Indonesia makin tidak ramah terhadap kelompok minoritas

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indonesia makin tidak ramah terhadap kelompok minoritas
Kasus Syiah dan Ahmadiyah belum selesai, kini giliran kelompok minoritas LGBT mendapat ancaman.

JAKARTA, Indonesia— Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, dan transgender beberapa pekan ini merupakan sinyal Indonesia semakin tidak ramah terhadap kelompok minoritas. 

“Ini adalah sesuatu yang berulang dan kebetulan LGBT yang kena saat ini. Ke depan masyarakat yang rentan akan makin rentan karena daftar kerentanan itu makin hari makin banyak,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, 24 Februari.  

Menurut Haris, kekerasan yang terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono masih berlanjut dan bahkan jumlahnya meningkat selama pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo. “Jadi ini hanya melanjutkan saja, minoritas tetap jadi sasaran tembak,” katanya.  

Apa saja rentetan kekerasan itu? 

Menurut catatan Rappler, kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas kerap terjadi, antara lain pembakaran rumah penduduk pengikut Syiah di Sampang Agustus 2012 lalu.  

Intimidasi demi intimidasi diterima komunitas Syiah di Sampang, Madura sejak 2011. Puncaknya pada 26 Agustus 2012, ketika mereka dipaksa mengungsi ke sebuah gedung olah raga di Sampang.

Pada 2013 lalu, pemerintah kemudian memutuskan untuk merelokasi mereka keluar dari Madura ke kompleks rumah susun di Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Hingga hari ini para pengungsi masih tinggal di Sidoarjo. 

Lalu kasus kekerasan pada warga Ahmadiyah. Pada 2006, Jamaah Ahmadiyah yang bermukim di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sasaran amarah masyarakat. Rumah mereka dirusak dan dibakar. Mereka diusir dan terpaksa mengungsi ke Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram.

Kasus Syiah dan Ahmadiyah hingga saat ini belum selesai. Bahkan muncul kasus lain di Bangka Belitung, yakni pengusiran warga Ahmadiyah di tanahnya sendiri dengan cara intoleran oleh jamaah Hizbut Tahrir Indonesia. 

Lalu kasus pembakaran mushola di Tolikara. Berawal dari beredarnya foto dari surat yang ditengarai berasal dari Badan Pekerja Sinode GIDI di media sosial, yang melarang umat Islam merayakan Idul Fitri di Karubaga. Surat tersebut bertanggal 11 Juli 2015. Alasan pelarangan adalah karena pada saat yang bersamaan ada KKR Pemuda GIDI tingkat internasional di Karubaga.  

Kemudian rusuh pun pecah saat Idul Fitri dengan dibakarnya kios-kios dan mushola di tempat warga muslim bermukim. 

Belum lagi penutupan gereja-gereja yang hingga saat ini belum terselesaikan, seperti kasus GKI Yasmin di Bogor. 

Demo perlindungan hak LGBT di Yogyakarta. Foto istimewa

Kembali ke konstitusi

Menurut Haris Azhar, untuk menengahi kasus kekerasan terhadap kelompok mayoritas, pemerintah harus kembali ke konstitusi. “Paling gampang lihat konstitusi. Pada setiap orang, sesuai dengan konvensi internasional, premis besarnya adalah non diskriminasi, itu fundamental,” ujarnya. 

Karena itu perlu perlindungan terhadap hak asasi manusia. “Tidak bisa setiap orang didiskriminasi berdasarkan agamanya, keyakinannya, dan orientasinya,” kata  Haris. Orientasi yang dimaksud termasuk politik dan seksual, termasuk kelompok LGBT. 

Bahkan sebagian masyarakat menggunakan kebebasanya untuk memberikan stigma buruk pada kelompok minoritas. 

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Fajar mengamini pernyataan Haris. Menurutnya masyarakat harus mengembalikan polemik, seperti LGBT, pada dasar kehidupan bernegara Pancasila. 

“Contoh yang bisa kita ambil adalah kasus di Amerika, hampir semua agama menentang LGBT. Tapi Mahkamah Agung tetap berpegang pada konstitusi, bahwa semua warga negara berhak mendapat perlindungan,” ujarnya. 

Menurut Wahyudi, janji Nawacita Jokowi di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya bisa diwujudkan jika kembali ke konstitusi, bukan agama. “Karena sandarannya seharusnya Pancasila dan Undang-undang dasar,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!