Mengenal kaum tunarungu di Deaf Cafe Fingertalk

Ayu Meutia Azevy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal kaum tunarungu di Deaf Cafe Fingertalk
Deaf Cafe Fingertalk didirikan untuk beri peluang kerja kepada penyandang tunarungu

Ada yang menarik saat saya mengunjungi kafe yang dinamakan Fingertalk ini. Belum genap satu tahun usianya, Deaf Cafe Fingertalk sudah mendapat sorotan dari publik. 

Tidak salah lagi, tempat ini begitu istimewa, karena Deaf Cafe Fingertalk adalah sebuah kafe yang mempekerjakan para kaum tuna rungu sebagai koki, pelayan, dan bahkan pekerja workshop.

Adalah Dissa Syakina Ahdanisa, gadis berjilbab yang akan genap 26 tahun di bulan Februari mendatang ini, mendirikan Deaf Cafe Fingertalk semenjak Mei 2015. 

Ide ini tercetus saat ia mengunjungi Nicaragua sebagai relawan. Saat itu, Dissa baru meninggalkan pekerjaannya sebagai akuntan di Jepang dan memulai petualangannya ke Nicaragua untuk memperdalam bahasa Spanyol. 

Dissa Syakina Ahdanisa, pendiri Deaf Cafe Fingertalk, menemukan ide saat bepergian ke Nicaragua. Foto oleh Ayu Meutia/Rappler

Hingga suatu ketika ia menemukan kafe yang mempekerjakan kaum tunarungu di sana. Maka, ide untuk membuat kafe serupa di tanah kelahirannya muncul.

Deaf Cafe Fingertalk didirikan dengan tujuan untuk memberikan peluang bekerja yang sama besar kepada para penyandang tunarungu. Terdapat lima sampai 6 pegawai tunarungu yang bekerja di Fingertalk. 

Tugas mereka pun dibagi-bagi. Ada yang memasak di dapur, ada yang melayani pelanggan, dan ada yang bertugas di workshop untuk merajut pernak-pernik dan tas yang dijual di restoran atau yang dibuat sesuai pesanan pelanggan. 

Selain menu makanan yang disediakan di atas meja, tersedia pula kartu petunjuk Bahasa Isyarat Indonesia yang bisa digunakan pelanggan untuk berkomunikasi dengan pegawai.

Salah satu pegawai yang merangkup sebagai penerjemah dan interpreter adalah Ali. Pria ini mempunyai dua saudara yang terlahir tunarungu, sehingga lumrah baginya untuk memahami sign language atau bahasa isyarat.

“Bahasa isyarat berbeda-beda. Seperti yang saya pelajari di Singapura, grammar dimasukkan ke dalam bahasa isyarat. Sementara, bahasa isyarat yang kita gunakan di Deaf Talk Cafe adalah Bisindo atau Bahasa Isyarat Indonesia yang lebih sederhana dan mudah digunakan,” kata Dissa, yang menguasai bahasa Spanyol, Jepang, Arab, dan bahasa Isyarat di samping bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Di Deaf Cafe Fingertalk, para pegawai ditemani oleh Ibu Pat Sulistiyowati, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin). 

Bu Pat mengayomi para pegawai dengan mengajarkan cara merajut dan menjahit. Sementara, Bu Lisma D. Oktafoma, yang tidak lain adalah ibunda Dissa, mengajarkan pegawai untuk memasak, mengurus dapur, dan melayani pelanggan.

Bu Lisma sangat bangga dengan pegawai kafe yang punya keterampilan yang sangat baik dalam memasak dan merajut. 

“Saya ajarkan mereka untuk menghidangkan makanan dan minuman pelan-pelan. Karena, mereka tidak bisa mendengar bunyi kalau piring atau gelas terbanting di atas meja. Awal-awalnya, mereka belum terbiasa. Bahkan, untuk menyapa tamu kadang ngumpet-ngumpet,” kata Bu Lisma. 

“Namun sekarang, mereka sudah bisa dan paham dengan sendirinya. Mereka sangat rajin, percaya diri, dan tulus dalam mengerjakan tiap tugas.”

Kartu petunjuk Bahasa Isyarat Indonesia yang bisa digunakan pelanggan untuk berkomunikasi dengan pegawai. Foto oleh Ayu Meutia/Rappler

Salah satu anggota keluarga Fingertalk yang paling sering dibicarakan adalah Bu Rina. Ia merupakan penyandang tunarungu sedari lahir, namun kehilangan penglihatannya semenjak usia 40 tahunan. 

Meskipun Bu Rina tidak bisa mendengar dan melihat, Bu Rina selalu mengisi hari-harinya dengan aktivitas normal, seperti merajut yang kini menjadi hobinya. Buah karyanya terpampang di depan kafe dan siap dijual untuk pelanggan.

Kunjungan ke Deaf Cafe Fingertalk bukan hanya membuka wawasan tentang komunitas tunarungu, namun menjadi bahan cerminan batin. Melihat teman-teman yang tetap semangat bekerja meskipun memiliki keterbatasan, bukan menjadi penghalang mimpi dan produktivitas. 

Menjelang peringatan ulang tahun Deaf Cafe Fingertalk yang pertama, Dissa pun memiliki cita-cita yang baru. Salah satunya adalah untuk menerbitkan buku yang menceritakan kisah-kisah awal dibangunnya Deaf Cafe Fingertalk.

Untuk mengetahui kegiatan Deaf Cafe Fingertalk lebih lanjut, kunjungi laman Facebook-nya di “Deaf Cafe Fingertalk” atau sapa keluarga Fingertalk di akun Instagram @dcfingertalk

Pintu Deaf Cafe Fingertalk yang terletak di Jalan Pinang no. 37, Pamulang, Tangerang Selatan, terbuka dari hari Selasa hingga Minggu dari pukul 10 pagi hingga 9 malam. —Rappler.com

 

 

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!