5 tulisan kontributor Rappler terpilih tahun ini

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 tulisan kontributor Rappler terpilih tahun ini
Mulai dari pemberitaan soal pemerkosaan massal pada tragedi 1965 hingga pria Yogyakarta menghadang rombongan motor gede

JAKARTA, Indonesia — Tahun ini kita menyaksikan peristiwa-peristiwa yang menghentak Tanah Air. Beberapa di antaranya masih bergaung hingga kini.

Kontributor-kontributor Rappler di berbagai daerah di Indonesia dan di luar negeri turut mengembangkan berita-berita ini hingga dibaca oleh khalayak yang lebih luas.

Bahkan salah satu tulisan dalam daftar ini mendapatkan penghargaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Tulisan-tulisan di bawah ini adalah kontribusi terbaik — dalam makna teknik penulisan maupun jumlah share di media sosial — yang Rappler terima sepanjang tahun ini. Mulai dari pemberitaan soal pemerkosaan massal pada tragedi 1965 hingga opini soal kaum LGBT yang menyentuh aspek keagamaan.

Entah kebetulan atau tidak, dua tulisan dalam daftar ini bertepatan dengan Hari Kemerdekaan 17 Agustus lalu. Yang mana menjadi bacaan favoritmu?

Lubang Buaya dan pola pemerkosaan massal yang berulang di Indonesia

Rika Theo melaporkan jalannya Pengadilan Rakyat Internasional untuk 1965 (International People’s Tribunal) di Amsterdam, Belanda, pada November. Ia meliput sidang yang berlangsung selama empat hari itu. Dalam hari keduanya, Rika menulis tentang korban pemerkosaan massal tragedi 1965, Tintin Rahayu. 

Tintin adalah satu dari sekian banyak perempuan yang ditangkap dengan tuduhan menjadi anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) setelah peristiwa 1965. Selama 11 tahun penahanan, ia harus bertahan menerima kekerasan seksual berulang-ulang.

Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja.

“Mengaku tidak kalau kamu melakukan gerakan politik?”

Tidak, saya tidak bisa mengaku.

Mereka mencecar tubuh saya dengan puntung rokok.

Bulu kemaluan dan rambut saya dibakar.

Saya hanya bisa berkata, ‘Yesus, Yesus…’

Mereka makin marah. ‘Kamu ateis, kenapa kamu sebut Yesus, Yesus!’

Kesaksian Tintin di atas begitu menyakitkan untuk didengar (atau dibaca), meski kejadian telah terjadi 50 tahun lalu. Kesaksiannya juga mengungkapkan sebuah fakta baru, bahwa mendiang Guru Besar Universitas Gadjah Mada terlibat dalam penganiayaan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual 1965.

Baca cerita lengkapnya di sini  

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan

Sadiman berdiri di dekat pohon beringin yang ia tanam di lereng Gunung Gendol, Wonogiri. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan pemenang Tangguh Awards 2015 di Solo, Jawa Tengah, pada 17 Oktober. Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi BNPB terhadap karya insan dan lembaga yang peduli terhadap kebencanaan.

Dalam Tangguh Award keempat ini, salah satu kontributor Rappler Indonesia Ari Susanto mendapatkan penghargaan utama dalam Kategori Karya Tulis Jurnalistik (Citra Cerita Parama) untuk karyanya yang pernah dipublikasikan oleh Rappler Indonesia, berjudul Seorang Diri Sadiman Memerdekakan Desanya dari Kekeringan.

Sejak pertengahan tahun, berita bencana kekeringan dan kebakaran hutan menjadi ritme liputan semua media. Dampak fenomena El Nino yang berakibat pada cuaca panas-kering memunculkan sejumlah masalah, mulai dari ancaman ketahanan pangan sampai masalah kesehatan.

Namun, kebanyakan liputan menyuguhkan “rasa yang sama”, berita bernuansa pesimis yang sekadar mengabarkan kekeringan yang selalu berulang setiap tahun di negeri tropis bercurah hujan tinggi.

Ari mengambil langkah yang berbeda dalam menyajikan tulisannya. Ia mengangkat cerita Sadiman, seorang tokoh lokal yang berhasil mengatasi kekeringan, berbuat dengan tangannya sendiri, dan menggerakan masyarakat tanpa bergantung pada pemerintah.

Sadiman adalah orang yang menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan. Ari pun tak menyangka tulisan tentang Sadiman dapat menarik banyak pembaca untuk ikut membantu bibit bagi penghijauan di lokasi desa Sadiman. 

Dari Sadiman, pembaca diharapkan belajar banyak tentang kehidupan, tentang ketulusan, dan tentang bekerja dalam senyap membuat perubahan dan menularkan energi positif.

Baca kisah lengkap tentang Sadiman di sini. 

Elanto Wijoyono: Mengapa saya menghadang rombongan moge

Seorang warga Yogyakarta, Elanto Wijoyono, membuat heboh media sosial pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Ia menghadang rombongan motor gede yang sedang melakukan konvoi kemerdekaan di Kota Gudeg. Video yang merekam aksinya diunggah ke media sosial dan menjadi viral. 

Mengapa ia nekat menghalang konvoi moge? Dalam wawancara ekslusif dengan Rappler, ia mengaku memiliki dua alasan.

“Pertama, penggunaan pengawalan sudah diatur di Undang-Undang No. 22 tahun 2009 mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan hak utama menggunakan jalan. Rombongan motor tidak termasuk salah satunya,” katanya.

“Kedua adalah soal konvoinya. Konvoi apapun, tidak hanya moge. Cenderung ada pelanggaran pada konvoi, seperti konvoi parpol, konvoi suporter dan sebagainya, baik dengan pengawalan maupun tidak.”

Tulisan Elanto dapat dibaca di sini.

Mengapa saya berikan cuti 6 bulan pada karyawati hamil 

Ilustrasi ibu hamil oleh Frank Van Beek/EPA

Blogger Rappler Kokok Dirgantoro membuat gebrakan dalam pengakuannya pada April tahun ini. Ia mengangkat sebuah tema yang, menurut pengakuannya sendiri, “tidak biasa”, yaitu cuti hamil.

Sebagai seorang pengusaha di bidang konsultan public relations dan penyedia jasa media monitoring, Kokok memberikan cuti hamil bagi karyawatinya dengan menerima gaji penuh selama 6 bulan.

Mengapa ia berani ambil kebijakan besar ini, padahal perusahaan “kecil” yang dibangunnya baru berusia 2 tahun? Ide ini bermula ketika ia masih hidup pas-pasan sebagai karyawan —istrinya pun juga bekerja. 

Kantor tempat istrinya bekerja terus meminta calon ibu ini untuk masuk karena ada masalah yang harus diselesaikan, padahal di kehamilan pertamanya, istri Kokok sering mengalami blackout. Berat badannya pun turun lebih dari 15 kilogram hanya dalam waktu 2-3 bulan. 

Ia pun berniat untuk “membalas dendam”. Tak disangka, sepuluh tahun sejak niat mulianya diungkapkan dalam hati, ia berhasil mewujudkan keinginannya itu.

Tulisan ini mendapatkan reaksi beragam dari pembaca. Tapi kebanyakan memang mendukung dan mengapresiasi langkah Kokok.

Salah satu komentar di situs kami berbunyi, “Hebat, Mas. Saya salut dengan Mas. Kebijakan ‘yang tidak seberapa’ dari perusahaan milik Mas, yang Mas anggap ‘masih kecil’ ini, mudah-mudahan bisa jadi batu loncatan untuk kemajuan dan kesejahteraan wanita pekerja di Indonesia, sekaligus contoh bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk menerapkan kebijakan yang sama”.

Baca alasan lengkap Kokok berikan cuti hamil di sini. 

Religius tapi toleran LGBT, bisakah? 

Foto dari Shutterstock

“Saya percaya homoseksualitas adalah dosa. Sebagai muslim, saya menolak membenarkan praktik ini, namun sebagai manusia, saya percaya bahwa dua orang yang saling jatuh cinta semestinya tidak boleh dipisahkan.” 

Kata-kata di atas ditulis oleh blogger Rappler Arman Dhani. Tentu pendapatnya membelah opini pembaca. Bisakah seseorang yang mengaku homoseksual taat beragama? 

Menurut Dhani, bisa. “Mencintai, jatuh cinta, dan jadi bodoh bersama-sama adalah kebahagiaan yang selayaknya dirasakan tiap orang. Apapun agama dan orientasi seksnya,” tulisnya. Bagaimana menurutmu?

Tulisan Dhani dapat kamu baca di sini. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!