Mengenal lebih dekat pengacara LBH yang dipukul saat penggusuran Bukit Duri

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal lebih dekat pengacara LBH yang dipukul saat penggusuran Bukit Duri
Menurut pengacara LBH Jakarta Alldo, terdapat 30 kasus penggusuran paksa sepanjang Januari-Agustus 2015

 PENGGUSURAN BUKTI DURI. Petugas Satpol PP membongkar rumah seorang warga Bukit Duri di bantaran Kali Ciliwung, pada 12 Januari 2016. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Jakarta, Indonesia — Pengabdi bantuan bukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alldo Fellix Januardy menderita luka-luka di wajahnya setelah dipukuli oleh anggota Satpol PP di lokasi penggusuran, Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada Selasa, 12 Januari. 

Usai dipukuli, Alldo langsung dibawa ke Rumah Sakit Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk divisum. 

Siapa Alldo dan apa saja aktivitasnya selama ini? Menurut penelusuran Rappler, Alldo adalah pengacara muda yang memang mengkhususkan dirinya untuk warga yang tergusur. 

Ia aktif membela warga-warga yang “terusir” dari rumahnya sendiri. Ia bahkan melakukan sebuah kajian tentang warga-warga yang tergusur di Jakarta. 

Hasil penelitian itu dipublikasikan pada pertengahan Agustus tahun lalu, pasca penggusuran paksa di Kampung Pulo, Jakarta Timur, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dalam laporan tersebut, Alldo mengungkap bahwa terdapat 30 kasus penggusuran paksa yang terjadi di wilayah DKI Jakarta sejak Januari hingga Agustus 2015.

Pengacara LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy menderita luka-luka di wajahnya setelah dipukuli oleh oknum Satpol PP di lokasi penggusuran Bukit Duri, Jakarta, pada 12 Januari. Foto dari Facebook LBH Jakarta

Dari 30 kasus penggusuran paksa, ia menemukan beberapa alasan penggusuran. Beberapa di antaranya adalah untuk membangun waduk, normalisasi wilayah perairan, pembangunan taman kota, pembangunan proyek Tentara Nasional Indonesia (TNI), pembangunan proyek PT Kereta Api Indonesia (KAI), proyek tol, pelebaran jalan atau jalur hijau, penggusuran paksa untuk penertiban, pembebasan lahan, pembangunan proyek Mass Rapid Transportation (MRT), hingga proyek Kepolisian RI.

Alldo juga menemukan bahwa 26 dari 30 kasus penggusuran tersebut sama sekali tidak melalui proses musyawarah yang baik.

“Hanya 4 kasus yang telah terlebih dahulu melakukan komunikasi dua arah bersama-sama dengan warga,” tulis laporan yang dibuat Alldo. 

Di lapangan, menurut pengamatan Alldo, eksekusi penggusuran paksa seringkali dilakukan dengan ancaman alat berat yang dibantu personel gabungan Satpol PP, TNI, dan Polri. Tindakan-tindakan tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu titik penggusuran paksa.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa dari 30 penggusuran, hanya 10 kasus yang mendapat tawaran relokasi, dan hanya dua di antaranya yang mampu mengakomodir seluruh warga dengan kualitas yang layak di hunian yang baru. 

Dari sisi ganti rugi, dari 10 kasus itu, hanya 3 kasus yang mendapatkan ganti rugi yang layak sesuai dengan kerugian yang dialami oleh warga. 

Laporan lengkap Alldo bisa dibaca di bawah ini: 

Lalu apa akar masalah dari penggusuran paksa di Jakarta? 

“Sebenarnya persoalannya di Indonesia adalah ketidakadikan birokrasi,” kata Alldo pada Rappler, Rabu, 13 Januari. 

Ia mencontohkan dalam beberapa kasus ada perusahaan yang selama 30 tahun menguasai lahan. Perusahaan itu kemudian mendaftarkan kepemilikan lahan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dikabulkan. 

“Sementara itu, warga Kampung Pulo yang berkali-kali mendaftarkan diri, tapi enggak dikasih peluang. Di sini ada ketidakadilan birokrasi,” katanya. 

Bukan hanya soal penggusuran, tapi juga sikap pemerintah yang menganggap masyarakat, menurut Alldo, seperti “hama”. Pemprov DKI Jakarta, misalnya, masih menggunakan cara-cara kekerasan dalam proses relokasi warga di bantaran Kali Ciliwung. 

Ia juga menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tak mengedepankan dialog atau musyawarah sebelum proses penggusuran.

“Seperti warga tidak bisa diajak bicara saja,” katanya. Padahal warga sering menyelenggarakan diskusi di tempat mereka, salah satunya di Bukit Duri.

Alih-alih kelurahan atau perwakilan Pemprov DKI ikut nimbrung, aparat mereka malah membubarkan diskusi dan menangkapi warga. Jika cara ini masih dilakukan, kata Alldo, penggusur dan yang digusur tak pernah mencapai kata “damai”. 

Lalu apa sarannya untuk Ahok dan jajaran Pemprov DKI?

“Sebagai pejabat publik, dikritik itu biasa. Tapi jangan melakukan penggusuran paksa dengan cara-cara otoriter agar warga tidak resisten. Warga masih bisa diajak bicara,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!