35 terdakwa pembunuhan Salim Kancil dijerat pasal berlapis

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

35 terdakwa pembunuhan Salim Kancil dijerat pasal berlapis
Mantan Kepala Desa Selok Awar-Awar sempat meminta ilmu kebal sebelum menghadang Salim Kancil

SURABAYA, Indonesia — Sidang perdana pembunuhan aktivis lingkungan dari Lumajang, Jawa Timur, menghadirkan 35 terdakwa, hari ini, Kamis, 18 Februari. 

Mereka diduga terlibat dalam pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan terhadap rekannya, Tosan. Para terdakwa disidang terpisah berdasarkan berkas perkara masing-masing. Jalannya sidang berlangsung maraton dengan menggunakan dua ruang dengan majelis hakim yang berbeda.

Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lumajang M. Naimullah yang menjadi Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum mengatakan, dari 35 para terdakwa itu, dipisah menjadi 14 berkas perkara, misalnya dugaan pembunuhan berencana, pengeroyokan, pengancaman dan pengrusakan, tindak pidana pencucian uang, dan penambangan ilegal.

Hariyono, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, misalnya harus menjalani beberapa kali sidang untuk kasus pembunuhan, tindak pidana pencucian uang, dan aktivitas penambangan ilegal.

Ia dianggap menjadi otak atas pembunuhan Salim dan penganiayaan terhadap Tosan. 

Dalam kasus pembunuhan terhadap Salim, Hariyono didakwa oleh jaksa dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 338 tentang pembunuhan, dan pasal 170 tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal.

Johan Avie, penasehat hukum dari korban yang menyaksikan jalannya persidangan, mengatakan, sekilas jaksa penuntut umum sudah mendakwa sesuai dengan harapan para aktivis lingkungan, yaitu didakwa dengan pasal pembunuhan berencana. 

“Namun sayangnya, dari dakwaan pasal berlapis itu, menurut saya itu bukan akumulatif melainkan hanya alternatif,” kata Johan usai menyaksikan sidang Hariyono.

Jika pasal dakwaannya hanya berupa alternatif, menurut Johan, maka majelis hakim bisa memberikan vonis selain dakwaan pembunuhan berencana, misalnya saja dengan pembunuhan biasa. 

Ini berbeda jika pasal dakwaannya bersifat akumulatif. Vonis majelis hakim berarti merupakan akumulasi dari beberapa tindakan melawan hukum seperti pembunuhan berencana dan penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal.

Namun tudingan ini dibantah oleh Naimullah. Kata dia, jaksa penuntut umum sudah menggunakan dakwaan akumulatif dalam mendakwa Hariyono yang dianggap sebagai otak pembunuhan Salim dan penganiayaan terhadap Tosan. 

“Alternatif terhadap Salim Kancilnya. Tetapi kita akumulatif dengan korban Tosan. Ada tiga berkas pembunuhan dengan penganiayaan,” ujar Naimullah.  

Dalam kasus pembunuhan Salim dan pengeroyokan terhadap Tosan, sebenarnya ada 37 tersangka. Namun dua orang terdakwa yang tidak ikut sidang pada hari ini masih berusia anak-anak, sehingga sidangnya dilaksanakan secara terpisah.

Rencananya, setelah sidang pertama dengan agenda utama pembacaan dakwaan, sidang kedua akan dilanjutkan pada 25 Februari dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. 

“Untuk minggu depan kita akan memanggil tujuh orang saksi dari 14 orang saksi yang akan kita hadirkan,” kata Naimullah.

Berdasarkan dakwaan jaksa, kasus pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan berawal dari rencana aksi damai yang akan dilakukan oleh kelompok yang menolak terhadap penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-awar pada 26 September 2015 lalu. Kelompok yang menentang penambangan pasir ilegal itu dimotori oleh Tosan dan Salim.

Mendengar adanya rencana aksi damai yang dari yang kontra, kelompok pendukung penambangan pasir, berencana untuk mengadakan aksi tandingan. Bahkan kelompok pendukung penambangan, sehari sebelumnya telah mempersiapkan diri untuk terjadinya kemungkinan terburuk, yaitu bentrok fiisk. Mereka datang ke Probolinggo menemui beberapa kyai untuk meminta ilmu kebal.

Hariyono selaku Kepala Desa Selok Awar-awar bahkan memberikan uang saku sebesar Rp 4 juta kepada anak buahnya bernama Madasir. Uang itu digunakan sebagai uang saku rombongan ke Probolinggo, untuk meminta ilmu kebal.

Mereka berangkat ke Probolinggo pada 25 September dan kembali lagi ke Lumajang pada 26 September pagi sekitar pukul 05:00 WIB. Begitu tiba di Lumajang, mereka langsung menuju ke rumah Hariyono.  

Sembari menunggu unjuk rasa oleh kelompok yang menentang, Hariyono dan Madasir kemudian mengerahkan massa ke balai desa. Dengan kedok kerja bakti di balai desa, mereka menunggu kedatangan unjuk rasa kelompok penentang penambangan pasir ilegal.

Namun sekitar pukul 07:00 WIB di Balai Desa Selok Awar-awar, datang Parman menggunakan sepeda motor. Dia memberitahukan bahwa telah berkelahi dengan Tosan yang sedang membagikan surat pemberitahuan penolakan tambang. Tak terima anggotanya dihajar, Madasir dan terdakwa lainnya menuju rumah Tosan. Madasir dan para terdakwa lainnya kemudian menganiaya Tosan hingga pingsan, meski Tosan sempat melarikan diri.

Tak puas menganiaya Tosan, kelompok pendukung pun kemudian rumah korban Salim Kancil. Di rumah Salim Kancil kelompok pendukung tambang liar pun kembali menganiaya Salim Kancil hingga tewas. Salim Kancil bahkan mengalami penganiayaan di tiga tempat, yaitu di rumahnya, kemudian dibawa ke balai desa, dan yang terakhir penganiayaan dilakukan di makam desa. 

Alasannya, jika di Balai Desa dianggap mengganggu ketenteraman yang warga di sekitar. Lagi pula jika intimidasi dilakukan di makam desa dianggap lebih mudah. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!