Amnesty International tagih janji Jokowi buka akses ke Papua

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Amnesty International tagih janji Jokowi buka akses ke Papua
Data Kontras mencatat lebih dari 100 peristiwa bermuatan kekerasan dan bahkan berujung pada kematian yang dilakukan aparat keamanan di Papua.

 PELANGGARAN HAM. Amnesty International menggelar jumpa pers terkait laporan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sepanjang tahun 2015 di Oria Hotel, Jakarta, Rbau, 24 Februari 2016. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

JAKARTA, Indonesia—Amnesty International kembali menagih janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk membuka akses ke Papua. Pembukaan akses ini bisa mengurangi kekerasan di Bumi Cenderawasih tersebut. 

“Realitas yang kami lihat ada pelanggaran hak asasi manusia tingkat tinggi di Papua,” kata Wakil Direktur Kampanye Asia Tenggara dan Asia Pasifik Josef Roy Benedict saat menggelar jumpa pers, Rabu, 24 Februari. 

Ia menyebut kekerasan itu terutama dilakukan oleh aparat. Misal penembakan oleh aparat yang menewaskan empat pemuda di Paniai pada akhir Desember 2014 lalu tak pernah diperkarakan ke meja hijau. “Tak ada satupun yang dibawa ke pengadilan,” ujar Josef. 

Menurut Josef, kekerasan di Papua harus dimonitor oleh peneliti dan jurnalis internasional sehingga bisa dikurangi. “Jika anda memperbaiki akses pada peneliti dan jurnalis, kekerasan ini bisa dikurangi,” kata Josef berharap. 

Sejak kapan Papua dibuka untuk jurnalis asing? 

Pada 10 Mei, Presiden Jokowi resmi mengumumkan bahwa Papua terbuka bagi wartawan asing. “Mulai hari ini, wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua, sama seperti (kalau datang dan meliput) di wilayah lainnya,” kata Jokowi. Pengumuman itu disaksikan Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti.

Namun aplikasi di lapangan terkait perintah Jokowi untuk membuka akses Papua maju-mundur. Pada 11 Agustus 2015, terbit Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang mengatur prosedur kunjungan wartawan asing ke Indonesia. 

Surat itu memang hanya berumur 16 hari setelah diprotes berbagai pihak. Menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyaadmaji, pembatalan tersebut dilakukan karena ada instruksi langsung. “Perintah presiden,” katanya pada Rappler, Jumat pagi, 28 Agustus.

Soal akses untuk jurnalis ini diakui cukup rumit oleh aktivis Papua itu Kita Zely Ariane. “Masih banyak hambatan. Clearing house belum dihapus, Polda dan Kodam bersikeras pengecekan sendiri terhadap wartawan,” kata Zely pada Rappler sore ini. 

Menurut catatan Reporters Without Borders (RSF), masih ada penolakan izin kunjungan jurnalis ke Papua. Seperti yang terjadi pada jurnalis Perancis Cyril Payen ke Papua Barat pada Oktober 2015 kemarin.

Payen, seorang jurnalis yang biasa menulis soal Asia Tenggara dan berbasis di Bangkok, sebelumnya mengunjungi Papua Barat pada pertengahan 2015. Ia kemudian membuat sebuah film dokumentar berjudul “Forgotten war of the Papuas” yang ditayangkan pada 18 Oktober 2015 lalu. 

Usai tayangan itu, Duta Besar Prancis untuk Indonesia kemudian dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri dan diberi tahu bahwa Payen tak bisa masuk lagi ke Indonesia alias dipersonanongratakan sejak November 2015. 

Pelanggaran HAM di Papua terus berlangsung 

Sementara itu menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terdapat 135 peristiwa bermuatan kekerasan di Papua sepanjang 2015 lalu yang didominasi penangkapan dan penahanan sewenangan-wenang atas aksi ekspresi damai oleh aparat keamanan. Bahkan berujung kematian pada warga sipil. 

Di antaranya: 

  • Pada Januari 2015, terjadi penangkapan pada sekitar 65 orang di Kampuang Utikini, distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika oleh Tentara Nasional Indonesia dan Brimob. 
  • Pada Februari 2015, terjadi pembubaran paksa ibadah dan mimbar bebas terkait dukungan United Liberation Movement West Papua oleh aparat polisi, Brimob dan TNI di Vanuatu. 
  • Pada Maret 2015, terjadi penganiayaan empat warga sipil oleh anggota Brimob bersenjata di pasa Cigombong. 
  • Pada April 2015, terjadi penangkapan puluhan aktivis dan tahanan politik Papua Merdeka Pada perayaan 1 Mei di Manokwari. 
  • Pada Mei 2015, terjadi penangkapan terhadap 73 Aktivis KNPB (Komite Nasional Aksi Papua Barat) oleh aparat kepolisian terkait kebijakan Presiden Jokowi mengenai perizinan peliputan untuk wartawan asing. 
  • Pada Juni 2015, terjadi penembakan di Ugapuga, Kabupaten Dogiyai, Papua terhadap dua siswa SMP oleh Polisi Brimob. Di waktu yang sama juga terjadi penembakan terhadap 8 orang pelajar dan 1 orang dewasa karena mencegat mobil polisi yang menabrak anjing.
  • Pada Juli 2015, terjadi peristiwa pembakaran Mushola di Tolikara. 
  • Pada Agustus 2015, terjadi penembakan terhadap dua warga sipil oleh Anggota TNI di Timika.
  • Pada September 2015, terjadi penembakan terhadap 6 siswa SMK dan SMA di Abepura oleh aparat kepolisian. 
  • Pada Oktober 2015, pembubaran dan penangkapan massa aksi damai oleh aparat Kepolisian Resort Kota di Jayapura terkait penyelesaian kasus Paniai yang menewaskan empat pemuda pada Agustus.
  • Pada November 2015, terjadi penangkapan 17 Orang di Taman Bunga Bangsa papua terkait persiapan ibadah oleh aparat Polres Nabire. 
  • Dan pada Desember 2015, penembakan terhadap 4 warga kampung Wanapompi distrik Angkaisera oleh Pasuka gabungan TNI atau Polri. 

Data Amnesty juga menyebut bahwa selain penembakan di Pania, pada Agustus, seorang personel militer yang sedang tidak bertugas menembak mati dua orang di depan sebuah gereja di Timika, Provinsi Papua. Juga di Timika, polisi menembak dua orang pelajar sekolah menengah, salah satu dari mereka meninggal, atas nama ‘operasi keamanan’ di bulan September. 

Rekomendasi untuk pemerintah 

Apa rekomendasi untuk pemerintah? Menurut Amnesty, Jokowi harus benar-benar memenuhi janjinya, yakni membuka akses ke Papua. Pembukaan akses ke Papua ini adalah prioritas nomor satu yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia saat ini. “Number one, papua to open,” kata Josef. 

Zely dari Papua itu Kita menambahkan bahwa segala upaya untuk membuka akses ke Papua tak lepas dari peran Kementerian Pertahanan dan TNI Polri. “Institusi ini paling tidak pro kalau Papua dibuka. Pertanyaannya kenapa? Apa yang mereka sembunyikan?”  —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!