Kasus terompet Al-Quran, siapa paling bertanggung jawab?
TEROMPET AL-QURAN. Warga memperlihatkan terompet dari lembaran kertas Alquran hasil sitaan di Lhokseumawe, Aceh. Kamis dini hari, 31 Desember 2015, ratusan terompet tahun baru yang dibuat menggunakan lembaran Alquran disita petugas keamanan setempat karena dinilai merupakan bentuk penodaan terhadap agama. Foto oleh Rahmad/Antara
JAKARTA, Indonesia—Tahun baru kali ini, masyarakat dihebohkan dengan terompet edisi sampul Al-Quran yang beredar luas sejak akhir Desember kemarin.
Tak tanggung-tanggung, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah mengamankan 2,3 ton kertas sampul Al-Quran yang diduga dipakai sebagai bahan baku untuk membuat terompet yang sempat beredar di Kabupaten Kendal.
"Disita dari produsen di Klaten," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Kombes Pol. Liliek Darmanto di Semarang, Senin.
Selain di Kendal, lanjut dia, terompet bermasalah tersebut diduga telah dijual di wilayah Blora, Klaten, Demak, Pekalongan, Batang dan Wonogiri.
Dari mana asal-muasal terompet ini?
Belakangan media melaporkan bahwa pengadaan lembaran sampul Al-Quran yang dijadikan bahan baku terompet tahun baru ternyata berawal dari proyek Kementerian Agama tahun 2013. Saat itu, menterinya masih dijabat Suryadharma Ali.
Dalam pertemuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Rabu, 30 Desember lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah Ahmad Daroji menceritakan alur pengadaan buku Alquran di era SDA tersebut.
"Terompet sampul Alquran ini bikin heboh di sejumlah wilayah karena bahan dasarnya dari buku Alquran sisa proyek Kemenag. Sampul yang dipakai itu yang disimpan di CV Aneka Ilmu," kata Daroji.
Pemilik CV Aneka Ilmu Suwanto mengakui, sampul Alquran yang digunakan bahan baku terompet itu merupakan hasil produksinya. “Iya benar itu merupakan produksi perusahaan kami di tahun 2013 silam," ujar Suwanto.
Tapi CV Aneka Ilmu tak mau disalahkan, dengan alasan CV Aneka Ilmu terkendala karena harus menunggu Suryadharma, menteri agama saat itu, yang sedang berhaji untuk membubuhkan tanda tangan di halaman buku. Pada tahun yang sama, kantor percetakan miliknya terendam banjir.
Benarkah semua kesalahan CV Aneka Ilmu?
Kasi Intel Korem 162/Wira Bhakti, Mayor CHB Dayat Dwi Arianto (kiri) menunjukkan kertas bahan terompet sampul Al Quran bertuliskan Kementerian Agama RI Tahun 2013 saat diamankan di Kantor Intel Korem 162/Wira Bhakti Mataram, NTB, Selasa (29/12). Foto oleh Ahmad Subaidi/Antara
Sekretaris Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Profesor Muhammadiyah Amin membenarkan bahwa lembaran terompet itu berasal dari sisa cetak yang dipesan lembaganya pada CV Aneka Ilmu.
Amin menuturkan bahwa pada 2013, Kemenag terikat janji bisnis dengan CV Aneka Ilmu. Dalam perjanjian itu disebut bahwa CV Aneka Ilmu harus mencetak sebanyak 1,6 juta eksemplar kitab suci.
“Tapi sampai akhir 2013, baru bisa mencetak 700.000 eksemplar. Berarti masih ada sisanya 900.000,” katanya pada Rappler, Sabtu, 2 Januari.
Akhirnya, perjanjian diperbarui dengan perpanjangan kontrak untuk menyelesaikan sisa percetakan sebanyak 900.000 eksemplar tersebut selama 20 hari saja.
“Setelah 20 hari tidak selesai juga karena banjir, hanya bisa menyelesaikan 400.000-an eksemplar, masih ada sisa 400.000-an lagi,” ujarnya. Total hingga 2014 hanya 1,1 juta eksempar lebih yang bisa diselesaikan CV Aneka Ilmu.
Amin mengklaim bahwa Kementerian Agama sudah membayar biaya cetak untuk 1,1 juta eksemplar tersebut pada CV Aneka Ilmu.
Amin mengaku tak tahu-menahu setelah itu, penggunaan sisa percetakan di CV Aneka Ilmu hingga berita mengenai terompet tahun baru dari sampul Al-Quran tersebut muncul di media massa.
Setelah berita itu menyebar, Ditjen Bina Islam yang membawa Bidang Urusan Agama yang melakukan pengadaan, langsung mengkontak CV Aneka Ilmu. “Menurut informasi rekanan itu, yang sisa cetakan dijual. Kami tanya mereka lagi, katanya dijual dengan syarat dihancurkan atau diris-iris,” katanya.
“Tapi perjanjian dengan pihak ketiga itu tidak tertulis, hanya lisan,” katanya lagi.
Tak adanya hitam di atas putih itu yang membuat pihak ketiga tak merasa terikat untuk menghancurkan sampul Al-Quran tersebut, hingga akhirnya dipakai untuk bahan baku terompet.
Padahal pada pasal 5 Peraturan Menteri Agama (PMA) No 01 Tahun 1957 tentang pengawasan terhadap penerbitan dan pemasukan Al-Quran yang mengatur sisa dari bahan-bahan Alquran yang tidak dipergunakan lagi, wajib untuk dimusnahkan, misal dibakar, agar tidak disalahgunakan.
MUI pertanyakan pengawasan Kementerian Agama
Setelah terompet sekarang loyang kue berlapiskan ayat Alqur'an, Cerminan akhir zaman semakin dekat, Ya Allah ampuni segala dosa hambamu
Posted by Eko Edya Saputra on Thursday, December 31, 2015
Yusnar Yusuf, Ketua Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia tak hanya menyoroti kasus ini dari kelalain perusahaan rekanan, tapi juga pengawasan Ditjen Bina Islam Kementerian Agama.
“Menurut saya ini sebuah keteledoran, pembiaran, pengawasan dari Kementerian Agama,” katanya saat dihubungi Rappler.
Padahal, jelas di PMA tahun 1957, sisa cetakan harus dimusnahkan, bahkan platnya pun harus dikembalikan. “Sisa cetakan, apakah di per lembar atau per buku, itu harus dimusnahkan dengan berita acara, semestinya begitu,” katanya.
“Kenapa demikian? Kalau platnya masih berada di percetakan, bisa saja disalahgunakan,” katanya. Seperti digunakan untuk bahan loyang kue yang baru-baru ini beredar di masyarakat.
Dengan kejadian demi kejadian ini, ia menyebut, Kemenag tidak serius melakukan pengawasan.
Yusnar menghimbau Kementerian Agama segera memanggil organisasi Islam untuk berembug dan mendiskusikan, mengapa ini bisa terjadi?
Apakah ini murni kelalaian pengawasan Kemenag?
Amin menanggapi pernyataan Ketua MUI tersebut. Menurut Amin, saat kasus ini merebak, Kementerian Agama sudah meminta pertanggung-jawaban pada CV Aneka Ilmu.
Tapi alih-alih mendapat jawaban yang memuaskan, perusahaan itu malah berdalih, mereka tak melanggar PMA. “Masalah begini, sisanya kami tidak membayar, kami memang tidak membayar,” kata Amin.
Kementerian Agama hanya membayar cetakan yang sudah jadi yakni 1,1 juta eksemplar, sisanya sekitar 400.000 eksemplar lebih diakui sebagai milik atau properti CV Aneka Ilmu.
Klaim itulah yang membuat lembaganya sulit untuk meminta perusahaan rekanan itu bertanggung-jawab penuh terhadap insiden ini.
Jika demikian, siapa yang patut disalahkan? —Rappler.com
Ayo langganan Indonesia wRap