Aku selfie, maka aku berwisata

Shesar Andriawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tantangan buat kamu, beranikah jalan-jalan tanpa bawa kamera?

Seorang turis asal Amerika Serikat, bernama Mark Zuckerberg, mengambil foto saat berada di lingkungan Candi Borobudur. Foto dari Facebook/Adityasinh Raol

Kita tahu kalau tamba ati itu ada lima perkaranya. Pariwisata, sih, enggak serumit itu karena unsurnya sebetulnya tiga saja: what to do, what to see, dan what to buy.Kowe lapo, kowe nyawang apa, kowe tuku apa.

Trio itu saya kenal saat menggarap skripsi pada 2012 lalu. Lucunya, konsep itu malah saya ketahui dari Teh Annisa Potter yang justru mahasiswa lansekap. Baru beberapa hari kemudian saya temukan di buku teks. Wagu, kan?

Tapi rasanya konsep itu perlu direvisi. Cukup satu saja: what picture to take, yang merupakan hasil evolusi what to see. Iya, foto model piye sing becik dijupuk. Nyata. Wacanen bab ngisor iki.

September kemarin, ada kejadian yang bikin nyesek bukan main. Saya sudah beli tiket Bon Jovi, band yang lagunya saya gandrungi sejak SMP. Niatnya, sih, berhaji dengan nonton konser mereka langsung di Amerika sana, tapi kadung umur Jon dkk sudah tua, maka cukuplah dengan umrah saja. Nonton mereka manggung di Jakarta lebih dari cukup.

Lho kok ndilalah ada tugas negara. Menemani beberapa wisatawan jalan-jalan muter Indonesia. Saya pikir bakal diberangkatkan ke Raja Ampat, Lombok, Wakatobi, Morotai, atau mana gitu yang jauh. Ndak tahunya ke Semarang, Borobudur, dan Sangiran.

Bukan meremehkan, tapi ketiga lokasi sudah pernah saya datangi kala muda dulu. #YesAkuSombong. Apalagi kompensasinya, kok, ya batal nonton Bon Jovi. Sungguh berat.

Sebagai abdi negara yang baik, mari manut saja. Ya, semoga nanti bisa membayar utang ke Borobudur. Saya ingin berlama-lama di sana, mentelengi relief buat membaca kisahnya. Atau minimal mengagumi, deh.

Bye. Seperti dikhawatirkan, baik di Kuil Sam Poo Kong, Lawang Sewu, Sangiran, dan Borobudur, kerjaan turis itu cuma satu: ngambil foto. Bukan sepenuhnya salah mereka sih, secara pemandu juga cuma kasih waktu 1 – 1,5 jam di setiap lokasi. Memang diatur hanya untuk memenuhi hasrat njepret barangkali. Hasrat yang sedari dulu ada, tapi berkat majunya teknologi, makin lama makin gendut. Tren swafoto (selfie) bikin gendut jadi obesitas.

Saya tidak bisa menggerutui para pedagang yang menggerutui para turis, “Nggur moto-moto tok, ora tuku,”. Njepret foto saja, beli pun tidak.

Bagusnya, dari situ saya sadar. Sadar kalau saya bukan pecinta sightseeing. Nyawang tok ora cukup. Apalah arti punya cemceman nek nggur disawang tok? Cuma memenuhi what to see, enggak bisa diajak nonton atau ehem-ehem (to do), atau dibeliin sesuatu buat ehem-ehem (to buy). Nyawang adalah luka, kata Mas Eka Kurniawan.

Awal 2010 dulu saya melakukan hal yang dikatai edan oleh sahabat sendiri: sepedaan dari Bandung ke Yogyakarta. Sepanjang perjalanan itu, seingat saya cuma ada dua jepretan yang saya ambil. Motifnya sebagai bukti kepada sahabat saya di Yogyakarta yang enggak percaya.

Sialnya, handphone tempat bernaung foto itu bablas hilang ketinggalan di sebuah warung makan. Dan saya enggak ambil pusing. Yang lebih berharga adalah pengalaman tak ternilai sepanjang masa per-ngonthelan lintas provinsi itu.

Saya pernah tidur di Masjid Al-Ikhlas di Malangbong, Garut. Tidurnya sih biasa saja, tapi bagaimana marbot menerima saya dengan hangat itu yang berkesan. Apalagi besok paginya disambut kabut yang aduhai. Jarang-jarang kabut terasa aduhai.

Saya pernah tidur di masjid di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Enggak spesial sih, tapi malam itu saya dapat sambutan menyenangkan dari warga setempat. Diajak bercengkerama, ditunjukkan tempat cari makan malam, ditunjukkan alun-alun Banjar. Supernya, pagi sebelum mengambil KTP yang dipegang Pak RT, saya ditahan pergi. Cuma biar saya makan dulu sarapan yang sudah dibuatkan. Sepiring nasi, seceplok telur, dihiasi kecap di atasnya. Sepanjang hidup, itu sarapan paling enak.

Syukurlah, saat kemarin blusukan ke Desa Pasanggrahan di Purwakarta, saya mengalami hal itu lagi. Dituntun anak kecil setempat ke atas bukit, diberi tempat menginap oleh Pak-Bu RT, lalu diajak makan malam bareng kala tidak ada warung makan yang buka usai gelap.

Semua tidak ada dokumentasinya. Tapi saya berani jamin benang-benang ingatan itu masih ada di kepala, siap untuk diceritakan pada keturunan-keturunan.

Jadinya, selama menemani turis keliling tadi, momen yang paling saya nikmati justru obrolan-obrolan dengan mereka. Dengan Ubukata-san yang fasih berbahasa Indonesia hasil belajar sendiri, dengan pria India X yang rupanya novelis, pria India Y yang sudah pernah mejeng di depan patung kuda Jakarta 1996 silam, juga dengan seorang turis Tiongkok yang sampai rela ikut rombongan ini dengan uang sendiri.

Pun dengan momen melancong ke Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Thailand tahun lalu. Hal yang paling terekam memori karena berkesan adalah saat kami mencicipi olahraga tradisional Vietnam. Di satu taman di Ho Chi Minh, kami menjajal sejenis bulutangkis tapi pakai kaki. Namanya Da Cau.

Kelihatannya mudah, tapi amit-amit susahnya bagi pemula. Para jago mainnya selow saja. Kok ke kanan, nyepaknya pakai kaki kiri. Bola lob diambil dengan badan masih menghadap depan. Tambah sakti lagi karena ada mbak-mbak ikutan main. Baru pulang kerja. Masih pakai sepatu hak tinggi alias high heels.

Barangkali karena itulah buku melancong yang paling favorit sejauh ini adalah karyanya Teh Marina Silvia. Judulnya sih provokatif, Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Euro. Tapi isinya lebih banyak jurnal, ketimbang panduan menghemat duit dan itinerary.

Buku itu banyak berisi catatan interaksi Teh Marina dengan orang-orang setempat. Yang atheis lah, ngobrol saat dibonceng Vespa lah, soal apa itu cinta lah, bantu-bantu festival lokal lah, dan banyak lah lain. Jika Teh Marina berpikir kalau melancong tak melulu soal jepret-menjepret, saya makmum pertamanya.

Jadi begini singkatnya, enggak usah heran kalau ada kasus kebun bunga yang rusak. Orang-orang lebih peduli dapat gambar kece, ketimbang katakanlah ngopi-ngopi lucu sama yang punya kebun soal gimana bisa bikin kebun semolek itu. Atau yang baru heboh, soal lumba-lumba yang modar karena digilir sebagai objek swafoto. Karena bisa berfoto dengan lumba-lumba itu agaknya sangat eye-catching untuk dipamerkan.

Ya, mau bagaimana kalau artikel di media pun banyak yang judulnya seperti, “Spot-spot menarik untuk selfie di xxx,” atau “Destinasi di xxx yang Instagram-able,”. Rasa-rasanya kebutuhan menjepret diri sendiri di sebuah destinasi wisata sudah naik kelas. Dari sekunder ke primer.

Makanya saya mau kasih tantangan kepada siapa saja, berani enggak melancong tapi enggak usah bawa kamera? Eggak usah ambil foto barang sejepret saja? —Rappler.com

Shesar Andriawan adalah mantan jurnalis yang kini menjadi abdi negara di bidang pariwisata.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!