Tokoh masyarakat desak Jokowi buka dialog Papua-Jakarta

Banjir Ambarita

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tokoh masyarakat desak Jokowi buka dialog Papua-Jakarta

EPA

Penembakan yang masih terjadi di tanah Papua menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mendamaikan Bumi Cendrawasih gagal

JAKARTA, Indonesia — Tokoh masyarakat Papua mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk membuka dialog terkait berbagai masalah kekerasan yang terjadi di Papua, baik itu yang memakan korban aparat maupun masyarakat sipil. 

“Kami berharap Presiden Joko Widodo dalam kunjungan akhir tahun 2015 ke Tanah Papua dapat memberikan sinyal tentang dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik vertikal antara pemerintah dan orang Papua,” ujar Pater Neles Tebay melalui pesan elektroniknya pada Rappler, Senin, 28 Desember. 

Pemerintah, kata Peter, harus menunjuk seorang yang bisa menjembatani dialog antara Jakarta dan Papua, sebagai awalan. 

Dialog ini, menurut Peter, sangat mendesak, karena berbagai aksi kekerasan, berupa penembakan dan penganiayaan yang meningkat secara signifikan di 2015. 

“Secara khusus bulan Desember tahun ini dipenuhi dengan rentetan penembakan dan pembunuhan baik terhadap anggota TNI dan Polri, maupun terhadap masyarakat sipil terutama orang asli Papua,” katanya. 

Penembakan terbaru terjadi di Sinak, Kabupaten Puncak Papua, pada Minggu, 27 Desember, yang menewaskan tiga anggota polisi atas nama Briptu Ridho, Bripda Arman, dan Brpida Ilham, serta melukai dua anggota lainnya, Briptu Suma dan Bripda Rian.

YEL-YEL. Massa dari Aliansi Mahasiswa Papua meneriakkan yel-yel saat terlibat kericuhan dengan petugas kepolisian ketika aksi di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta, Selasa. ANTARA FOTO/Wahyu Putro

“Penembakan ini lebih menandakan belum tuntasnya konflik vertikal antara pemerintah Indonesia dengan orang asli Papua, terutama orang Papua yang mengidentifikasikan dirinya dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masih ada konflik vertikal antara pemerintah dan OPM,” katanya. 

Kekerasan, seperti penembakan, yang dipakai sebagai cara untuk menyelesaikan masalah selama 52 tahun Papua berintegrasi kedalam Republik Indonesia ternyata tidak berhasil menyelesaikan masalah. 

“Sebaliknya, kekerasan dibalas oleh kekerasan demikian seterusnya sehingga setiap kekerasan melahirkan kekerasan baru. Selama konflik vertikal ini tidak dicarikan solusinya, korban akan terus berjatuhan baik di pihak aparat keamanan maupun masyarakat sipil,” ungkapnya.

Konflik kekerasan vertikal antara pemerintah dan OPM tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengimbau anggota OPM keluar dari hutan dan kembali ke kampung untuk membangun kampung. Imbauan seperti ini sudah terbukti gagal selama 52 tahun Papua bergabung dengan Indonesia.

Bahkan ribuan buku Alkitab pernah disebarkan dari udara di hutan belantara Papua dengan pengandaian anggota OPM akan mendapatkan Alkitab tersebut, membacanya, dan bertobat dengan harapan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Metode ini pun belum memperlihatkan keberhasilannya.

“Peristiwa penembakan lima anggota polisi di Sinak, Kabupaten Puncak Papua, memperlihatkan bahwa semua pendekatan di atas belum merebut hati OPM. Penembakan di Sinak memberikan pesan bahwa OPM masih aktif dan dapat memberikan ancaman kapan saja,” ujar Peter.

Warga Papua menyaksikan aparat Kepolisian bersiap mengantisipasi kerusuhan di foto ini yang diambil pada tahun 2000. Foto oleh AFP

Oleh sebab itu, kini saatnya pemerintah dan OPM mencari solusi yang realistis untuk menyelesaikan konflik vertikal ini. Jaringan Damai Papua mengusulkan agar solusi tersebut dicari melalui dialog yang melibatkan wakil-wakil dari Pemerintah dan OPM. 

Dalam dialog tersebut, kata Peter, kedua belah pihak hadir bukan untuk saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama mengidentifikasi masalah dan membawa solusi yang dapat diterima oleh Pemerintah dan OPM.  

Zely Ariane dari Papua Kita yang sedang berada di Bumi Cendrawasih juga menyatakan hal yang sama. 

“Kami satu ide dengan JDP,” kata Zely saat dihubungi Rappler, Senin siang.  

Masalahnya, kata Zely, pemerintah pusat tak pernah menganggap ada masalah di Papua. “Itu masalahnya,” katanya.

Zely mengatakan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, solusi itu pernah dibicarakan dan disusun. Tapi pelaksanaannya tak maksimal karena tak disambut Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM saat itu. 

Kini, kata Zely, masyarakat Papua menunggu langkah pemerintah Jokowi. “Semoga Jokowi berbeda,” katanya.

Jokowi akan berkunjung ke Papua esok hari, Selasa, 29 Desember, hingga pergantian malam tahun baru.—Dengan laporan dari Febriana Firdaus/Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!