Tahun 2016, Indonesia masih dihantui kasus sunat perempuan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tahun 2016, Indonesia masih dihantui kasus sunat perempuan
MUI mendukung praktik sunat perempuan dengan alasan ini adalah kewajiban seorang muslim

 

JAKARTA, Indonesia—Ketika menginjak usia sekolah dasar, Maria, bukan nama sebenarnya melihat anak laki-laki seusianya disunat dan mendapat banyak bingkisan. Ia kemudian mendatangi ibunya. “Ma, aku disunat dong, biar dapat banyak duit,” katanya saat menuturkan pada Rappler, Jumat, 8 Januari lalu. 

Lalu ibunya menimpali, “Kan kamu sudah.” 

“Lho kapan? Aku enggak tahu.” 

“Baru lahir langsung disunat,” kata sang Ibu. 

“Oh berarti semua orang di dunia ini pasti disunat. Kalau cewek disunatnya waktu kecil, kalau cowok waktu gede,” katanya dalam hati. 

Percakapan itu membekas pada diri Maria hingga ia memasuki sekolah menengah pertama. Saat duduk di bangku SMP, ia mulai bergaul dengan berbagai komunitas. Baik yang non muslim ataupun ‘islam abangan’ alias liberal. 

Ia mulai berdebat dengan teman sesama wanita soal kewajiban sunat pada perempuan. Dan ia mendapati bahwa tak semua teman perempuannya disunat. 

Di sinilah awal Maria menyadari bahwa ia harus mencari tahu lebih dalam tentang sunat perempuan. Ia kemudian membeli sebuah buku tentang psikologi dan seks, hingga mempelajari  bentuk vagina.

Ia mendapati kosakata klitoris. “Kok sepertinya aku enggak punya ya,” katanya. 

Ia juga membaca buku tentang budaya sunat perempuan di Arab, termasuk buku karangan Fatimah Mernissi yang membahas tuntas tentang sunat perempuan. 

Fatimah adalah salah satu tokoh feminis dari tanah Maroko yang menggugat praktik sunat perempuan bersama Nawal El Saadawi. 

“Aku baca buku itu dan mendapati bahwa itu praktik patriarki untuk mengontrol perempuan. Salah satunya lewat sunat dan tindik di telinga. Alasannya agar perempuan tidak liar,” katanya. 

Maria terpaku saat membaca buku itu, ia menyadari bahwa dirinya terlanjur disunat. “Mama sendiri enggak tahu kenapa harus disunat,” tuturnya. 

Maria mendalami kembali buku tersebut dan mendapati bahwa perempuan tak bisa menikmati orgasme jika bagian klitoris di vaginanya dipotong. 

Ia geram setelah membaca buku dan tak mendapat penjelasan dari orangtuanya. Ia kemudian mencoba melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis saat menginjak usia kuliah. 

Hasilnya? “Aku tuh dari pertama berhubungan seks sampai usiaku sekarang, aku enggak ngerti orgasme itu kayak apa,” katanya. Ia kini berumur 33 tahun. 

“Entah karena masalah psikologis atau karena ada bagian dari tubuhku yang hilang,” ujarnya. 

Kini ia telah menikah, dan orgasme masih menjadi permasalah utama dengan suaminya. “Suamiku sampai stress,” katanya. 

Setelah lima tahun lebih berhubungan seks dengan suaminya pun, orgasme masih menjadi angan-angan Maria. 

“Teman saya sering bilang, orgasme itu seperti terbang di awan, tapi saya kok enggak merasa terbang ke awan. Biasa saja,” katanya. 

Kini aktivitas seksual baginya tak begitu menarik. “Hanya buang waktu saja.” Pun ia belum menemukan cara untuk mencapai ‘puncak’ tersebut, ia memilih untuk menyibukkan dirinya di kantor dan merawat anak kesayangannya. 

Praktik sunat perempuan tinggi di luar Jawa 

Maria adalah satu dari ribuan anak perempuan di Indonesia yang mendapati dirinya disunat. 

Hasil survei Dana anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang dilakukan pada 2013 dan dipublikasikan tahun 2015 lalu pada 300.000 rumah tangga di 33 provinsi dan 497 kota menyebut bahwa lebih dari separuh anak gadis mereka telah disunat sebelum umur 12 tahun.  

Data sunat perempuan tertinggi ditemukan di Provinsi Gorotalo, dan terendah di Nusa Tenggara Timur. 

Data UNICEF juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, yakni 3 dari 4 anak gadis yang disunat mengalami pemotongan klitoris pada umur di bawah 6 bulan. 

Data itu juga mengungkap bahwa orangtua adalah orang yang paling banyak merekomendasikan anak-anak gadis ini untuk disunat, sisanya adalah pemuka agama, saudara, dan tokoh masyarakat. 

Dan jika disejajarkan dengan negara-negara lain, Indonesia menduduki tempat ketiga tertinggi dalam praktik sunat perempuan, setelah Mauritania dan Gambia. 

Pemerintah dan MUI dukung sunat perempuan

Ma'ruf Amin terpilih sebagai Ketua Umum MUI dalam musyawarah tim formatur MUI, Kamis, 27 Agustus. Foto dari nu-lampung.or.id

Apa penyebab praktik sunat perempuan masih tinggi di Indonesia? Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Dian Kartika Sari membenarkan data yang dipaparkan UNICEF. 

Sunat perempuan ini juga menjadi salah satu fokus Koalisi Perempuan sepanjang tahun 2015 kemarin. 

Ia dan timnya juga turun lapangan dan mendapati bahwa budaya sunat perempuan di tiap daerah berbeda-beda. “Ada yang simbolik ada yang ditoreh (dipotong),” katanya pada Rappler saat ditemui pada Jumat, 8 Januari, dalam acara outlook Koalisi Perempuan tahun 2016. 

Salah satu praktik sunat perempuan yang memotong klitoris adalah di Pulau Madura. Budaya masyarakat di pulau garam tersebut, kata Dian, masih kuat dan mengharuskan perempuan untuk ‘menghabisi’ klitorisnya. 

Sementara itu tim juga masih menemukan praktik sunat perempuan di perkotaan, tapi hanya berupa simbolik saja. 

Mengapa praktik ini masih kerap dilakukan di daerah? “Kalau di beberapa daerah, tokoh masyarakatnya masih menganggap itu penting,” katanya. 

Apalagi budaya itu pernah dikukuhkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan yang dikeluarkan pada November 2010,

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sunat Perempuan memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukan sunat pada pasien perempuan. 

Bahkan detail teknis menyunat pun disebut dalam peraturan tersebut, “Lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris” bunyi pasal 4 ayat 2 huruf g. 

Peraturan ini kemudian dicabut oleh Wakil Menteri Kesehatan Ali Qufron Mukti saat itu. 

Namun bukan berarti praktik ini berkurang. Dian mengatakan praktik ini masih ditemukan selama masih ada legitimasi dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat. 

Belum lagi, kata Dian, tokoh-tokoh agama yang mendukung praktik ini sebagai ajaran agama. Padahal ia yakin sunat adalah murni budaya bukan ajaran agama. 

Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin membenarkan bahwa lembaganya mendukung penuh praktik ini sebagai sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Alasannya karena muslim di Indonesia sebagian menganut Mahzab Syafi’i. 

“Ada yang menyunahkan, ada yang mewajibkan, Mahzab Syafi’i itu mewajibkan. Indonesia sebagian besar menganut Mahzab Syafi’i,” katanya pada Rappler. 

Ia mengatakan sunat hukumnya wajib bagi perempuan karena untuk kesehatan. Ia juga menerapkan sunat itu pada anggota keluarga di rumahnya yang berjenis kelamin perempuan. 

Sunat tak berhubungan dengan kebersihan 

Benarkah ada manfaat kesehatan dari sunat yang dilakukan pada perempuan? Rappler berkonsultasi pada dokter-dokter perempuan yang menyandang gelar dokter kulit dan kelamin. Beberapa dokter perempuan tersebut enggan berkomentar. Mereka menyarankan Rappler untuk menghubungi dokter kandungan. 

Namun kami kemudian mendapatkan penjelasan dari seorang dokter di Boyolali, Jawa Tengah, yang pernah menangani pasien sunat perempuan. 

Sigit Widyatmoko, dokter umum yang menamatkan sekolahnya di Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan bahwa di Boyolali tak banyak kasus sunat perempuan. Tapi ia mengakui ada beberapa pasien yang minta disunat untuk menggugurkan kewajibannya sebagai seorang muslim. 

Dalihnya tetap sama, untuk kebersihan dan kesehatan. Benarkah sunat perempuan berhubungan dengan kedua hal ini? 

Menurut Sigit, sunat perempuan pada dasarnya adalah memotong bagian kulit dari klitoris, hampir sama tekniknya dengan memotong kulit dari penis untuk laki-laki. “Kalau laki-laki itu skrotum, kalau perempuan itu vagina,” katanya membandingkan. 

Ada beberapa teknik memotong bagian kulit klitoris. Yakni hanya mengusap bagian kulit, mengiris sedikit, hingga memotongnya habis. “Beberapa suku di Indonesia itu sampai dipotong klitorisnya,” katanya. Mereka adalah penganut Mahzab Syafi’i seperti yang diungkap ketua MUI pada Rappler. 

Tujuan pemotongan kulit pada penis adalah untuk membersihkan megma atau kotoran. “Jika tidak dipotong maka ia akan mudah terkena kanker penis,” katanya. 

Tapi, kata Sigit, hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara pemotongan kulit klitoris pada vagina perempuan dengan kebersihan. “Sepengetahuan saya dari sisi medis, ini hanya masalah budaya saja, dan dari segi agama, ada Mahzab Syafi’i yang mewajibkan, walaupun mahzab lain tidak,” katanya. 

Dari sisi medis, kata Sigit, dokter tidak menganjurkan dilakukan sunat pada perempuan. “Kalau sunatnya perempuan hanya mengusap saja hanya mengiris sedikit saja, kulitnya dibuka sedikit, itu tidak masalah. Tetapi kalau sampai dipotong itu yang masalah. Kasihan,” katanya. 

Jangan ada sunat perempuan lagi

Sementara itu, usai mengetahui bahwa sunat ternyata tak berhubungan dengan kesehatannya, bahkan berdampak pada aktivitas seksualnya, Maria mulai mengabarkan ini pada perempuan sebayanya. 

Ia tak segan untuk memberitahu koleganya yang memiliki anak perempuan untuk menghindari praktik sunat ini. 

“Jangan lagi, jangan sampai ada lagi anak perempuan yang disunat,” katanya. Ia tak ingin perempuan lain memiliki masalah seksual sepertinya. 

Nah, apa pendapatmu tentang sunat perempuan? —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!