Ketika generasi ketiga Tionghoa rayakan Imlek tanpa celana dalam baru

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika generasi ketiga Tionghoa rayakan Imlek tanpa celana dalam baru
Haruskah memakai celana dalam baru saat perayaan hari Imlek?

 

JAKARTA, Indonesia — Ketika dipersunting Aditya Suharmoko, Esther Samboh tak membayangkan ia akan hidup di tengah keluarga Tionghoa yang masih memegang teguh budaya mereka. Ia baru sadar ketika keluarga besar Adit yang pernah tinggal di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara, tersebut merayakan Imlek pada tahun lalu. 

“Saya shocked ketika dibelikan celana dalam baru oleh Mama mertua. Jadi ketika bangun semuanya itu baru, piyama baru, baju rumah baru, celana dalam juga baru, bra baru,” kata Esther menuturkan kembali saat ia menginap di rumah keluarga besar Adit pada malam perayaan Tahun Baru Cina tahun lalu. 

Ternyata, saat ia dan suami tertidur lelap, mertuanya diam-diam menaruh celana dalam baru untuknya dan suaminya di tempat tidur mereka. 

Sejak hari itulah perempuan yang berdarah Manado itu mengetahui bahwa generasi kedua keluarga Tionghoa itu masih menerapkan nilai-nilai tradisi yang dipercaya akan membawa keberuntungan di hari Imlek. 

Adit membenarkan bahwa ibunya memang masih sangat kental menerapkan nilai-nilai tradisi Imlek yang diturunkan sesepuh keluarganya. 

Tapi Adit sendiri termasuk yang tak begitu memerhatikan detil dalam perayaan Imlek. “Biasanya dibeliin sama Mama,” kata Adit, yang menjadi generasi ketiga keturunan Tionghoa di Indonesia ini.

Buang sial 

GENERASI KETIGA. Aditya Suharmoko dan Esther Samboh bersama putri pertama mereka. Adit adalah generasi ketiga keluarga Thionghoa di Indonesia. Foto adalah koleksi pribadi

Filosofi dari pakaian dalam baru memang diajarkan turun-temurun oleh leluhur keluarga Adit. Membeli celana baru dipandang sebagai penolak bala alias mengusir sial.

Dalam bahasa Kanton, kata “celana” sama bunyinya dengan kata “pahit”.  

Namun ada juga yang menganggap kata celana sama bunyinya dengan “kaya”. Tapi persamaan bunyi itu bukan yang utama, yang jelas memakai celana dalam baru itu seperti syarat “keramat” bagi orang Tionghoa yang percaya akan khasiatnya.  

Ada juga keluarga Tinghoa yang menganggap celana dalam berwarna merah sebagai penolak bala yang sempurna. Tak heran jika menjelang Imlek, celana dalam berwarna merah laris terjual. Seperti yang terjadi di Singapura. 

Soal celana dalam ini, menurut Adit, ibunya tak menjelaskan lebih lanjut. “Itu memang yang paling utama, kata Mama. Kalau enggak punya duit, yang paling utama, ya beli celana dalam,” katanya.

Adit kemudian mereka-reka alasan orang tuanya membelikannya celana dalam. “Mungkin karena melekat langsung (di tubuh),” kata Adit sambil terkekeh.  

Pergeseran nilai

Selain mengenakan celana dalam baru sudah tak menjadi tren, generasi ketiga keluarga Tionghoa di Indonesia ini juga menganggap Imlek bukan sebagai tahun baru, tapi sebagai ajang berkumpul.

Stephanie Tjong Tenggara, misalnya, mengaku selalu bersemangat saat Imlek tiba, karena ini satu-satunya hari semua anggota keluarga besar bisa berkumpul. 

Keluarga Stephanie termasuk cukup besar. “Dari ayah kalau dikumpulin saja ada 70 orang dari delapan bersaudara, belum ibu yang memiliki 7 saudara,” kata Stephanie, ibu satu anak yang mengaku sebagai keturunan Tionghoa generasi ketiga dari Bangka Belitung. 

Dulu saat ia masih kecil, sebelum menerima angpao, ia harus menjalani beberapa tradisi yang telah disiapkan oleh ibunya. 

Selain pakaian dalam baru, ia ikut mengganti sprei, sofa, hingga taplak meja. “Malamnya saya mandi pakai kembang warna putih dan merah,” katanya. 

Ia juga melihat ibunya menyapu pada malam hari, lalu sembahyang. 

Tapi kini, selain tak lagi memakai celana dalam baru, ia juga tak sembahyang. “Karena aku bukan Buddha, jadi tidak melakukan sembahyang,” akunya. 

Imlek bagi Stephanie tahun ini adalah menyiapkan angpao, karena ia sudah menikah, dan bertemu dengan saudara-saudaranya. 

Pun dalam merayakan Imlek dengan keluarga besarnya sudah banyak yang berubah. Dulu saat ia masih kecil, keluarganya akan mengaduk makanan bersama di meja makan pertanda persatuan. 

Lalu menu utamanya pun dari ikan tertentu, dikelilingi sayur-sayur yang punya makna dan filosofi tersendiri bagi keluarga Thinghoa. 

Kini, kata Stephanie, keluarga besar menyediakan salad dan ikan salmon. 

Estafet tradisi

STEPHANIE TJONG TENGARA. Stephanie yang merupakan keturunan Thionghoa Bangka Belitung ini memaknai Imlek sebagai hari berkumpul keluarga. Foto dari koleksi pribadi.

Meski generasi ketiga sudah tak banyak mengikuti nilai-nilai tradisi leluhurnya, pasangan Adit dan Esther mengaku bertanggungjawab pada generasi selanjutnya. 

Adit, misalnya, sudah punya rencana agar anaknya nanti mengerti mengapa harus memakai celana dalam baru, meski ia sendiri tak terlalu memperhatikan detil itu. “Kalau bisa lebih dari itu,” katanya. 

Apa alasannya? Menurut Adit, meriahnya perayaan Imlek dari tahun ke tahun ini bukan tanpa sebab.

“Sebelum reformasi kami merayakannya diam-diam saja di rumah,” katanya mengenang. 

Kini bagi Adit, Imlek sudah menjadi milik bersama. Meski beberapa nilai-nilai seperti memakai celana dalam baru sudah mulai ditinggalkan. 

Esther, yang bukan merupakan keturunan Tionghoa, justru lebih bersemangat dari suaminya. Tahun ini ia menyiapkan celana dalam baru, baju baru, tas baru, hingga sepatu baru untuk keluarga.

Sementara itu, Stephanie memilih untuk tak lagi membawa tradisi “celana dalam baru” dalam perayaan Imlek mereka. “Saya dan suami sudah tidak menerapkannya lagi,” katanya. 

Tapi selebihnya, Imlek tahun ini bagi ketiganya adalah sama dengan tahun-tahun sebelumnya, menjalin silaturahmi dan berkumpul dengan keluarga, tanpa atau dengan celana dalam baru.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!