LINI MASA: Revisi UU KPK dari tahun ke tahun

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LINI MASA: Revisi UU KPK dari tahun ke tahun

GATTA DEWABRATA

Politisi Golkar Priyo Budi Santoso mengatakan Wakil Ketua Komisi Hukum Benny K Harman adalah orang pertama yang menandatangani usulan RUU KPK pada 2011 silam.

JAKARTA, Indonesia – Dalam rapat paripurna pada 26 Januari lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. 

Ini adalah kali kedua revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas. Pada akhir Juni lalu, usulan revisi juga masuk dalam Prolegnas tahun 2015 dalam rapat antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Komisi III DPR. 

Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), usulan untuk merevisi UU KPK mulai bergulir sejak 2010. Dan masih menurut lembaga swadaya masyarakat itu, UU KPK menjadi  regulasi yang paling alot dalam proses pengusulan dan pembahasan revisinya.

Berikut adalah catatan lengkap ICW mengenai perjalanan usulan revisi UU KPK sejak 2010 hingga Februari 2016. 

26 Oktober 2010

Komisi Hukum DPR mulai mewacanakan revisi UU KPK.  

24 Januari 2011

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Golkar mengirim surat nomor PW01/0054/DPR-RI/1/2011 kepada Ketua Komisi III Benny K. Harman dari Partai Demokrat. Dalam surat tersebut, Priyo meminta Komisi III menyusun draf naskah akademik dan RUU KPK.

Hasilnya? Rancangan revisi karya Komisi III DPR itu menjadi salah satu dari 70 prolegnas prioritas pada tahun 2011.  

25 Oktober 2011

Ketua Komisi Hukum DPR Benny K. Harman menyatakan revisi UU KPK merupakan satu keharusan. Benny menyampaikan 10 poin yang menjadi isu krusial revisi, termasuk kewenangan KPK merekrut penyidik dan penuntut, fokus KPK pada pemberantasan korupsi, wewenang menyadap, laporan harta kekayaan penyelenggara negara, kewenangan KPK melakukan penyitaan dan penggeledahan, menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), prinsip kolektif kolegial kepemimpinan KPK, prioritas kerja KPK dalam bidang pencegahan atau penindakan harus dipertegas, dan fokus penindakan KPK.  

23 Februari 2012

Muncul naskah revisi UU KPK yang diduga berasal dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam rancangan tersebut, kewenangan penuntutan hilang, penyadapan harus mendapat izin ketua pengadilan, pembentukan dewan pengawas, dan kasus korupsi yang ditangani hanya di atas Rp 5 Miliar. 

3 Juli 2012

Berdasarkan risalah rapat, tujuh fraksi di Komisi III menyetujui rancangan revisi UU KPK dan UU Tipikor untuk diajukan ke Baleg. Ketujuh fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Sementara PDI Perjuangan menolak revisi, dan PKS memilih tak bersikap. Rapat Pleno dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin dari dari Fraksi Golkar. 

27 September 2012

Ketua Komisi Hukum DPR Gede Pasek Suardika menyatakan DPR tetap akan mempercepat pembahasan revisi UU KPK. Revisi diperlukan untuk memperjelas kewenangan KPK yang selama ini belum jelas. Menurut Pasek, revisi UU Nomor 30 tahun 2002 ini sudah tak bisa ditolak. Alasannya, rencana perubahan sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2011.

4 Oktober 2012

Rapat pleno Komisi III menyetujui untuk melanjutkan naskah RUU tentang perubahan undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada proses berikutnya, yaitu pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Badan Legislasi DPR.

8 Oktober 2012

Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono, dalam pernyataan persnya, menyatakan lebih baik kita meningkatkan upaya pemberantasan korupsi agar lebih berhasil, daripada harus memberikan perhatian dan menghabiskan energi hanya untuk melakukan revisi dan mendukung penuh KPK.

SBY menyatakan: “Sampai saat ini saya tidak tahu konsep DPR untuk merevisi UU KPK itu. Jika ternyata itu untuk memperkuat KPK dan lebih efektif. Saya pada posisi yang siap untuk membahasnya. Tapi untuk saat ini belum tepat.

16 Oktober 2012

Panitia Kerja (Panja) revisi UU KPK akhirnya memutuskan menghentikan pembahasan revisi aturan tentang komisi antirasuah itu. Seluruh fraksi di DPR menolak revisi UU KPK. Selanjutnya, keputusan Panja diserahkan ke Baleg. Ketua Panja revisi UU KPK, R. Dimyati Natakusuma, mengatakan keputusan Panja menghentikan pembahasan tidak lepas dari upaya DPR mendengarkan suara rakyat. Terutama mereka yang menolak revisi.

9 Februari 2015

Keluar Surat Keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional 2015-2019 dan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2015. Surat dengan Nomor 06A/DPR/II/2014-2015 ditandatangani oleh Ketua DPR Setya Novanto. Revisi UU KPK tercantum dalam nomor urut 63 dan diusulkan oleh DPR.

19 Juni 2015

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan membatalkan rencana pemerintah membahas revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional 2015.

23 Juni 2015

Sidang Paripurna, seluruh Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sepakat untuk memasukkan revisi UU KPK dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015. Revisi UU KPK masuk daftar Rancangan Undang-Undang yang ditambahkan dalam Prioritas Prolegnas 2015. Tidak ada satu pun fraksi yang menolak revisi UU KPK. DPR  beralasan dimasukkannya RUU KPK dalam Prolegnas 2015 karena usulan dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

Secara garis besar ada 5 isu krusial yang coba dimasukkan oleh DPR dalam naskah revisi UU KPK yaitu, pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan “kolektif-kolegial”, dan pengaturan terkait PLT Pimpinan jika berhalangan hadir.

Oktober 2015

Beredar naskah revisi UU KPK yang patut diduga berasal dari gedung Parlemen di Senayan. Dalam catatan ICW, sedikitnya terdapat 17 hal krusial dalam revisi tersebut yang melemahkan KPK, termasuk usulan pembatasan usia institusi KPK hingga 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekruitmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK.

13 Oktober 2015

Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK. Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat Konsultasi di Istana Negara. Keduanya sepakat untuk membahas RUU KPK ini dalam masa sidang selanjutnya pada tahun 2016.

Ketua DPR Setya Novanto mengungkapkan bahwa penundaan ini dilakukan karena DPR masih fokus membahas RAPBN 2016. Sedang Menkopohukham Luhut Panjaitan menyatakan pemerintah merasa masih perlu memastikan perbaikan ekonomi nasional berjalan baik.

27 November 2015

Baleg DPR dan Menteri Yasonna Laoly menyetujui revisi UU KPK menjadi prioritas yang harus diselesaikan pada tahun 2015 ini. DPR beralasan Revisi UU KPK penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK. 

2 Desember 2015

Presiden Jokowi menyatakan: “Soal revisi Undang-Undang KPK, inisiatif revisi adalah dari DPR. Dulu juga saya sampaikan, tolong rakyat ditanya, semangat revisi Undang-Undang KPK itu untuk memperkuat, bukan untuk memperlemah.”

14-16 Desember 2015

Materi Revisi UU KPK masuk dalam materi pertanyaan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Pimpinan KPK periode 2015-2019. Uji kelayakan dilakukan oleh Komisi Hukum DPR.

 

15 Desember 2015
Rapat paripurna DPR memutuskan untuk memasukkan revisi Undang-Undang KPK dan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) dalam Prolegnas 2015. Keputusan yang dilakukan secara mendadak di hari-hari akhir masa sidang anggota DPR RI, yang memasuki masa reses pada 18 Desember 2015.

26 Januari 2016

DPR menyepakati revisi UU KPK masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2016. Hanya Fraksi Partai Gerindra yang menolak revisi UU KPK.

1 Februari 2016

Revisi UU KPK mulai dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi di DPR. Anggota Fraksi PDI-P Risa Mariska dan Ichsan Soelistyo hadir sebagai perwakilan pengusul revisi UU tersebut. Ada 45 anggota DPR dari 6 fraksi yang menjadi pengusul Revisi UU KPK. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 9 orang dari Fraksi Golkar, 5 orang dari Fraksi PPP, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan dua orang dari Fraksi PKB.

Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!