Jim “Bob” Moffet, bos Freeport yang saya kenal

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jim “Bob” Moffet, bos Freeport yang saya kenal
Bagaimana masa depan penanganan lingkungan di Freeport pasca lengser-nya pendiri dan ketua direksi raksasa tambang itu?

 

JAKARTA, Indonesia   ̶   Bagi banyak orang, mengkaitkan isu lingkungan hidup dengan nama James Robert “Jim Bob” Moffett,  mantan CEO dan Chairman Freeport McMoRan adalah ‘oxymoron” atau dua pengertian berlawanan seperti “bertengkar berbisik”.  Sebab tokoh kontroversial  ini pernah berkata bahwa pencemaran tambang PT Freeport Indonesia sebagai “ the equivalent of me pissing in the Arafura Sea”. 

Atau komentarnya tentang gunung keramat Grassberg  sebagai “ a volcano that has been decapitated by nature and we are mining the esophagus”.  Tetapi bagi saya pribadi persepsi itu tidak semua benar.

Berkenalan dengan Bos Freeport

Washington DC, AS,  musim gugur 2002.   Saya menghadiri akad nikah seorang Senior VP Vice President PT Freeport Indonesia di Masjid Muhammad Ali di 4 th Street NW.  Keluar ruangan, saya buru- buru berjalan kembali ke kantor saya, di Bank Dunia, yang beralamat di 1818 Penn Ave. 

Tiba-tiba dua orang bertubuh jangkung menghentikan langkah saya. Salah satunya berwajah gagah tampan berambut model Elvis Presley menyapa :” Dr. Lubis, I am Jim Bob and here’s Dr. Jim Miller, could we have a talk for a few minutes?”  Saya kaget karena biarpun pernah mendengar nama itu tetapi baru sekali itu bertemu muka.

Jim Miller tertawa :”  We have met, when you were with the BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). You gave us a lot of headache”.  Jim Bob yang lebih dikenal dengan JRM di lingkungan PTFI, tersenyum tipis :” I heard you are with the World Bank now, but would you be interested to join PTFI someday?  Oh, we have another appointment,  let Jim contact you further. Terimakasih”.  JRM dan Jim kemudian menaiki mobil. Jim Miller adalah Chief Scientist Freeport di New Orleans.

Sebulan kemudian, Jim Miller kembali ke DC dan kami  makan siang di Capital Grille, 601 Penn Ave. Resto mahal itu sering dikunjungi tokoh politik dan bisnis. Dekornya amat Amerika dengan kursi kulit,  patung western karya Remmington, aroma whiskey dan cerutu.

Kami memesan steak, Jim minta segelas martini. Sambil menunggu pesanan, saya tanya Jim : ”Why the offer?  What is JRM has in mind about environmental issue?  Jim, sambil meneguk martini, menjawab : ”Oh, he thinks that environmental issues is like any other license to operate and we have to secure it to run the business”. 

Saya  terkesan dengan jawaban no-nonsense dan pragmatik ini. Andaikata Jim bilang: “ Of he loves birds, frogs and trees”. Maka saya akan jawab : “ I would think that is  a heap of bull….”

Sejak itu, tiap kali ada urusan ke DC, Jim selalu mentraktir di Capital Grille dan berdiskusi tentang isu lingkungan hidup PTFI. Isu itu sebenarnya tidak terlalu asing, sebab sewaktu di BAPEDAL kami membahas AMDAL-nya.

Tentu saja di pihak yang berseberangan. Tiap kali sebelum pergi, Jim tak lupa mengingatkan tawaran JRM. Saat itu di Bank Dunia saya bertugas di enam negara  di kawasan Afrika. Perjalanan dan pekerjaan yang cukup melelahkan fisik dan pikiran.

Menjelang akhir 2003, Bank Dunia melakukan desentralisasi.  Banyak staf ditawari bekerja di kawasan atau dipaksa mendapat “mutual agreement”, diberhentikan dengan pesangon.   Saya ditawari pindah ke Abuja-Nigeria. Isteri saya berkomentar pendek:  ”Orang Nigeria saja pindah ke Tanah Abang ”.

No chance.  Segera  saya kontak Jim Miller untuk menerima tawaran PTFI sebagai Senior VP untuk SHE (Safety Health and Environment).  Jim segera membalas : “ JRM is happy with your decision”.

Dua petugas sedang mengawasi kompleks pertambangan Grasberg PT Freeport McMoRan, salah satu pertambangan emas dan tembaga dunia. Foto diambil pada 16 Agustus 2013. Foto oleh Olivia Rondonuwu/AFP

Bekerja di Freeport Indonesia

Pertengahan 2004, saya kunjungi  lokasi pertambangan PTFI di Tembagapura, Papua. Ini kunjungan kali ketiga.  Sebelumnya saya berkunjung ke sana sebagai staf senior di BAPEDAL.  Dari kaca mata seorang environmental specialist, lokasi pertambangan PTFI amat mengesankan.

Dalam rentang sekitar 100 km,  operasi pertambangan ini meliputi 5 zona ekologi dari pesisir sampai  zona sub-alpine di Puncak Cartenz. Jutaan ton limbah tailing (sisa pasir tambang) menimbun Sungai Ajkwa dan ratusan hektar hutan,  tetapi timbunan tailing juga menumbuhkan ekosistem baru. 

Hutan, rawa dan sungai sekitarnya masih banyak dihuni bermacam jenis ikan dan satwa liar. Tak bisa dihindari, operasi pertambangan  memberikan dampak lingkungan. Untuk mendeteksi dan memantau pencemaran. PTFI mempunyai laboratorium lingkungan terbaik di Indonesia yang dibidani dan diasuh oleh Dr. Wisnu Susetyo.   

Departemen Lingkungan di PT FI juga punya banyak staf pilihan dalam bidang-bidang ekologi pesisir, toxicology, satwa liar, environmental management dan audit lingkungan, dan sejumlah keahlian lain yang terkait. Sebagian di antara mereka adalah putera-puteri Papua.

Tidak hanya pada bidang lingkungan hidup, secara umum PTFI merupakan “kawah candradimuka” bagi geologist, metallurgist, system management, engineers, lawyers, anthropologist,  ahli penyakit tropis dan sebagainya.  Banyak “alumni PTFI” yang sekarang tersebar di industri pertambangan di Indonesia dan di dunia.  Seperti sekelompok alumni PTFI yang saya jumpai di Afrika dan Mongolia. 

Aspek PTFI sebagai wahana “pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia” memang jarang diketahui oleh khalayak di Jakarta atau internasional akibat tersaput oleh isu politik atau  keamanan.  Sekarang malah tenggelam oleh skandal transkrip rekaman #papamintasaham.

Jim “Bob” Moffet yang saya kenal

Tak bisa dipungkiri, berita tak sedap tentang PTFI juga sering disebabkan oleh pribadi Jim Bob yang  kontroversial. Terlepas dari kontroversi, apa urusan Jim Bob dalam hal lingkungan hidup  PTFI?

Ini pendapat saya pribadi. Pertama,  JRM memberikan atau menaikkan profil profesi lingkungan ke tataran “corporate decision maker”  Saat itu, mungkin sampai sekarang, amat jarang seorang berlatar belakang lingkungan hidup mendapat jabatan tinggi dalam perusahaan tambang, energi atau industri. Paling-paling hanya Senior Manager.

Dalam kasus PTFI, saya berturut-turut menjabat sebagai SVP, EVP, Direktur dan akhirnya Wakil Presiden Direktur dalam rentang waktu 4 tahun !

Kedua, jabatan tidak berarti banyak tanpa dukungan dan otoritas anggaran. Tanpa itu, program lingkungan hidup (juga program lain) tak akan bisa berjalan baik. Dalam hal ini  yang paling kuasa adalah CFO (Chief Financial Officer). That’s the rule of the corporate game. 

Seringkali saya  harus berkutat melawan para akuntan atau “bean counters” yang menganggap lingkungan hidup adalah “cost center” yang tidak produktif apalagi kontributif pada keuntungan perusahaan. 

Saat itu, manajemen Freeport McMoRan, induk PTFI didominasi figur Jim Bob sebagai co-founder, owner dan CEO. Kata-katanya  adalah hukum. Mungkin karena perekrutan yang unik di Washington DC, para eksekutif di PTFI berpikir bahwa saya punya “kedekatan” dengan JRM.

Dalam beberapa kali rapat, JRM memang tak segan-segan memerintah dan bahkan suatu kali memarahi CFO jika program lingkungan hidup tersendat. Sehingga seringkali dengan bersungut-sungut CFO di Jakarta PTFI atau di New Orleans terpaksa membiayai program yang “out- of- the box” misalnya program repatriasi (pengembalian) atau penyelamatan satwa liar : kura-kura moncong babi, pademelon (kangguru kerdil) dan pendidikan anak-anak Papua di bidang lingkungan hidup. Yang terakhir pernah mendapat perhargaaan internasional.

Isu lingkungaan pasca Jim Bob

Minggu ini saya mendengar Jim Bob harus lengser dari kursi ketua dewan direksi Freeport McMoran atas desakan investor baru.

Drama korporasi ini tidak unik di PTFI.  Jika sebuah perusahaan  mengalami kesulitan keuangan, maka  isu lingkungan selalu menjadi “the last and least priority”.  Inilah yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan.

Dalam kasus perusahaan skala raksasa seperti pertambangan atau perkebunan kelapa sawit, dampak dan risiko lingkungannya juga berskala raksasa. Jika isu lingkungan dikorbankan maka boleh diharapkan akan terjadi bencana ekosistem.

Tahun 2008 saya tinggalkan PTFI,  tak berapa lama setelah JRM tidak lagi menjadi CEO tetapi masih menjabat Chairman of the Board. Saya  pindah kerja di Bank Pembangunan Asia (ADB) di Manila. Tetapi hubungan pribadi kami tetap “dekat”.  

Dalam beberapa kesempatan mengunjungi Washington, saya menelpon JRM. Jika dia ke Jakarta, saya juga minta waktu bertemu.  Tahun 2014 kami bertemu sekitar 20 menit di sebuah hotel di Kuningan.  Kami bernostalgia tentang “ the good old PTFI days” dan American football.  

JRM pernah bermain sebagai tackle untuk University of Texas Long Horn. Dia menanyakan kabar anak saya Iliad Lubis yang juga menjadi tackle/defense linebacker untuk Walt Whitman High School team- -Vikings di Maryland. Kami memang jarang bicara masalah bisnis atau pekerjaan. Jim Bob tokoh kontroversial dan legendaris ini tampak lelah.  Saya tidak minta saham.  – Rappler.com

Dr. Rusdian Lubis, sekarang konsultan energi- pertambangan dan dosen paruh waktu di SBM ITB dan PPLH UI. Sebelumnya adalah Chair Compliance Review Panel ADB-Manila;  Executive Vice President / Deputy CEO PT Freeport Indonesia,  Senior Environmental Specialist, the World Bank, Washington DC, Direktur Amdal BAPEDAL/KLH dan Dosen Universitas Hasanuddin serta Eisenhower Fellow, 1990

 


.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!