Merayakan Imlek di Solo: Mengubur luka Mei 1998

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merayakan Imlek di Solo: Mengubur luka Mei 1998
Alunan 'Indonesia Pusaka' mengiringi pelepasan 1.000 lampion kertas warna-warni ke angkasa, mengakhiri Festival Imlek Solo 2016. Bersamanya, dilambungkan doa dan harapan untuk Indonesia majemuk yang damai dan toleran

SOLO, Indonesia – Ingatan Sumartono Hadinoto (60 tahun) masih segar tentang tragedi 18 tahun lalu yang menyebabkan dirinya hampir kehilangan nyawa. Meski selamat, ia mengalami depresi mental yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari trauma.

Pabrik alumunium dan rumah miliknya dirusak dan dijarah massa. Ia tergopoh-gopoh berusaha menyelamatkan diri, merangkak melalui lubang di tembok rumahnya. Ia selamat, tetapi usahanya ludes dalam sekejap.

Sumartono, atau Khoe Liong Hauw, adalah keturunan Tionghoa korban kerusuhan Mei 1998, tragedi yang telah meluluhlantakan Solo, melumpuhkan ekonomi, dan memicu sentimen antar-etnis. Minoritas Tionghoa di Solo menjadi sasaran amuk massa dan kekerasan yang menelan nyawa manusia.

Inflasi yang menggila menjelang kejatuhan Suharto dimanfaatkan oleh provokator untuk mengambing-hitamkan etnis Tionghoa – yang menguasai perdagangan – sebagai penyebab kenaikan harga dan kelangkaan barang. Massa terhasut, kemarahannya tersulut. Solo rusuh.

Kota Solo dikepung asap hitam selama tiga hari. Supermarket, pusat perbelanjaan, dealer, hingga pertokoan dijarah dan dibakar massa beringas. Mobil di jalanan digulingkan dan disulut api. Perempuan muda beretnis Tionghoa menjadi sasaran perkosaan massal dan kekerasan seksual.

Tak ada pencegahan. Aparat hanya melihat dan tak kuasa berbuat. Solo, kota kecil yang dikepung markas tentara dan pasukan elit, seolah dibiarkan “membara”.

Kerusuhan menyebabkan kerugian mulai dari kehancuran toko kelontong di kampung hingga Cineplex terbesar di Indonesia saat itu. Sekitar 16.000 orang kehilangan pekerjaan. Ratusan orang dilaporkan hilang dan meninggal menjadi korban kebakaran dan pemerkosaan – sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini tak terselesaikan kasusnya.

Setiap rumah dan toko milik etnis Tionghoa di Solo dicat dengan tulisan besar “Pribumi Asli” untuk mencegah perusakan. Tetapi, banyak di antaranya tetap dijarah. Etnis Tionghoa semakin tak percaya dengan orang Jawa dan selalu memandangnya dengan curiga. Stigma dan prasangka antar-etnis menguat, memunculkan umpatan berbau SARA.

Imlek_Dua karakter manusia monyet Hanoman dan Sun Go Kong di pintu pasar malam Imlek di Benteng Vastenberg melambangkan akulturasi. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Lebih dari satu dekade, trauma Sumartono baru hilang. Ia tak menyimpan dendam karena ia percaya bahwa kerusuhan bukan disebabkan oleh kebencian antar-etnis, melainkan karena pergolakan politik. 

“Cerita itu biar menjadi sejarah. Semua korban sudah move on karena ratapan tak akan mengembalikan semua yang sudah hilang. Yang paling penting, tragedi itu jangan sampai terulang lagi,” kata Sumartono. 

Sumartono memilih mengabdikan hidupnya untuk urusan sosial, kemanusiaan, dan kebudayaan di Kota Solo dan sekitarnya ketimbang berfokus pada kegiatan bisnisnya semata. Sebagai pucuk pimpinan di Palang Merah Indonesia (PMI) Solo – salah satu PMI dengan pelayanan terbaik di Indonesia – telepon selulernya siaga 24 jam bagi siapapun yang membutuhkan bantuan darurat.

Ia juga membidani Festival Imlek Solo yang bercita rasa lokal untuk menghidupkan kembali akulturasi budaya yang lama dilupakan, mengingatkan akan toleransi Cina-Jawa-Arab sejak beberapa abad lalu.

Orang Tionghoa sudah ada sejak Kota Solo berdiri, 271 tahun yang lalu. Pertama kali, mereka tinggal di Sudiraprajan dan memiliki hubungan yang harmonis dengan masyarakat asli maupun dengan keturunan Arab di Pasar Kliwon – tak jauh dari pecinan.

Mereka berbaur dengan orang Jawa secara natural, seperti di Kampung Balong dan Kepanjen, sebuah komunitas kawin campur (asimilasi) Jawa-Tionghoa. Peranakannya sering disebut ampyang, bermata sipit tetapi berkulit gelap.

Sejak era Wali Kota Joko “Jokowi” Widodo, kota Solo mulai berubah. Kebudayaan Tiongkok yang pernah dilarang selama 32 tahun oleh Orde Baru dihidupkan kembali. Kesenian Barongsai mendapat tempat sama dengan acara kesenian lokal maupun parade hadrah dan haul para habib. 

Solo perlahan mulai menampakkan kembali wajahnya menjadi kota yang majemuk, meski sempat diwarnai kebencian dari sekelompok ormas yang ingin memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan. Bahkan, saat ini kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini memilih seorang Katolik, FX Hadi Rudyatmo, sebagai wali kotanya dalam pemilu kepala daerah 2015 lalu.

Seperti halnya Jokowi yang membuka diri dan menerima kemajemukan, Rudy mengawali Festival Imlek Solo untuk mengingat dan memupuk semangat toleransi dan penghargaan terhadap keragaman. Perayaan Imlek yang jatuh berdekatan dengan HUT Kota Solo, 17 Februari, semakin istimewa karena dianggapnya bisa mengukuhkan kebersamaan masyarakat tanpa sekat primordial.

Menurut Rudy, perayaan Imlek juga menjadi penanda pembauran alamiah antara etnis Jawa dan Tionghoa yang sudah berlangsung lama. Akulturasi kebudayaan lewat makanan, pakaian, dan kesenian sudah ada sejak dulu yang menggambarkan bahwa toleransi memiliki akar dan sejarah panjang di negeri ini.

“Imlek menyatukan kita semua yang berbeda etnik, agama, dan status sosial. Kita adalah satu, orang Indonesia,” kata Rudy.

Wali kota yang pernah menjadi wakil Jokowi itu mengaku selalu berusaha untuk memperlakukan dan melayani masyarakat Solo tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, dan antar-golongan. Ia percaya bahwa sebuah kota hanya bisa maju jika masyarakatnya bisa menerima keragaman dan mengatasi perbedaan dengan dialog, bukan kekerasan.

Kawasan pecinan Pasar Gede bebas kendaraan pada malam hari selama Festival Imlek di Solo. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Luka lama tentang tragedi Mei 1998 kini sudah mulai terlupakan. Hubungan etnis Tionghoa dan Jawa sudah kembali hangat. Keturunan Tionghoa juga tidak lagi tinggal terkonsentrasi di pecinan sekitar kawasan Pasar Gede, melainkan semakin terbuka membaur dan menyebar ke penjuru kota – begitupun dengan bisnisnya.

Festival Imlek dari tahun ke tahun semakin ramai menyedot pengunjung. Tidak hanya etnis Tionghoa, masyarakat umum juga mengapresiasi dan berpartisipasi dalam agenda tahunan yang selalu menghadirkan warna-warni lampion di kota Solo itu. Bahkan, sejak tiga tahun lalu, Festival Imlek selalu dinanti setiap Februari.

Sebagian besar pemain barongsai, liong, dan wushu yang tampil di panggung bukan etnis Tionghoa. Sedangkan panitianya berasal dari berbagai organisasi sosial, lintas umur, agama, dan etnis, bukan hanya lima organisasi Tionghoa seperti sebelumnya.

“Siapapun yang tertarik boleh bergabung karena Imlek sudah menjadi miliki kita semua, bukan hanya orang Tionghoa,” kata Sumartono, penggagas Festival Imlek yang digelar sejak 2014.

Festival sepekan penuh itu memiliki rangkaian acara yang panjang, mulai dari Grebeg Sudiraprajan dan pembagian kue keranjang, pasar malam dan panggung pertunjukan di Benteng Vastenberg, pesta kembang api, hingga pemecahan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan penulisan kaligrafi aksara Cina (Shufa) di atas kertas sepanjang 500 meter oleh 500 orang – anak sekolah dan masyarakat umum.

“Saya tidak melihat lagi sekat etnis di Festival Imlek, semua orang bergabung, sudah cair. Ini sebuah kemajuan mengingat kota ini memiliki sejarah kelam soal kekerasan antar-etnis,” kata Rina, warga Solo yang ikut melepaskan lampion saat acara penutupan festival.

Sejak 1 Februari, lalu lintas di koridor Jenderal Sudirman Solo lumpuh setiap malam. Sepanjang jalan terpasang 12 boneka lampion raksasa dengan karakter Shio yang menjadi tempat favorit orang berfoto selfie selain di kawasan pecinan. Puncaknya, pada penutupan acara 6 Februari, jalan protokol di titik nol kilometer itu terpaksa ditutup total bagi kendaraan karena ribuan orang tumpah ruah menyesaki jalanan untuk menyaksikan Festival Imlek.

Perayaan Imlek di Solo juga mulai menjadi destinasi wisatawan lokal, selain Festival Jenang dan Solo Batik Carnival. Semuanya gratis, hanya cukup bermodal tongsis.

“Ini sangat menarik. Kebetulan sedang di Jawa Tengah, kami sempatkan jalan-jalan ke Solo melihat Festival Imlek, di tempat kami tidak pernah ada,” ujar John Kayame, warga Nabire yang datang bersama 11 temannya.

Penyambutan tahun Monyet Api ditutup dengan melepaskan 1.000 lampion kertas warna-warni ke udara yang sebagai simbol keragaman dan perdamaian. Api dinyalakan, harapan dan doa digantungkan. Bukan sekadar keberuntungan di tahun baru, tetapi juga harapan untuk Indonesia yang lebih toleran dalam kemajemukan.

Bersama alunan lagu Indonesia Pusaka, lampion perlahan membumbung tinggi di angkasa, menjadi pelita, memecah gulita di angkasa luas yang menaungi tanah air bagi 250 juta manusia Indonesia. Selamat tahun baru. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!