Bincang Mantan: Ketika cinta terhalang perbedaan

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Ketika cinta terhalang perbedaan
Cinta terhalang beda agama, beda suku, beda status sosial?

Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

 Adelia Putri: Hidup jangan terlalu dibawa serius

“Cinta kita sama, hati kita sama, tapi keadaan kita yang tak sama…” 

Kalau kamu penggemar sejati Yovie Widyanto, kamu mungkin bisa baca kalimat di atas dengan nada yang pas (Kalau kamu bukan, coba Google aja, lagunya enak, lho!).

Kalau bicara tentang hal-hal yang menghalangi dua orang menjalin kisah romantis, rasanya tidak bisa kalau tidak baper. Mungkin kamu yang membaca sudah menghela nafas duluan ketika baca judul tulisan ini, atau mendadak ingin karaoke nyanyi lagu Peri Cintaku-nya Marcell, atau penasaran kelanjutan isi tulisan ini. 

Kalau saya, ketika mas editor menyodorkan topik ini, saya menghela nafas panjang, menahan keinginan lempar handphone, lalu bengong memikirkan bagaimana menulis tanpa curcol berkepanjangan.

Iya, iya, bicara tentang beda agama, beda suku, tidak mungkin tidak baper. Mau sekesal apapun, ini harus diterima. Indonesia yang punya banyak agama dan kultur, katanya menjunjung tinggi pluralisme, tapi terkadang masih tidak bisa diganggu gugat untuk beberapa hal. Termasuk urusan cinta.

Saya sih tidak bisa bicara banyak tentang beda agama. Rasanya itu sudah saklek, ada agama yang membolehkan, ada yang tidak. Mau mengikuti aturan atau tidak, ya kembali ke masing-masing. Mau menghadapi pertentangan keluarga atau mau pindah ke operator lain, ya itu, kembali lagi ke prioritas hidup masing-masing.

Tapi, buat saya, agama harusnya jadi pondasi sebuah hubungan (kalau memang niat serius). Kalau pondasinya beda, tiangnya juga akan berbeda-beda, membangunnya akan sulit, hasil akhirnya pun mungkin tak sesuai harapan. No offense bagi yang berhasil menjalankannya, good for you

Bagi yang sedang atau baru mau menjalankan, yakin mau ambil jalan yang sesulit itu? Yakin siap menghadapi ketidaksetujuan orang-orang sekitar? Yakin bisa kuat dengan prinsip “Peduli amat apa kata orang”?

Manusia memang mahluk sosial, tapi apa iya mau berbuat apa-apa harus peduli apa kata orang? Apakah rasionalitas dan feeling sendiri tidak cukup menjadi alasan untuk mengambil keputusan?

Kalau kamu yakin agamamu tak membolehkan pernikahan beda agama, bukankah itu cukup jadi landasan untuk tidak memulainya, tanpa ada embel-embel, “Duh apa kata tetangga?”. 

Sama halnya kalau kamu tak bisa bersama dengan alasan suku. Sudah 2016, kenapa masih peduli dengan stereotype suku tetangga? Kenapa alasan suku X harus dengan suku X masih dipakai?

Kenapa menjaga darah-murni dalam keturunan masih begitu dijunjung tinggi? Memangnya kalian pengikut Voldemort? Toh, Harry Potter saja darah campuran dan Hermione adalah darah lumpur, tapi mereka baik-baik saja, tuh.

Sudahlah, tak ada habisnya kalau mau menggugat stereotype atau tradisi. Cuma bikin hipertensi.

Buat kalian yang sedang berkutat dengan ketidaksetujuan orangtua, pertentangan marga yang tak cocok, atau beda status sosial, saya cuma mau meneruskan wejangan terbaik yang saya dapatkan waktu itu:

“Sesayang-sayangnya gue sama orang lain, gue tetap lebih sayang diri sendiri, Del.”

“Kalau sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang dia benar-benar mau dan dia menganggap kalian berdua sepenting itu, pasti diperjuangin, kok. Kalau enggak, ya,kamu tahu apa artinya.”

Semoga kalian bisa berpikir jernih dan dimudahkan jalannya tanpa harus terlalu dipusingkan dengan apa kata orang, dan jika pun tak berhasil, semoga kamu tidak terlalu stress. 

Ingat saja Princess Syahrini: Hidup jangan dibawa terlalu serius, shay. Hempas datang lagi. Hempas datang lagi. 

Bisma Aditya: Cinta banyak halangan

Menurut Mahatma Gandhi, “Love is the strongest force the world possesses and yet it is the humblest imaginable“. 

Yang perlu diperhatikan di sini adalah bagian “strongest force the world possesses“. Tidak mungkin Gandhi bohong. Berarti kita semua boleh meyakini bahwa cinta adalah tenaga terbesar di bumi manusia.

Lalu tenaga macam apa yang bisa jadi penghalang cinta? 

Kita tidak bicara soal cinta yang ditolak, ya karena ditolaknya cinta seseorang tidak serta merta menjadi penghalang. Orang yang ditolak itu cuma perlu sadar saja dengan kewajibannya untuk menjauh. Tapi untuk tetap mencintai? Itu tetap hak orang tersebut.

Jika ada orang yang berhenti mencintai karena ditolak, dia tidak betul-betul cinta. Mungkin cuma nafsu atau karena resah atas tuntutan sosial bahwa setiap orang harus punya pasangan.

Ada juga yang bilang perbedaan agama bisa jadi halangan cinta. Tapi setiap agama mengajari kita untuk saling menyayangi dan mencintai antar sesama bukan? 

Setahu saya, tidak ada agama yang mengajari bahwa kita tidak boleh mencintai. Jadi menurut saya tidak benar jika dibilang agama bisa jadi dasar penghalang cinta. Kita justru diwajibkan oleh agama untuk mencintai apapun yang ada di muka bumi ini. 

Agama sebagai penghalang cinta? Tentu tidak. Perbedaan agama sebagai dasar dilarangnya suatu hubungan oleh lingkungannya? Mungkin. Yang dilarang hubungannya, bukan cintanya karena cinta pun berasal dari Tuhan.

Selanjutnya yang lumrah juga dijadikan kambing hitam pupusnya cinta, terutama di Indonesia sebagai negara multikultur adalah adanya perbedaan suku. Teman saya pun ada yang akhirnya galau karena merasa cintanya terbentur perbedaan kultur. Seakan Bhinneka Tunggal Ika hanyalah semboyan kosong belaka. 

Tapi apakah betul kita tidak boleh cinta kepada orang yang tidak satu suku dengan kita? Atau kepada orang yang dilarang orang tuanya dekat-dekat sama kita karena kita bukan dari sukunya? 

Orang boleh melarang kita berhubungan karena suku kita beda, tapi memang mereka bisa atur perasaan kita? Bahkan kita sendiri tidak bisa seenaknya atur otak kita untuk cinta pada siapa bukan? Tetap saja perbedaan suku tidak bisa menghalangi cinta.

Kesimpulannya adalah ditolak, perbedaan agama, atau perbedaan suku sebetulnya tidak menghalangi cinta. Yang dihalangi cuma kesempatan kita untuk memacari anak orang. Gagal jadi pacar bukan berarti kita harus berhenti mencintai. 

Poin yang mau saya tegaskan di sini adalah cinta jauh lebih luas daripada sekedar pacaran. Setiap orang merdeka, independen, bebas, atau istilah apapun yang dirasa pas menggambarkan jika cinta itu tidak terpengaruh oleh apapun juga. Bahkan bebas dari dimensi ruang dan waktu. 

Apakah kita harus berhenti mencintai orang yang sudah wafat karena sudah di alam berbeda? Tidak, kan? Jika kematian saja tidak menjadi penghalang untuk mencintai, kenapa yang lain bisa?

Seperti saya, banyak orang juga lupa dengan unsur cinta kedua yang diucapkan Gandhi. Selain kuat cinta juga humble. Tidak menampakkan kekuatannya seenaknya sehingga kadang cinta dianggap dengan mudah berakhir karena hal-hal yang lebih “sepele”. 

Faktor penyebab gagalnya kita memiliki seseorang sering dianggap penghalang cinta, padahal cinta tidak harus memiliki bukan? —Rappler.com

Adelia, mantan reporter Rappler, kini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di London, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!