Megawati sindir kepemimpinan: Ganti orang, ganti visi misi

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Megawati sindir kepemimpinan: Ganti orang, ganti visi misi

ANTARA FOTO

Di Pembukaan Rakernas PDIP ke-43, Megawati lontarkan ide Pembangunan Nasional Semesta ala Bung Karno.

JAKARTA, Indonesia – Tahun 2008, saya berkesempatan ke Brasil, meliput kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jalanan di Brasilia, ibukota Brasil, cukup macet. Bedanya dengan Indonesia, langit di sana biru cerah. Bersih. Kendaraan di Brasil menggunakan bahan bakar biofuel, campuran etanol yang diproduksi dari tanaman tebu. Walaupun pemerintahan berganti dan presiden berasal dari partai politik yang berbeda, tapi di Brasil selama 40 tahun ini pengembangan biofuel etanol berjalan secara konsisten. Berkelanjutan. Bersama Amerika Serikat, Brasil menjadi produser biofuel terbesar di dunia.

Saya teringat Brasil, ketika Minggu kemarin, 10 Januari, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Sukarnoputri berpidato di pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang ke-43. Di acara itu, Megawati mengingatkan soal “Pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana”. Megawati menyayangkan soal kebiasaan pertarungan visi lima tahunan di setiap pemilihan presiden. “Ganti orang, ganti visi misi. Ganti pemimpin, ganti pula visi misi. Saya sering berseloroh inilah, produk pemilihan langsung: “pemimpin visi misi” lima tahunan.”

Sindiran Megawati valid.

Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana sebenarnya adalah pokok pikiran ayahnya, Presiden Sukarno. Presiden pertama Indonesia itu menyampaikannya dalam sidang Dewan Perantjang Nasional pada 28 Agustus 1959.

Yang masalah adalah, jangankan visi dan misi, komunikasi antara presiden dengan presiden berikutnya juga bermasalah. Paling segar tentu saja ketika dalam 10 tahun terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati yang menjadi presiden sebelumnya menolak untuk hadir dalam undangan yang disampaikan oleh pemerintahan SBY. Komunikasi buntu, apalagi diskusi visi misi.

Komunikasi antara PDIP yang menempatkan diri sebagai oposisi dilakukan di forum rapat kerja di parlemen. Dan, karena jumlah suara yang kalah dibandingkan koalisi pendukung pemerintah, maka PDIP dalam posisi yang biasanya berbeda dengan pemerintahan SBY.

SBY justru melanjutkan beberapa kebijakan yang dijalankan di era Presiden Soeharto, seperti pos pelayanan terpadu (Posyandu) untuk Ibu dan Anak dan mengaktifkan kembali program Keluarga Berencana.

Pasca Soeharto, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dulu menjadi acuan pembangunan lima tahunan, juga tidak dilanjutkan. Sekedar mengingatkan, GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Setelah Amandemen UUD 1945 di mana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi.

Amandemen UUD 1945 terjadi di era Presiden Abdurachman Wahid dan Presiden Megawati.

Sebagai gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan implementasi dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).

Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.

SBY melanjutkan kebijakan yang baik di era Megawati, yaitu mendukung program pemberantasan korupsi dan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

SBY juga merumuskan masterplan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia, yang isinya rencana pembangunan jangka lima tahunan, seperti rencana pembangunan lima tahunan (repelita) di era Soeharto.

Jokowi mengubah pola itu dengan merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk lima tahun. RPJMN berfungsi untuk menjadi pedoman Kementerian/Lembaga dalam menyusun rencana strategis, bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah, menjadi pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional.

RPJMN 2015-2019 merupakan visi, misi, dan agenda (Nawa Cita) Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dengan menggunakan Rancangan Teknokratik yang telah disusun Bappenas dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

Sekarang, PDIP menjadi parpol berkuasa. Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah usulan PDIP. Megawati mengusulkan adanya visi misi jangka panjang, bahkan jangka 100 tahun.

“Rancangannya pun tidak boleh berganti hanya karena pergantian pemimpin. Sudah saatnya bangsa ini memiliki sebuah haluan pembangunan nasional jangka panjang, sebuah rencana berupa pola pembangunan nasional di segala bidang kehidupan negara dan masyarakat; membangun serentak dalam bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan kebudayaan, juga yang tak kalah penting: bidang spiritual. Kesemuanya harus ada dalam satu integrasi dan sinergitas antar pulau, antar daerah, untuk menjadi Indonesia Raya,” kata Megawati.

Bagaimana respon Jokowi?

“Saya setuju bahwa pembangunan jangka menengah, jangka yang sangat panjang yang berisi rencana besar kita, berisi cita-cita besar kita, mimpi besar kita, harus mulai kita pikirkan secara serius,” kata Jokowi, saat pidato di Rakernas PDIP.

Presiden Joko Widodo ketika memberikan pidato di Rakernas ke-43 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di JI Expo Kemayoran. Foto oleh Widodo S. Jusuf/ANTARA

Jokowi menungkapkan, pembangunan nasional perlu direncanakan hingga 100 tahun mendatang. Dengan demikian, pembangunan Indonesia memiliki arah dan tujuan yang jelas.

Jika Megawati dan Jokowi sepakat, maka berarti RPJMN akan berubah, kembali ke masa Sukarno. Ini tergantung kepada proses politik di DPR dan MPR, karena berarti mengubah TAP MPR juga.

Pelaksanaannya juga sangat bergantung kepada komitmen pemimpin setelah era Jokowi untuk menjalankan visi jangka panjang itu, yang pastinya harus disesuaikan setiap kali dengan perkembangan situasi global dan kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia, yang mungkin bertambah puluhan juta pada 100 tahun lagi.

Jokowi sudah memasukkan tujuh impiannya ke dalam kapsul harapan saat berada di Merauke, Papua, akhir tahun 2015.

Untuk sementara ini, baiklah kita bernostalgia menyimak penggalan pidato Sukarno soal Pembangunan Nasional Semesta :

Nah, bangsa Indonesia adalah sematjam jang demikian itu, bangsa
Indonesia jang 88 djuta sekedar remeng-remeng, remeng-remeng da-
lam garis-garisnja, tetapi tjahajanja gilang-gemilang, tjahajanja selalu
memanggil-manggil ditjakrawala, tjahajanja selalu menarik kepada
fantasi dan inspirasi dari kesediaan berkorban daripada rakjat In-
donesia itu, tjahajanja gilang-gemilang, sehingga rakjat Indonesia
bersedia untuk berkorban mentjapai tjahaja gemilang itu, tetapi
garis-garis besarnja remeng-remeng di dalam matanja. Ia membutuh-
kan seorang arsitek. Maka arsitek itu adalah Saudara-saudara. Saja
sendiri, terus terang sadja, pun tidak tahu garis-garis persis daripada
masjarakat adil dan makmur itu. Saja sekadar mengetahui garis
garis besarnja, raja sekadar sebagai penjambung lidah daripada rak
jat, ikut tertarik kepada tjahaja gemilang jang telah berpuluh-puluh
tahun bersinar memanggil-manggil di tepi langit. Saja serahkan seka-
rang kepada Saudara-saudara, di bawah pimpinan Saudara Ketua,
Mr Muhammad Yamin.– Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!