana ia merasakan “pulang” ke tempat yang seharusnya menjadi oase dimana ia merasakan kenyamanan dan rasa aman secara lahiriah dan batiniah. Tatkala keluarga bukanlah menjadi tempat yang nyaman maka berbagai ancaman dari luar seperti pergaulan yang cenderung negatif seperti narkoba akan masuk tanpa filter. 

Sinta Nuriyah Wahid (Ibu Negara Republik Indonesia keempat)

Sinta Nuriyah Wahid (Ibu Negara Republik Indonesia keempat). Foto dari Wikimedia

1. Bagi seorang ibu, yang diharapkan anak-anak di masa mendatang, tenang, tentram, damai., dan penuh kasih sayang. Dapat mengembangkan bakatnya semaksimal mungkin, demi kebaikan umat manusia di muka bumi ini. 

2. Ancaman terbesar bagi anak-anak saat ini adalah narkoba. 

Kolonel Penerbang Veronica (Prajurit TNI AU, eks penerbang) 

1. Kalau saya itu prinsipnya, pendidikan itu nomor satu. Bagaimanapun kita sebagai orang tua ingin anak kita itu “jadi” (maksudnya jadi itu sukses, khas bahasa orang Jawa, Red) karena anak itu amanah. Selain pendidikan teori, anak-anak juga harus tumbuh dengan diberikan pendidikan akhlak yang baik. Itulah harapan saya tentang dunia yang ideal bagi anak-anak kita, sebagai ibu. 

2. Saya melihat ancaman untuk anak-anak itu lebih berat terutama datang dari efek negatif pergaulan. Karena sekarang anak-anak kan berkelompok-kelompok. Kalau dulu, misalnya, jelas main ke rumah siapa, situasi keluarganya bagaimana, sekarang situasi berbeda. Kelompok-kelompok ini ada yang positif tapi ada banyak juga yang negatif sehingga menjerumuskan anak-anak kita misalnya ke narkoba dan gerakan radikal.  

Paila alias Menuk (Buruh gendong, kadang jualan pas musim rambutan, di Pasar Beringharjo, Yogyakarta) 

Paila alias Menuk (Buruh gendong). Foto oleh Mawa Kresna/Rappler

1. Saya itu cuma buruh gendong, enggak bisa berharap banyak. Saya pengennya, ya kerja itu tidak susah, jangan sampai anak-anak nanti jadi buruh seperti saya. Apalagi cuma buruh gendong. Sehari cuma dapat Rp 30 ribu, mentok Rp 50 ribu.

Kalau kerjaan susah, apa-apa serba mahal nanti kasian anak-anak. Anak saya saja tidak mau lanjut sekolah lagi gara-gara kasihan lihat ibunya tiap hari dari Kulonprogo naik bus ke Beringharjo jadi buruh gendong. Pulang capek, kalau malam kadang minta dipijetin.

Saya mau melarang, ya, tidak bisa. Karena maunya anak seperti itu. Ya, kalau begini saya cuma berharap Pak Presiden kerjanya baik, biar rakyat juga hidupnya makin enak. Intinya jangan sampai anak-anak jadi buruh seperti saya. 

2. Ya, kalau enggak dapat kerja, jadi pengangguran. Di desa enggak punya sawah, mau kerja apa? Luntang-lantung enggak jelas. Kalau anak saya saja enggak kerja, itu saya juga sedih. Gimana uang cuma mengandalkan orangtua, padahal jadi buruh seperti ini penghasilan cuma berapa. Kalau misal Rp 50 ribu dapat, naik bus bolak-balik sudah Rp 20 ribu.

Kalau enggak punya kerjaan mau makan apa? Semua-semua sekarang serba mahal. Pakai duit semua. Mau ke WC saja bayar, lho. 

Budi Setyawati (Buruh di PT Amron yang bergerak bidang ‘manufacturing’ elektronik) 

Kalau menurutku, semua anak itu mengharapkan kenyamanan dalam keluarga. Sebagai seorang ibu yang bekerja, seringkali saya kurang ada waktu bersama dengan anak. Jadi sekarang ini, kita harus tahu dan harus memahami kemauan dari anak. Dalam soal waktu, misalnya, kita harus tahu kapan harus bersama dengan anak. Menyesuaikan waktunya dengan mereka. 

Berbeda dengan orang-orang tua zaman dulu yang sering banyak mendikte kita, kalau sekarang sekarang kita harus lebih mengerti pada kemauan anak. Sekarang kita harus bisa mengeksplorasi keinginannya, bakatnya, dan minatnya. Sebab, anak-anak itu dunianya berbeda sekali dengan kita. Mereka mau apa, minat apa, itu yang harus kita ikuti. 

Dunia anak sekarang itu memang tak lepas dari perkembangan tekonologi dan informasi. Tapi teknologi ini tidak semuanya positif terhadap anak. Jadi, memang saya harus sering periksa-periksa handphone mereka. Sekarang itu kan globalisasi lebih canggih, tinggal kita mengikuti tarik ulurnya sebagai orang tua. Prinsipnya kita harus menjadi ibu yang harus dihormati tapi juga tidak ditakuti. 

2. Pergaulan bebas. Sekarang anak-anak SMP saja sudah punya film porno. Sudah ada cinta-cintaan. Kalau di rumah, anak itu safety banget. Kita lindungi. Tapi kalau sudah di luar, haduh. Di dalam rumah itu bisa saja mereka manis, tapi kalau di luar itu merokok. Itu karena pergaulan. 

Jadi yang saya takuti, dan sama dengan orang tua lainnya, yaitu seks bebas dan narkotika. Tapi kalau bisa itu, anak itu dipasang GPS aja, jadi kita bisa tahu keberadaan mereka di mana. Apalagi kalau anak-anak yang sudah mendekati dewasa, seperti anak-anak SMP atau SMA. 

Yunni Jatiningsih (Ibu yang menjadi orangtua tunggal) 

Yunni Jatiningsih (orangtua tunggal). Foto dok pribadi

1. Dalam hal lingkungan, anak perlu tumbuh dengan cinta dan kasih sayang. Konon kalau di dalam hati anak kita ada rasa kasih, maka mudah untuknya berperilaku tanggung jawab, jujur, mendukung, dan bekerjasama.

Ternyata dengan memupuk sikap “kompetisi” di dalam diri anak adalah salah. Dulu kan sering orang selalu bilang, “Nak, kamu harus pintar dan harus masuk PTN (perguruan tinggi negeri)”. Atau harus kuat dan besar badannya supaya teman-teman takut dan enggak ganggu lagi. 

Itu sama saja dengan membuat anak harus selalu menang dari yang lain. Dan pasti ada yang kalah. Nah, kondisi ini ketika anak menjadi dewasa ada dorongan kompetisi.. Padahal di “dunia dewasa” banyak hal yang membutuhkan kerjasama. Filosofi orang Jawa salah satunya adalah “menang tanpo ngasorake,” artinya kita berusaha menang tanpa ada yang dikalahkan. Kalau menang semua sama dengan sukses semua. Indonesia pasti akan lebih baik.

Jadi jangan bersikap kompetitif, tapi bersikap kerjasama saling dukung. 

2. Ancaman terbesar adalah televisi. Karena pengaruh televisi yang dilihat selama beberapa jam saja akan memengaruhi. Apalagi kalau kita sambil tiduran, otak bawah sadar kita yang merekam kejadian-kejadian yang disiarkan. Korupsi, pembunuhan, perkosaan, hidup mewah-mewah, itu merusak.

Mariani Renville Hutasoit (Ibu rumah tangga)

1. Saya ingin anak Indonesia lebih maju dan pendidikan moral lebih digalakkan atau ditingkatkan lagi. Karena kemajuan anak-anak Indonesia tergantung dari moral yang diberikan keluarga dan pendidikan yang diayomi mereka.

2. Saya melihat masih banyak anak-anak di luar sana yang putus sekolah dan tidak bisa belajar untuk menunjang moral dan pendidikan mereka.

—Dengan laporan Abdul Qowi Bastian, Uni Lubis, Haryo Wisanggeni, Febriana Firdaus, Irham Duilah, Mawa Kresna, Mutyara Yediza/Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!