Bicara seks: Perempuan, berhentilah menjadikan diri sebagai ‘korban’

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara seks: Perempuan, berhentilah menjadikan diri sebagai ‘korban’
Mengapa Nikita Mirzani tak berhak menyandang diri sebagai 'korban'

Selalu ada pilihan.

Saya biasanya menulis tentang hal yang sedang atau sudah saya alami, karena menulis adalah sarana katarsis dan terapi bagi saya. Atau kadang saya menulis hal yang bisa saya amati, saya dengar, lalu saya proses.

Lalu bagaimana saya bisa menulis tentang Nikita Mirzani? Wong saya enggak pernah ada di posisi Nikita Mirzani (uang banyak dan cepat sih, tapi enggak mau deh, makasih), enggak pernah tahu ada teman yang “pakai” Nikita Mirzani (“pakai”, kok jelek banget pemilihan katanya, ya?), pun enggak pernah tahu ada teman yang memilih hidup dengan profesi seperti Nikita Mirzani (bah, kenapa pilihan katanya jadi serba politically correct begini, enggak suka deh).

(BACA: Penangkapan Artis NM dalam dugaan prostitusi online

Ya, gimana mau dapat informasi atau insight, teman laki-laki saya jajannya kelas recehan atau malah gratis. Kalau enggak main ke Kota atau pijat atau, ya, fuckbuddy-an. Laki-laki yang ada di usia dan level finansial membayangkan bagaimana rasanya punya uang Rp 65 juta lalu dipakai buat short time

“Mending buat DP rumah”, atau “Mending buat bayar cicilan”, atau “Memang ada bedanya ya rasanya yang Rp 65 juta?”. 

Ya, kalau teman saya sudah enggak ambil pusing dengan uang Rp 65 juta atau 7.000 USD dan membawa perempuan jalan-jalan ke Eropa tanpa pusing sih, artinya saya masuk lingkarannya Setya Novanto, kali (kenapa jadi Setnov? Karena kasus ini ramainya berbarengan. Jadi yang terlintas, ya, nama beliau). 

(BACA: Serangkaian kasus yang menyeret nama Setya Novanto

Di sisi lain, teman-teman lelaki saya juga mementahkan pernyataan Nikita bahwa dia adalah korban. “Gue enggak pernah percaya dalam prostitusi artis itu mereka adalah korban”, atau “Lah, orang dia yang pasang harga pilih tempat dan dapat bagian paling gede”, begitu argumennya. Sebagai perempuan, pikiran saya kurang lebih sama sih sama teman-teman laki-laki saya (Aaargh… Saya merasa conflicted dan berstandar ganda). 

Pertama kali tahu tarifnya Rp 65 juta, rasanya kesal. “Bok, gue sekolah susah susah cari duit sambil kerja, cari kerja memilih sesuai passion, butuh berapa artikel, berapa kata dan enggak tidur berapa bulan buat dapat Rp 65 jutaaa..???!!!”. 

Enggak adil banget sama yang dalam waktu sekian jam (efektif sekian menit doang pula), bisa dapet Rp 65 juta. Sudah S2 dua kali lah saya, atau berangkat kuliah ke luar negeri. Atau nyicil rumah.

Lalu kesal juga dengan label “korban” yang dipakai sebagai dalih Nikita. Celah dalam Undang-Undang Prostitusi di negeri ini memang besar sekali. Lagipula belum ada undang-undang yang tegas mengatur tindak tanduk di dunia maya (ya, makanya pada pindah ke dunia maya, wong hampir enggak ada aturan. Giliran buka situs tentang feminisme malah diblok Kementerian Komunikasi dan Informasi. Piye, sih?). 

Susah memang membuat hukum yang landasannya bukan keadilan atau perlindungan, tapi moral. Moral ibarat tunnel vision, kacamata kuda. Kacamata moral yang digunakan seseorang tak bisa dipaksakan ke orang lain. Dan sayangnya, hukum, yang berlandaskan moral, itu buta. Makanya dipakailah dalih bahwa “saya korban”.

Dalih klise yang dipakai karena dipercaya secara umum karena perempuan dipercaya at the receiving end of sex, jadi pihak yang pasif, yang “dipaksa”, yang “enggak ada pilihan lain”. Membuat perempuan percaya dia “lemah” dan enggak ada pilihan lain.

Padahal ada teman laki-laki lain yang bilang, “Apaan, korban tapi doyan. Ada juga yang minta nambah ke gue,” (sewaktu saya cerita soal tulisan ini dan minta masukan. Entah dia menyombong atau apa, tapi ya lumayan bikin ternganga lalu ngakak).

Enggak ada yang percaya kalau Mbak itu korban deh, Mbak Niki. Laki-laki (ya, minimal teman-teman laki-laki saya, sampel acak maksimal yang mewakili populasi laki-laki di Jakarta) enggak ada yang percaya Mbak adalah “korban”. Bagaimana bisa jadi “korban” kalau (konon) Mbak yang menentukan tarif dan tempat pertemuan. Lalu pakai Undang-Undang Perdagangan Manusia. Mbak mempermainkan hukum yang dibuat untuk melindungi mereka yang benar-benar jadi korban perdagangan manusia: Diperdaya, tak berdaya, di bawah ancaman fisik, dan tak memiliki akses atas perlindungan hukum.

Kalau melakukan dengan sadar, atas pilihan pribadi, atas pertimbangan rasional (finansial atau apapun), punya pilihan dan bisa menentukan syarat dan ketentuan, bahkan bisa mempermainkan hukum (sedih amat ya negara ini, hukum aja dipermainkan, apalagi perasaan hahaha), ya bukan “korban” lah namanya. 

Power bottom itu mah.

Gampangnya, power bottom itu kesannya, sih, jadi korban. Padahal ya, membiarkan diri (seolah) jadi korban supaya si counterpart merasa memegang kendali. Padahal itu semua memang sudah direncanakan. Itu power play, permainan relasi kuasa.

Nah, di satu sisi saya salut juga sama Mbak. Itu pilihan berani, lho. Sekaligus mudah. Ya enggak mudah juga sih, tentu sudah melewati banyak tahap sampai seks bisa jadi banal dan transaksional.

Tapi mengapa jadi power bottom kalau kita bisa sepenuhnya memegang kuasa? 

Saya dan teman perempuan saya sempat menghitung. Semisal sekali transaksi Rp 65 juta. Enggak usah setiap hari transaksi, deh. Cukup seminggu 2 kali. Lalu enggak usah sampai “kerja” beberapa tahun deh. Nilai jual pasti kan akan turun, seiring bertambahnya tarikan gravitasi terhadap anggota tubuh tertentu kan (duh, bahasa gue). 

Cukup lah terima klien 2 kali seminggu selama tiga bulan. Bayangkan. Minimal bisa lah DP rumah atau apartemen, lalu nutup kartu kredit, lalu daftar kuliah S2 lagi di luar. Terus pengalaman sebulan itu ditulis jadi buku, hidup dari royalti, deh. Jakarta Underbelly judulnya hahaha.

Kalau alasannya ada gaya hidup yang harus didukung, bukankah investasi yang saya sebut di atas lebih berkelanjutan? (duh, bahasanya kaya press release instansi). Sesuatu yang bisa lebih berkesinambungan bagi masa depan dibandingkan harus jadi power bottom, dipanggil berulang kali sama polisi, dan pakai alasan yang sama setiap kali? Mbak Niki, same tricks don’t work twice

Atau ya, barangkali menjadi in power itu jalan yang lebih susah. Banyak perempuan-perempuan lain memilih jalan lebih terjal untuk mengambil kendali atas hidupnya. Terus belajar, bekerja, atau belajar sembari bekerja di tengah kemacetan ibu kota, bergulat dengan asap, rasa tidak aman, pelecehan di mana-mana, untuk datang busting your ass off mempelajari teori baru atau berkutat dengan deadline, masih pula berhadapan dengan tekanan sosial untuk menikah, bereproduksi, manut sama pasangan, belum lagi pergulatan diri, rasa tidak nyaman dan tidak aman, dan seterusnya hanya untuk bertahan hidup. Tapi barangkali jalan itu memang bukan buat semua orang. Hanya untuk yang mau ambil resiko dan kuat saja.

Terus saya jadi kesel gitu. Kok ya, enggak adil ya. Sementara banyak di luar sana perempuan-perempuan lain di luar sana yang benar-benar berjuang, jadi korban yang sesungguhnya, menghadapi ancaman fisik, tanpa perlindungan, tak dijamin oleh otoritas, yang bahkan bertaruh nyawa hanya agar bisa berdikari, dan lepas dari label “korban, eh label korban seenaknya dipakai untuk lepas dari jerat hukum yang dilanggar penuh kesadaran”.

Kata teman perempuan saya malam itu, “Hidup lebih gampang kali ya jadi orang cantik?”. 

Enggak juga. Lepas dari visualnya Mbak Niki, perempuan yang terbiasa percaya bahwa penampilan fisiknya bisa membawa kemudahan, ya akan memilih jalan itu. Percaya bahwa kekuatannnya ya di situ. Dan seringkali percaya kekuatannya hanya di situ. Mudah dan cepat. 

Ih, gemes deh sama Mbak Nikita. (BACA: 5 hal kontroversial tentang Nikita Mirzani)

Walau demikian, saya tetap ingin ada produk hukum yang melindungi Mbak Nikita andai Mbak kenapa-kenapa saat “bertugas”. Bagaimanapun, sebagai perempuan, Mbak berhak mendapat perlindungan hukum yang sama sebagai warga negara. Bayar pajak juga, kan? Lain lho kasusnya tapi, perlindungan hukumnya bukan disalahgunakan buat kejadian seperti pas “bertugas” kegep begini. Tapi digunakan bilamana fisik Mbak benar-benar terancam. Dengan produk hukum yang netral, tanpa menyalahkan Mbak atas profesi yang Mbak pilih. Eh, tapi ini sih utopis banget ya. Padahal harusnya hukum kan tidak melihat alasan serta memukul rata moral ya.

Eh, tapi kalau menurut Mbak orang lain munafik karena melihat foto seksi Mbak lalu menghina, ya jangan munafik juga dengan pakai semua dalih yang di atas tadi. 

Saya percaya semua ada alasannya. Pasti ada alasan kenapa mbak Nikita memilih melakukan hal itu (eh, tapi kok ya ketahuan berkali-kali sih). Semua alasan valid tentu. Apakah untuk biaya hidup, biaya membesarkan anak, apapun. Itu valid, setidaknya bagi pelaku. 

Nah, tapi saya juga percaya setiap manusia selalu punya dan ada pilihan lain. Saya percaya Mbak punya jauh lebih banyak pilihan dibanding perempuan lain, dan bisa dan mampu memilih. Dan saya percaya Mbak kuat kok, menjalani pilihan lain. Buktinya Mbak kuat memilih dan menjalani segala konsekuensi pilihan Mbak yang ini. Unapologetic gitu. 

By the way, jadi teringat obrolan di grup WhatsApp yang membandingkan SetNov dengan Nikita. Yang dengan asumsi demi menghidupi keluarga sama-sama mencari penghasilan dengan caranya sendiri. Yah, meski perbandingannya agak-agak ibarat membandingkan apel sama mengkudu (mengkudunya siapa ya, hahaha). Tapi ya itu dia, pada akhirnya kita tidak bisa mengendalikan pilihan orang. Mau haters berbusa komen kaya apapun di Instagram. Yang harus diakui keren dari Mbak Nikita sih, dia unapologetic itu tadi, ngapain juga minta maaf sama khalayak. 

Pada akhirnya persepsi “korban” atau “pelaku”, “benar” atau “salah” pada akhirnya hanya ada di kepala kita.

Eh, tapi saya pengen lho ketemu mbak Nikita, sepertinya banyak cerita seru. Sebats duls, Mbak? Gimana? —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang ‘copywriter’ yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!