Nani Nurani, penyanyi Istana korban 1965 yang 13 tahun menunggu keadilan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nani Nurani, penyanyi Istana korban 1965 yang 13 tahun menunggu keadilan
Dituduh menerima rumah dari tokoh penting PKI, penyanyi ini kemudian diciduk oleh polisi militer dan dituding sebagai simpatisan partai komunis tersebut.

JAKARTA, Indonesia—Awalnya, Nani Nurani hanya seorang remaja biasa yang dididik di lingkungan Islam moderat dan modern. Tetapi dia berkembang dan menjadi penyanyi dan penari. 

Kariernya terus meningkat, hingga ia bisa tampil di Istana Cipanas pada 1962-1965. Pada tahun 1965, ia pindah ke Jakarta. Ia sempat disebut juga sebagai penyanyi kebanggan Presiden Indonesia pertama Soekarno. 

Ia kemudian diundang untuk manggung di ulang tahun Partai Komunis Indonesia pada 1965 di Cianjur, Jawa Barat. 

Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, setelah manggung di ulang tahun PKI itu lah nasib Nani berubah. Ia dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan disebut sebagai kader Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Nani bahkan disebut mendapat rumah dari tokoh penting PKI, DN Aidit. 

Akibat tuduhan pada tanggal 23 Desember 1968, Nani Nurani ditangkap oleh Polisi Militer Cianjur dan dibawa ke Gedung Ampera Cianjur untuk diinterogasi selama satu bulan. 

Kemudian pada tanggal 20 Januari 1969, Nani Nurani dipindahkan ke kantor Corps Polisi Militer (CPM)  Bogor untuk kembali diinterogasi.  

Sedangkan pada tanggal 25 Januari 1969 dipindahkan ke kantor CPM Guntur, hingga akhirnya pada tanggal 29 Januari 1969, Nani Nurani diputuskan untuk menjalani penahanan di Penjara Wanita Bukitduri.

Pada tanggal 29 Maret 1976, berdasarkan Surat Perintah Kepala Teperda Jaya Laksus Pagkopkamtib Nomor 40/III/1976, Nani Nurani mendapat pembebasan penuh. 

Selama Nani Nurani ditangkap, sejak 23 Desember 1968 hingga 29 Maret 1976, dirinya tidak pernah diperiksa di persidangan dan tidak pernah diputus pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah.

Namun setelah dibebaskan, Nani tak benar-benar lepas dari bayang-bayang cap ‘anggota PKI’. 

Pada tahun 1977, aparat dari Babinsa dan aparat Kelurahan Rawa Badak Utara yang meminta surat-surat berita acara sumpah, bahkan menuduh Nani sebagai pelarian Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) PKI. Hal ini terjadi sekitar bulan Agustus 1977 ketika dirinya pindah rumah ke daerah Plumpang. 

Pada tahun 1978, Kartu Tanda Penduduk Nani diberi tanda eks tahanan politik (ET). Selain itu bersama nama-nama lainnya, Nani dimasukkan dalam daftar anggota Organisasi Terlarang (OT) oleh Kelurahan Rawa Badak, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. 

Nani Nurani diminta Camat Koja, untuk melakukan wajib lapor setiap bulannya yang dilakukan setiap tanggal 2 di kecamatan dan setiap tanggal 18 di kelurahan. Ini dilakukan sejak tahun 1984.

Nani melawan 

Merasa diperlakukan sewenang-sewenang, Nani mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia pada 2003 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. 

Pada tahun yang sama, putusan PTUN mengabulkan gugatan Nani. Di dalam putusan PTUN tersebut, Nani Nurani tidak terbukti terlibat secara langsung atau tidak langsung sebagai anggota PKI atau golongan C.  

Bahkan, putusan PTUN menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum atas tindakannya yang sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap Nani. Putusan PTUN tersebut dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung nomor: 400K/TUN/2004.

Tapi Nanti tak berhenti melawan di tingkat PTUN, ia kemudian mengajukan sendiri gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2011. Namun majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa gugatan Nani Nurani tidak dapat diterima. Atas putusan tersebut Nani Nurani mengajukan upaya hukum banding. 

Tapi sekali lagi, permohonan banding Nani tidak dapat diterima. Atas upaya hukum itu, Nani Nurani bersama tim advokasi korban stigma 65, pada tanggal 8 Maret 2013 mengajukan upaya hukum kasasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menyerahkan memori kasasi pada tanggal 22 Maret 2013 serta menerima pemberitahuan penyerahan kontra memori kasasi yang diajukan oleh Jaksa Pengacara Negara. 

Namun Nani belum mendapat kepastian tentang perkembangan pemeriksaan perkara kasasinya, apakah sudah diperiksa dan diputus atau belum diperiksa sama sekali. 

Atas kondisi tersebut, pada tahun 2013 Nani bersama tim advokasi mengajukan pengaduan di antaranya register nomor perkara, tim majelis hakim, serta panitera yang memeriksa kasasi Nani. 

Namun, Ombudsman Republik Indonesia, tidak berani mempertanyakan permasalahan yang diadukan Nani dengan alasan bahwa perkara Nani sudah diproses hukum.

Perjuangan Nani Nurani tidak berhenti, pada tahun 2015 bersama tim advokasi, Nani mengajukan pengaduan ke Komisi Yudisial namun Komisi Yudisial tidak berwenang menerima permohonan Nani. 

Kemudian Nani bersama tim kembali mendatangi Ombudsman untuk mengadukan terkait adanya maladministrasi tentang lambannya pemeriksaan kasasi Nani Nurani oleh Mahkamah Agung. 

Bahkan, pada tanggal 13 Januari 2016, Nani dan tim advokasi mengajukan pendaftaran permohonan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat atas tidak adanya informasi yang diterima Nani dan tim advokasi atas pekembangan kasasinya. 

Adanya pengaduan yang disampaikan Nani dan tim advokasi ke beberapa lembaga negara bukan tanpa dasar, hal tersebut mengacu pada Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi: 

“Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 47, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.”

Serta Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan panitera pada Mahkamah Agung memiliki kewajiban untuk mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkannya kepada Mahkamah Agung. 

LBH desak MA segera putus kasus Nani

Veronica Koman, salah satu anggota tim Advokasi Nani Nurani mempertanyakan kejelasan status kliennya di Mahkamah Agung. 

“Kami mendesak Mahkamah Agung untuk segera memeriksa, mengadili dan memutus perkara kasasi Nani Nurani secara independent dan imparsial,” katanya pada Rappler. 

Menurutnya berkas Nani sudah diterima oleh MA sejak November 2015 dengan nomor urut pendaftaran 3286/K/PDT 2015. Tapi hingga hari ini, 3 Februari, belum ada kejelasan atas kasus Nani. 

Apa tanggapan Mahkamah Agung? Juru bicara MA Suhadi Sudjiono mengatakan bahwa kasus Nani sudah diterima hakim tapi pada 15 Januari bukan November 2015 seperti yang disebut kuasa hukum. 

Saat ini kasusnya masih ditangani oleh T2 atau pembaca dua. Menurut Suhadi setidaknya ada tiga pembaca di MA, yang terakhir adalah majelis hakim. 

Suhadi tak bisa memastikan, kapan kasus Nani akan dibaca oleh Hakim Majelis. “Jadi itu tergantung internal majelis sendiri,” katanya pada Rappler siang ini. 

Mungkinkah kasus Nani akan menjadi prioritas MA tahun ini? Suhadi tak bisa memastikan. “Karena di MA tahun ini ada 15.000 kasus,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!