Bicara seks: Curi-curi cium

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara seks: Curi-curi cium
Kamu akan lebih menyesali ciuman yang tidak kamu lakukan, dibandingkan ciuman yang kamu lakukan


2015 hampir selesai. Entah kenapa rasanya agak melankolis. Tahun ini benar-benar penuh kejutan. Ada yang menyesakkan, ada yang menyenangkan. Salah satu yang menyenangkan adalah bisa mengisi Bicara Seks. Ibaratnya saya dapat panggung virtual untuk standup comedy, untuk menertawakan diri dan hidup dan seks. Iya saya tahu, saya pakai banyak banget tanda kurung, seolah bermonolog. Atau berdialog dengan suara-suara di kepala saya. Tapi yah, bodo amat.

Setelah beberapa minggu bahasannya agak “berat”, tutup tahun boleh lah bahas yang ringan-ringan lucu. 

Kissing. Ciuman. Cipokan (ketauan umurnya dari pemilihan katanya).

Teman perempuan saya bilang bahwa ciuman itu urgensinya sama seperti seks, atau tidak kurang personal dibanding seks. Saya setuju. Sekaligus menatap langit-langit. Berpikir. Saya agak mendua.

 Ya benar, ciuman itu memang bisa jadi sangat emosional dan personal. Ciuman itu ibarat cek ombak. 

Ada yang sudah kenal menahun dan menggebu, tapi lalu ketika ciuman “meh”. Entah tekniknya atau mungkin memang ngga ada ketertarikan seksual lebih dari sekedar gemas, entahlah. Tidak ada yang elektrik, ngga ada letupan, kembang api, apalagi serasa melihat bintang. Ada pula yang sudah bersama bertahun-tahun dan ciuman tidak lagi ada rasanya, bahkan enggan.

Ada pula yang ngga kenal lama, tapi ciumannya bisa jadi sebegitu meledak-ledaknya. Padahal tekniknya standar. Yah, setidaknya ngga klomoh kaya anjing St. Bernard lah. Ada pula yang berawal dari teman, berciuman, secara teknik boleh juga, tapi rasanya entah mengapa begitu hangat menyenangkan dan bikin nyengir.

Omong-omong, konon kalau piawai membuat simpul dari batang ceri artinya a good kisser

Barangkali karena bagi perempuan, setidaknya saya, koneksi antara perasaan dengan bibir itu penting. It was never only a kiss, Mas Brendan Flowers. 

Misalnya bagi saya, saya pikir saya bisa tetap mencium laki-laki yang tak lagi saya cinta, tapi ternyata tidak bisa. Barangkali juga karena itu mbak terapis ngga mau dicium. Buat yang suka jajan pasti paham. Tapi dari sekian teman lelaki yang saya survei (tsaaah..), hampir semua bilang ciuman itu bagian dari foreplay, bagian dari biaya yang sudah dkeluarkan. Menambah cepat turn on dan hard on. More physical than emotional. Barangkali karena transaksional jadi ciuman dianggap sepaket dari layanan.

Tapi please, kalau sudah sebegitu tidak menghargainya dengan perempuan dan pasangan, minimal bisa lah ngga memaksa cium si mbak. Setidaknya biarkan si mbak terapis punya otonomi atas satu bagian tubuhnya.

Namun dengan perempuan yang mereka punya ekspektasi emosional (alias “baper”, dibikin lebih ngga ‘dewasa’ saja haha), pada dasarnya laki-laki sama saja dengan perempuan. Ada rasa gemas, penasaran, “oh gini ya rasa bibirnya”, dan debar, dan birahi haha. Kalau mau tahu laki-laki birahi apa engga waktu ciuman, pegang saja leher atau tengkuknya. Pasti menghangat.

Kata teman laki-laki saya, itu Pintu Kemana Saja. Dari 1st base, bisa akselerasi ke 2nd base dan seterusnya. Atau lebih tepatnya, mirip buku Pilih Sendiri Petualanganmu. Bisa lanjut ke 2nd base, bisa melewatkan 2nd base lalu langsung home run, bisa malah full stop, dan banyak kemungkinan “petualangan” lainnya. Termasuk full stop atau malah jadi drama.

Di satu sisi, saya mendua karena beranggapan ciuman juga ngga sepersonal dan seemosional itu. Bisa juga dilakukan for fun. Dengan syarat yang kita cium juga ada di frekuensi ke-kinky-an dan level perburuan kesenangan dan frekuensi yang sama, alias partner in crime. Kalau penasaran pengen cium, ya bilang saja. Kalau disambut dengan “No. Thx.” Ya ngga papa. Namanya mencoba peruntungan. Kalau disambut dengan dialektika kenapa harus berciuman, kenapa tidak, atau seperti apa ciuman yang diinginkan juga ngga papa.

Seru lho membangun sexual tension. Kalu langsung ditomprok, awesome!  Di level perburuan kesenangan yang sama, sebagai partner in crime, berciuman lucuk (ngga harus di bibir, deep kiss, apalagi French kiss, bisa di dahi, di pipi) bisa menenangkan, melegakan, diselingi obrolan dan celetukan dan tawa. Meski tanpa kejelasan hubungan. Ngga usah sebegitu serius dan overthinking sampai lupa senang-senang. 

Sebab bagi pasangan yang sudah bersama dalam jangka waktu lama, ciuman kerap kali diabaikan. Cuma jadi bagian dari foreplay basa-basi, dan melupakan kesenangan yang dihasilkan dari berciuman lucuk, ciuman gemes, curi-curi cium, atau ciuman flirty.

Jadi, di siang jelang Tahun Baru ini, saya memutuskan bahwa saya akan lebih menyesali ciuman yang tidak saya lakukan, dibandingkan ciuman yang saya lakukan. Mungkin abang-abang Gojek layak mendapat ciuman di pipi atas jasanya mempermudah kehidupan saya selama ini. 
 

Kalian yang di luar sana, tahun baru ini, coba cium orang yang sedari dulu ingin Anda cium (inget ya, mintanya baik-baik dan harus siap dengan segala reaksi orang tersebut, dan HARUS konsensual alias sepakat) dan mulai tahun dengan petualangan. Kalau lagi sendiri saja, kiss this year goodbye. —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!