Valentine rasa pelangi

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Valentine rasa pelangi
Pesan kasih sayang untuk kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan LGBT

Sejujurnya saya tidak pernah merayakan Hari Valentine. Bukan karena saya anti perayaan Valentine, hanya karena tidak terbiasa saja. 

Di umur saya yang tidak lagi ABG ini, saya pun memaknai Valentine lebih universal. Valentine itu bukan soal cokelat dan bunga dari pasangan. Valentine itu hari kasih sayang. Maka saya memutuskan untuk mulai menebar kasih sayang. 

Kasih sayang pertama yang saya tebar adalah untuk pertama kalinya menulis tentang Ahmadiyah. Saya tahu sebagian dari Anda pasti mempertanyakan mengapa (lagi-lagi) kita harus peduli pada Ahmadiyah yang “menistakan agama” itu. 

Bukan, ini bukan soal menistakan. Ini soal protes saya terhadap upaya mengusir mereka dari tempat tinggal yang mereka cintai. Seperti janin tak bisa dipisahkan dari rahimnya, begitu juga ratusan warga Ahmadiyah ini dengan Bangka.  

Kasih sayang dan kenangan mereka akan tempat ini sudah terjalin berpuluh-puluh tahun. Di sinilah mereka mencari sesuap nasi dan menyekolahkan anak-anak mereka.  

Sama saja seperti ini; Saya sekarang menyuruh Anda untuk pindah dari kampung halaman Anda, apa reaksi Anda? Mencak-mencak, kata orang Jawa. 

Kekecewaan demi kekecewaan yang harus dialami oleh warga Ahmadiyah Bangka ini sudah bertahun-tahun lamanya dipendam. Puncaknya adalah pekan lalu. 

Tak heran jika Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) wilayah Bangka Belitung, Syafei Muhammad, sampai berujar, “Namanya keyakinan itu masalah hati, tidak bisa dipisahkan secara fisik”.

Dengan kata lain, sang mubaligh mau menitipkan pesan pada khalayak umum bahwa keyakinan dan kasih sayang antara warga Ahmadiyah itu tidak bisa diubah dengan peraturan, seragam loreng-loreng, atau ancaman kaum intoleran. 

Proyek kasih sayang kedua pun terwujud, wawancara sudah saya penuhi. 

Selanjutnya adalah proyek kasih sayang untuk mereka (jangan bosan mendengar ini) teman-teman saya di komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Pada Kamis malam, 11 Februari, secara kebetulan saya diundang di acara yang dipandu oleh presenter Rosiana Silalahi di Kompas TV. Temanya: “LGBT, haruskah jadi ancaman?”

Dengan senang hati saya berbagi dengan mayoritas warga Indonesia yang homofobia, yang saya yakin hanya karena kekurangan informasi tentang LGBT. 

Untungnya, proyek kasih sayang itu menjadi sempurna dengan hadirnya Hartoyo, seorang aktivis LGBT yang mengalami kekerasan karena statusnya sebagai seorang gay. 

Pesan yang saya sampaikan hanya satu: Berhenti menyakiti orang lain hanya karena kita berbeda. Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. 

Seperti diprediksi sebelumnya, saya menerima banyak pesan kasih sayang dari saudara-saudara sekalian. 

Pesan yang saya sampaikan hanya satu: Berhenti menyakiti orang lain hanya karena kita berbeda.Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan.

Jika diklasifikasikan ada dua kelompok yang memberikan pesan kasih sayangnya. 

Pertama adalah pesan dari yang kontra terhadap LGBT. Kira-kira begini pesannya. 

“Aku sebagai teman cuma punya kewajiban mengingatkan dan mendoakan semoga Allah memberikan hidayah inayah ke kamu. Aku cuma bisa berdoa, karena Allah yang bisa membolak-balik hati kamu.” 

Pesan itu dikirim oleh teman semasa kuliah di Universitas Airlangga Surabaya dulu.  

Pesan berikutnya yang lebih banyak saya terima adalah dari teman-teman yang merasa dikuatkan dalam melanjutkan hidupnya sebagai seorang gay dan lesbian. 

“Terima kasih kembali, saya jadi lebih bersemangat untuk hidup, Salam.”

“Terima kasih karena peduli!” 

“Keep doing what you are doing! Reporting with love! Love your arguments on protecting LGBT rights in Indonesia. Warmest regards from LGBT friendly city in XX” 

Saya senang menerima pesan-pesan bahagia ini. Terus terang, saya memahami ada banyak gay dan lesbian di sana yang masih bersembunyi dari orangtua dan keluarga. Bingung, tak tahu bagaimana melanjutkan hidup dengan perbedaan itu. 

Di sebuah situs untuk wanita, ada sebuah penelitian bahwa kaum gay yang masih remaja rentan bunuh diri. 

Berdasarkan perbandingan rasio, kalangan LGBT dewasa yang melaporkan tingkat penolakan keluarga yang lebih tinggi selama masa remaja memiliki berisiko 8,4 kali lebih besar melakukan percobaan bunuh diri. 

Jadi pada hari kasih sayang ini, ada baiknya kita merangkul mereka yang berbeda dengan kita, beri mereka ruang untuk melanjutkan hidup.  

Paling tidak, pada hari kasih sayang ini, kita berhenti mengucap ujaran kebencian tanpa alasan, tanpa dialog, tanpa solusi. Selamat hari kasih sayang! 

Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, minority, diversity, LGBT, dan buruh migran. Ia menulis blognya setiap hari Sabtu. Febro, panggilan akrabnya, bisa disapa di @FebroFirdaus.

 

 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!