Bincang Mantan: Ketika pacarmu ternyata penyuka sesama jenis

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Ketika pacarmu ternyata penyuka sesama jenis
Apa yang akan kamu lakukan kalau pacarmu ternyata bukan yang selama ini kamu bayangkan? Bagaimana kalau ternyata … seleranya bukan kamu?

Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.  

Adelia Putri 

Bagi saya, semua orang berhak punya pendapat pribadi mengenai LGBT. Terserah kamu kalau menurutmu itu melanggar aturan agama, imoral, atau mungkin itu sebuah nasib yang tak bisa diubah. Apapun yang saya katakan, tak bisa merubah pikiranmu, kan? Asalkan tidak mengganggu dan menyakiti saya atau mereka, terserah kamu mau berpendapat apa.

Saya yakin, kebanyakan dari kalian punya posisi itu ketika ditanya pendapat mengenai LGBT. Memilih untuk terdengar aman dibandingkan harus memilih satu sisi. Iya, kan? Saya juga begitu, kok. Mungkin terdengar naif, non-ilmiah, atau apapun, saya sih masih kekeuh mendukung pendapat Menteri Agama kita tentang LGBT.

Tapi, semua hal normatif pasti jadi relatif dan sensitif ketika kamu sendiri yang mengalaminya, kan? 

Mungkin kamu baru tahu kalau pacarmu homoseksual (ini kalau kamu heteroseksual; vice versa kalau keadaannya sebaliknya), mungkin kamu percaya kalau seksualitas adalah sesuatu yang fluid dan kamu berharap bisa mengubah dia (tapi ternyata tak bisa), atau mungkin dia akhirnya punya keberanian untuk come out pada kamu. Lalu kamu harus berbuat apa?

Kalau saya, saya percaya jika pacaran itu harus didasari dari pertemanan, dan bukankah teman yang baik harus selalu suportif dan membantu —meskipun konteksnya sudah berbeda? Bukankah teman yang baik tak boleh egois? Kebahagiaan bersama itu harus dua pihak, karena kalau cuma sepihak namanya penindasan.

Lagipula, bukankah lebih baik jujur daripada terus berbohong? Memangnya kamu lebih mau jadi kamuflase, dibandingkan harus memulai lagi sesuatu yang baru agar kamu dan dia sama-sama bisa lebih bahagia? (Kalau tidak mengerti, kamu bisa nonton Glee musim pertama, cari tentang “cinta segitiga” Kurt-Mercedes-Rachel).

Bukankah lebih baik berani mencari daripada tak pernah merasa nyaman dengan keadaan saat ini? Memangnya kamu mau ada di sebuah hubungan di mana kamu dan dia sama-sama mempertanyakan posisi masing-masing? Capek lho, merasa insecure terus-terusan. 

Mungkin kamu penganut prinsip Risalah Hati-nya Dewa 19 (buat yang enggak nyambung: “Aku bisa mencintaimu meskipun kau tak cinta. Beri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa”), tapi apa iya petuah Ahmad Dhani itu bisa diterapkan di semua keadaan? 

Tapi, ya, apapun keputusan kamu (dan dia —ingat: dua pihak!) kamu harus diskusikan dan pikirkan baik-baik langkah selanjutnya. Saya tidak bisa menyarankan apa-apa. Saya kan bukan Mamah Dedeh.

Tapi ya… kalau kata Kahitna di satu konser yang pernah saya datangi sih, “Cinta takkan salah —yang salah orangnya”. Mungkin saja kamu dan dia orang yang salah untuk satu sama lain dalam masalah percintaan. 

Tapi, hey, jodoh kan enggak kemana-mana. Mungkin dia ada di belokan setelah kisah yang ini!

Bisma Aditya

Tiba-tiba tahu kalau pacar kita, yang dulu kita dekati dan coba kenal lebih jauh sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih, ternyata adalah seorang kaum LGBT, pasti jadi polemik sendiri. Kalau itu terjadi pada saya…. saya pasti akan meragukan kelaki-lakian saya.

Bagi saya, pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab dalam dua kata: background check.

Kalau dulu katanya pria bergantung pada logika dan perempuan pada perasaan, rasanya kalau sekarang kita juga bergantung pada satu hal ini. Background check adalah suatu hal yang wajib dilakukan.

Tinggal search nama seseorang di Google, kita sudah bisa mengetahui hal-hal dasar dari orang tersebut mulai dari pendidikannya, pergaulannya, sampai dengan siapa mantannya. Jika agak niat, lewat Google juga kita bisa tahu lebih dalam tentang orang yang dimaksud mulai dari prestasinya, cara bergaulnya, sampai penyebab dia putus dengan mantannya.

(Background check bukan stalking! Ini adalah riset sosial!)

Tapi, ya lagi-lagi, laki-laki dan perempuan menyikapi informasi dari background check dengan cara yang berbeda.

Perempuan biasanya menanggapi informasi dengan perasaannya dan dengan mudahnya baper dengan berbagai pencitraan yang ada di Internet dan kata manis ketika bertemu, tidak begitu dengan pria.

Kami akan melakukan kalkulasi dan perhitungan terhadap semua data yang ada. Dengan data “pendidikan bagus, punya banyak teman, belum pernah pacaran”, ditambah dengan kata manis tidak semerta-merta membuat kami baper ke orang itu. 

Dengan logis kami akan berpikir, “Terlihat sempurna di Internet kenapa belum pernah pacaran?”

Lagi-lagi jawaban atas pertanyaan itu bisa cukup mudah ditemukan melalui Internet, atau setidaknya fakta yang menimbulkan kecurigaan seseorang itu mungkin bukan heteroseksual pasti mudah ditemukan, biarpun pembuktiannya tidak sesederhana itu. Setidaknya muncul kecurigaan.

Jadi, kalau kamu (para pria-pria) kalau bisa tercemplung dengan orang yang orientasinya tidak sejalan dengan kamu, ya kamu bisa dibilang produk gagal. Di mana daya logika dan analisis kamu? Masa setelah background check, pendekatan, dan jadian kamu bisa tidak curiga. Bisa dibilang kamu kecolongan. Pria tanpa logika perlu dipertanyakan kelaki-lakiannya.

Saya menulis ini di dalam posisi tidak punya pacar dan tidak sedang melakukan pendekatan kepada siapa pun sehingga bisa dikatakan bahwa saya terbebas dari yang namanya “cinta” sehingga logika saya berjalan 100%.

Bagi kalian pria yang kecolongan seperti di atas adalah, kalian mungkin mengikuti petuah Agnes Monica bahwa, “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika”. Tapi, menurut saya bukan logikanya yang tidak ada, tapi cinta membuat logika tidak diperhatikan —meskipun kadang logika juga sedari awal sudah teriak, “Hey, sadar, cinta yang kamu kejar itu salah”. 

Adelia, mantan reporter Rappler, kini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di London, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!