Tahun monyet api membawa berkah bagi perajin lampion Malang

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tahun monyet api membawa berkah bagi perajin lampion Malang
Ribuan lampion buatan Malang dipesan pembeli dari luar negeri

MALANG, Indonesia – Imlek membawa berkah bagi industri rumahan di Malang. Perajin lampion rumahan mengalami peningkatan pesanan menjelang tahun baru Imlek pada Februari ini. 

Pesanan yang masuk bahkan tak sebanding dengan kemampuan produksi tenaga pekerja yang ada. Agar tak mengecewakan konsumen dengan produk yang tak berkualitas, perajin lampion pun menularkan ilmu pada tenaga baru untuk membuat lampion.

Ahmad, pemilik Cempaka Lampion di Kota Malang, mengatakan telah kebanjiran pesanan sejak November 2015. Pesanan tak henti mengalir sejak itu hingga hari-hari terakhir jelang Imlek yang jatuh pada 8 Februari 2016. 

Jika dihitung, produksi Cempaka Lampion sudah mencapai 20 ribu lampion sejak November hingga saat ini. Jika dirata-rata, mereka harus membuat setidaknya 6.000 lampion setiap bulannya. Jumlah itu naik pesat jika dibandingkan produksi di bulan lain, yang rata-rata mencapai 2.000 lampion dalam satu bulan.  

“Kami punya pelanggan tetap 6 orang. Itu pesanannya selalu ribuan menjelang Imlek. Yang lain adalah pelanggan baru yang datang lewat online,” kata Ahmad kepada Rappler, Senin, 1 Februari.

Lampion dengan kerangka dari rotan dan bahan dari kain khusus berdiameter 30 cm menjadi model yang paling banyak diminati. Warnanya ada merah, kuning, dan hijau, atau sesuai pesanan. 

Harganya bervariasi antara Rp 25 ribu untuk lampion diameter terkecil seluas 25 cm, hingga Rp 5 juta per satu buah. Lampion seharga 5 juta dipesan pembeli dari Jakarta dalam bentuk monyet dengan ketinggian 1 meter.

Selain Jakarta, permintaan lampion juga berasal dari pulau Sumatera, Kalimantan, dan sejumlah wilayah di Sulawesi. Permintaan dari luar negeri juga tetap rutin masuk, salah satunya dari Italia.

Tahun ini adalah tahun ketiga bagi Cempaka melayani permintaan pembeli dari Negeri Pizza itu. Menurutnya, berbisnis dengan pembeli luar negeri memang menguntungkan dari segi harga. Sebab mereka mau membeli mahal untuk lampion buatan tangan.

Perajin lampion di Jalan Juanda, Kota Malang, sedang mengerjakan lampion miliknya, pada 1 Februari 2016. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Namun, ada pula perjanjian jelas dan mengikat yang harus ditandatangani dan dipatuhi Cempaka saat menerima pesanan itu. Pelanggaran perjanjian akan berakibat fatal, berupa denda puluhan juta rupiah. 

“Mereka menyertakan hak cipta atas desain lampion yang mereka pesan. Harganya juga berbeda karena dibuat khusus. Ada teman saya di Bali yang melanggar perjanjian kemudian harus bayar denda sekitar Rp 20 juta. Kesalahannya dia membuat dan menjual lampion pesanan yang serupa pada pihak lain,” kata pria yang mulai mengelola lampionnya sendiri sejak 2006 ini. 

Cempaka membuat sekitar 2.500 lampion untuk pemesan dari Italia itu.

Selain Cempaka, ada sekitar tiga outlet lampion lain di Jalan Juanda, Kota Malang, yang mulai berproduksi sejak awal 2000. 

Rata-rata, outlet di gang yang berjuluk Kampung Lampion itu, juga menerima peningkatan pesanan selama Imlek. 

Ahmad mengaku kesulitan meminta tolong pada outlet lain di sekitarnya saat kebanjiran order. Dia bersama kakaknya pun mulai membagi ilmu pada masyarakat di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, agar produksi lampion bisa memenuhi permintaan.  

Masyarakat Tumpang yang sebagian besar bertani dan pedagang punya banyak waktu luang untuk membuat lampion. 

“Kebetulan kakak saya rumahnya di Tumpang. Jadi kami mengajari satu kampung di sana. Kemarin ada permintaan 600 lampion dan dikerjakan di Tumpang. Hasil lampionnya juga bagus,” ujarnya.

Sementara, kemampuan seluruh pesanan Imlek di tempatnya digarap oleh sembilang pekerja yang dibayar dengan sistem borongan. Meskipun tak banyak, namun Ahmad menyebut upah borongan di tempatnya jauh lebih baik dibandingkan upah yang diberikan perajin di tempat lain di luar Malang. 

“Mereka banyak yang sempat kerja di Bali. Tapi upah di sana lebih rendah, jadi mereka memilih kerja musiman di sini. Selama Imlek mereka sudah kerja rutin tiga bulan terakhir,” ungkapnya. 

Dengan jumlah 9 tenaga kerja, Ahmad bisa menyelesaikan setidaknya 100 lampion setiap harinya.

Kampung lampion sendiri terbentuk dari keahlian warga setempat membuat lampion. Keahlian itu sebagian besar didapat saat bekerja di Bali pada 1990an. Pesanan yang melesu pasca bom Bali membuat banyak bengkel lampion di Bali tutup dan mereka terpaksa pulang kampung. 

“Kami mencoba membuat di sini, awalnya yang beli klenteng dan warga Malang saja. Tapi kemudian banyak pelanggan di Bali yang juga membeli di sini,” kata Prasetyawan, seorang pekerja di toko Juanda Lampion. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!