Apakah Valentine’s Day penting untuk dirayakan?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah Valentine’s Day penting untuk dirayakan?
Setidaknya bagi saya, jawabannya tidak

Tanggal 14 Februari diperingati oleh sebagian orang sebagai Hari Kasih Sayang atau Valentine’s Day. Hari ini identik dengan cokelat, bunga, kado, dan hal-hal romantis lainnya.

Namun sejujurnya, saya tidak merasa Valentine’s Day adalah hal yang perlu dirayakan, setidaknya bagi saya saat ini, di usia yang hampir 24 tahun.

Walau begitu, Valentine pernah menjadi sesuatu yang “penting” bagi saya, setidaknya waktu kecil dulu.

Hari Valentine di masa kecil

 

Saya ingat, waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya dan beberapa orang teman-teman perempuan heboh menyambut Hari Valentine. Kalau tidak salah, waktu itu saya duduk di kelas 5.

Semua murid perempuan di kelas saya (di kelas saya cuma ada sekitar 20 murid dan cuma ada 8 perempuan) membeli cokelat yang dibungkus rapi untuk dibawa ke sekolah pada Hari Valentine. Kami berdelapan saling bertukar cokelat yang kami bawa, entah apa esensinya.

Saya pun ingat betul, pada saat itu salah satu dari kami ada yang membawa balon (entah apa hubungan balon dengan Hari Valentine), lalu kami sama-sama meniup balon tersebut dan meninggalkan balon tersebut di kelas saat waktu istirahat.

Namun tak disangka, anak-anak cowok di kelas yang sangat-sangat jahil meledakkan semua balon yang sudah kami tiup dengan susah payah. Seingat saya, kami semua merasa sangat kesal karena perayaan Hari Valentine kami “gagal” karena ulah jahil teman-teman saya itu.

Di sekolah pun sebenarnya tidak diajarkan untuk merayakan Hari Kasih Sayang, bahkan mungkin lebih melarang daripada membolehkan. Tapi namanya juga anak baru gede (ABG) yang terkontaminasi oleh sinetron di televisi, jadi pengen ikut-ikutan romantis deh.

Ternyata yang mengalami hal serupa tak hanya saya. Ketika saya bercerita pada seorang sahabat saya soal blog ini, ia juga menceritakan pengalaman uniknya saat “merayakan” Valentine di masa kecil.

A photo posted by @gadiiing on

 

Saat duduk dibangku SMP kelas satu, ia berniat memberikan cokelat pada pacarnya, namun terhalang kendala bahwa ia tidak punya uang jajan yang cukup banyak untuk membeli cokelat. Ditambah lagi, orang tuanya tidak tahu perihal fakta bahwa dia sudah punya pacar sehingga ia juga tidak bisa minta uang jajan tambahan.

Akhirnya, ia pun menyelipkan cokelat di antara barang-barang belanja bulanan saat ia pergi bersama ibunya ke supermarket.

Saat Hari Valentine tiba, ia memberikan cokelat tersebut ke pacarnya. Balasannya? Pacarnya datang ke rumahnya di sore hari sepulang sekolah untuk memberikan cokelat balasan. Tapi agar tidak mencurigakan, pacarnya pun datang bersama beberapa orang temannya.

Saya tertawa saat mendengar cerita sahabat saya ini, karena dia yang saya kenal sekarang cenderung skeptis dengan hal-hal romantis, cheesy, dan tentu saja, dengan Valentine’s Day.

Hari Valentine sekarang

Ada beberapa teman saya yang masih merayakan Valentine hingga saat ini, tentu saja mereka merayakan dengan pasangan masing-masing. Biasanya makan malam, atau kasih kado, dan sebagainya.

A photo posted by @bln_stefanie on

Pikiran skeptis saya bilang alasannya adalah: untuk di update di media sosial. Haha.

Tapi mungkin, momen Hari Valentine dijadikan alasan untuk memaksa pasangan kamu yang biasanya cuek, untuk sesekali melakukan hal yang menyenangkan.

After all, it’s nice to be treated nicely once in a while.

Saya enggak akan bahas soal haram atau halal, saya enggak akan bahas soal sejarah Hari Valentine yang mencekam, dan lain sebagainya yang bikin tulisan ini jadi lebih serius.

Tapi jujur, saya sama sekali tidak menangkap esensi dari merayakan Hari Kasih Sayang.

Selain alasan klise: ‘kasih sayang harusnya dirayakan setiap hari’, for me, it’s just another reason to get gifts and chocolates.

Kalau mau kasih kado, enggak harus ada occasion. Kalau mau ajak makan malam romantis, enggak harus tunggu momen yang pas. Kalau mau beliin cokelat, tiap hari juga boleh (hehe).

Saya agak setuju sama artikel ini. Di sini ditulis, kalau di masa-masa menjelang Valentine’s Day, rasanya seluruh hal di sekitar kita mendadak romantis.

Mulai dari dekorasi di mal, iklan di televisi, sampai cokelat spesial Hari Kasih Sayang yang dipajang di toko-toko.

Hal-hal tersebut bisa membuat orang jadi merasa bahwa menjadi romantis di Hari Valentine adalah sebuah keharusan. Meskipun sebenarnya enggak harus sama sekali!

Bahkan kata Conan Edogawa, Valentine itu cuma akal-akalannya pembuat cokelat supaya barang dagangannya laku.

Komik Detektif Conan, Bab 331.

Entahlah itu benar atau enggak, yang jelas banyak pedagang-pedagang cokelat occasional yang hanya berjualan pada saat Valentine. Bahkan waktu masih kuliah, saya dan beberapa teman saya sempat membuat cokelat bersama untuk dijual di kampus pada 14 Februari.

Pada intinya, buat saya, makna Valentine saat ini sangat jauh dari hal-hal romantis. Itulah mengapa saya enggak pernah merasa Hari Valentine penting untuk dirayakan.

Tapi sebenarnya enggak adil juga sih saya ngomong kayak gini, saya enggak pernah ada di posisi punya pasangan di Hari Valentine. Haha.

Jadi terserah, mau ngerayain atau enggak. Mau merasa Valentine penting atau enggak. Mau sok-sok-an menganggap Valentine itu penting biar dikasih kado juga boleh.

Tapi mungkin yang ditakutkan orang-orang yang kontra Valentine ada baiknya juga dipikirkan. Menurut saya, yang dilarang bukan Valentine’s Day-nya, tapi aktivitas-aktivitas negatif yang dilakukan atas nama Hari Valentine.

Mungkin yang pro-Valentine bisa menunjukan bahwa ada juga hal positif yang bisa dirayakan bersama di Hari Kasih Sayang.

So, whether it’s Valentine’s Day or not, Happy February 14th! (because everyday should be celebrated) —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!