Organisasi internasional protes penolakan visa jurnalis Prancis yang akan meliput di Papua Barat

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Organisasi internasional protes penolakan visa jurnalis Prancis yang akan meliput di Papua Barat
Gara-gara membuat film dokumenter “Forgotten war of the Papuas” yang ditayangkan pada 18 Oktober 2015 lalu, visa Payen ditolak

JAKARTA, Indonesia—Reporters Without Borders (RSF) memprotes penolakan izin kunjungan jurnalis Perancis Cyril Payen ke Papua Barat pada Oktober 2015 kemarin. RSF mempertanyakan janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang akan melonggarkan izin jurnalis asing masuk tanah Papua. 

“Kami mengutuk penghalangan kebebasan media ini dan diskriminasi terhadap seorang jurnalis independen yang tidak melakukan kejahatan,” kata Benjamin Ismail, ketua RSF.  

Payen, seorang jurnalis yang biasa menulis soal Asia Tenggara dan berbasis di Bangkok, sebelumnya mengunjungi Papua Barat pada pertengahan 2015. Ia kemudian membuat sebuah film dokumentar berjudul “Forgotten war of the Papuas” yang ditayangkan pada 18 Oktober 2015 lalu. 

Usai tayangan itu, Duta Besar Indonesia untuk Perancis kemudian dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri dan diberi tahu bahwa Payen tak bisa masuk lagi ke Indonesia alias dipersonanongratakan sejak November 2015. 

Payen sendiri baru mengetahui informasi ini pekan lalu. 

Kapan jurnalis asing bisa leluasa meliput di Indonesia? 

Pada 10 Mei, Presiden Jokowi resmi mengumumkan bahwa Papua terbuka bagi wartawan asing. “Mulai hari ini, wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua, sama seperti (kalau datang dan meliput) di wilayah lainnya,” kata Jokowi. Pengumuman itu disaksikan Panglima Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti.

Namun pada 11 Agustus, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang mengatur prosedur kunjungan wartawan asing ke Indonesia terbit. Penerbitan surat ini diprotes kalangan jurnalis. Alhasil umurnya hanya 16 hari saja. 

Menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyaadmaji, pembatalan tersebut dilakukan karena ada instruksi langsung. “Perintah presiden,” katanya pada Rappler, Jumat pagi, 28 Agustus.

Sikap presiden dan jajarannya semakin terlihat tak kompak, ketika media masih menemukan beberapa insiden pembatasan atas liputan untuk jurnalis asing. Bukan hanya di Papua, tapi juga di tempat lain. 

Pada Oktober 2015, Komite internasional untuk perlindungan jurnalis (CPJ) memprotes perlakuan pemerintah Indonesia terhadap dua jurnalis asal Inggris, Neil Bonner dan Rebecca Prosser.

Menurut CPJ, Pemerintah Indonesia memperlakukan keduanya seperti kriminal, padahal mereka tidak melakukan tindak kejahatan.

“Neil Bonner dan Rebecca Prosser bukan kriminal pada umumnya, mereka harus diperlakukan selayaknya,” kata koordinator program Asia di CPJ Bob Dietz, Kamis, 22 Oktober.

Apa aktivitas keduanya sehingga mereka ditangkap petugas imigrasi?

Bonner dan Prosser sedang melakukan reka ulang adegan “Perompak di Selat Malaka” untuk sebuah proyek film dokumenter di perairan Pulau Serapat, Batam, pada Jumat malam, 29 Mei 2015.

Namun mereka ditahan imigrasi Batam karena diduga melanggar izin berkunjung di tanah air. Bonner dan Prosser menggunakan visa turis untuk merekam dokumenter yang rencananya akan ditayangkan di kanal National Geographic.

Lalu kapan jurnalis asing bebas meliput di Indonesia?—Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!