Komunitas LGBT laporkan polisi ke Komnas HAM

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komunitas LGBT laporkan polisi ke Komnas HAM
Komunitas LGBT adakan pelatihan untuk aktivis dan organisasi rancang panduan advokasi pemenuhan hak anggota LGBT

JAKARTA, Indonesia — Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Arus Pelangi bersama dengan Kemitraan dan Outright Action International melaporkan Kepolisian Sektor Menteng pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) karena dianggap melanggar kebebasan berkumpul dan berserikat.

Laporan ini dilayangkan setelah anggota Polsek Menteng mendesak acara pelatihan yang digelar ketiga lembaga tersebut dibubarkan pada 3 Februari.

“Polisi kami laporkan karena diduga melanggar kebebasan berkumpul dan berserikat. Laporan sudah diterima oleh Muhammad Nurkhoiron dari Komnas HAM,” kata Lini Zurlia dari Arus Pelangi pada Rappler, Selasa, 9 Februari. 

Lini menyebut polisi telah melanggar prinsip penghormatan HAM di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. 

“Kepolisian adalah aparatur negara yang seharusnya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat seperti yang tertuang dalam Tribrata, sumpah dan janji polisi,” kata Lini. 

“Oleh karena itu, pembubaran pelatihan ini adalah bukti bahwa kepolisian telah gagal dalam melindungi komunitas LGBTI yang juga bagian dari warga negara Indonesia yang punya hak yang sama,” ujarnya.

Bagaimana kronologi kejadiannya?  

Menurut versi Arus Pelangi, panitia mengadakan pelatihan peningkatan akses keadilan bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) di Indonesia pada 1-8 Februari di Hotel Grand Cemara, Gondangdia, Jakarta Pusat.

Program pelatihan ini, menurut Lini, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas aktivis dan organisasi LGBTI di Indonesia dalam mengakses layanan dasar sebagai warga negara. Nantinya diharapkan program ini dapat mengembangkan sebuah modul yang dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan advokasi pemenuhan hak bagi komunitas LGBTI di dalam negeri.

Di hari pertama dan kedua, pelatihan berjalan lancar. Namun pada 3 Februari, tiga orang yang mengaku dari sebuah organisasi massa Islam mendatangi lokasi pelatihan di Hotel Cemara. 

“Mereka kemudian berhadapan dengan pihak hotel, tapi pihak hotel kooperatif dan tetap menjaga keamanan panitia, sehingga mereka tidak berhasil masuk,” ungkap Lini.

Ketiga anggota ormas tersebut kemudian disusul oleh lima orang rekan mereka. Perdebatan antara kedelapan anggota ormas dan pihak hotel berlangsung selama satu jam, namun karena tak menemukan jalan temu, maka pihak hotel meminta panitia bertemu dengan mereka. 

“Tapi ketika kami turun ke bawah untuk bertemu FPI, ternyata sudah ada polisi. Kata polisi mereka mendapat surat aduan dari FPI,” aku Lini, merujuk pada ormas Front Pembela Islam (FPI).

Polisi pun kemudian bertanya kepada panitia. “Apakah betul ini kegiatan LGBT?” tanya polisi. Setelah dijelaskan oleh panitia, polisi kemudian meminta surat izin. 

Panitia mengatakan bahwa kegiatan mereka tak perlu izin, melainkan pemberitahuan, karena acara tersebut tidak menggunakan fasilitas publik atau di luar ruangan.

Dalam mekanisme perundang-undangan mulai dari Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, dan petunjuk lapangan Kapolri No. Pol/02/XII/95 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan, masyarakat tidak pernah menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan pelatihan di ruang tertutup harus memberikan izin kepada pihak kepolisian.

Namun polisi mengatakan acara tersebut harus dibubarkan karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Akhirnya pihak hotel mengusulkan acara ditutup dan dipindahkan ke tempat lain. Panitia pun setuju dengan alasan kemanan. 

Panitia kemudian diberi kesempatan untuk check out dari hotel hingga keesokan harinya. Tapi menurut Lini, suasana di sekitar hotel menjadi mencekam, ditambah kehadiran personel polisi bertambah menjadi 25 orang.

“Malah ada gegana, propos, sampai personel dari Polda Metro Jaya,” ungkapnya. 

Anggota Komnas Perempuan kemudian datang dan menengahi. Acara pun sepakat ditutup dan dipindahkan di hotel dekat kantor Komnas HAM.

Hingga saat ini, laporan panitia ke Komnas HAM masih diproses. Polisi belum dimintai keterangan oleh Komnas atas kasus ini.

FPI tak setuju komunitas LGBT gelar acara

Sementara itu, Badan Ahli Front Dewan Perwakilan Pusat FPI, Alfian Tanjung, membenarkan bahwa anggotanya telah mendatangi Hotel Cemara pada saat komunitas LGBT mengadakan acara pelatihan.

“Iya, benar,” katanya kepada Rappler, Rabu.

Apa tuntutan FPI?

Menurut Alfian, FPI tidak setuju jika komunitas LGBT mengadakan acara dalam bentuk apapun, termasuk kampanye HIV/AIDS.

“Itu kan hanya cover-nya, Anda mengertilah itu sebenarnya acara apa,” katanya. 

Ia menegaskan, secara ideologis FPI tetap menolak segala bentuk acara yang diselenggarakan oleh komunitas LGBT. “Kembali saja jadi orang normal yang harmonis, kita tidak marah, tidak benci,” ujarnya. 

FPI, kata Alfian, selanjutnya akan tetap bekerjasama dengan pihak berwajib untuk memantau komunitas ini.

“Pahami saja bahwa kita ingin sama-sama (harmonis),” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA :

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!