Pegiat seni: Jangan ada politik perizinan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pegiat seni: Jangan ada politik perizinan
Polisi menekankan panitia agar tetap menghormati kenyamanan publik. Kemendagri juga sepakat dengan kepolisian.

KRONOLOGI. Indraswari Agnes, salah satu panitia Belok Kiri Festival membacakan kronologi pengurusan izin di kepolisian, Sabtu, 27 Februari 2016. Foto oleh Febriana Firdaus  

JAKARTA, Indonesia—Pelarangan penyelenggaraan Belok Kiri Festival di Taman Ismail Marzuki diprotes oleh kalangan seniman. Pematung yang juga Ketua Penyelenggara Belok Kiri Dolorosa Sinaga mengatakan, perizinan jangan dijadikan komoditas politik untuk mengekang kebebasan berekspresi warga. 

“Politik perizinan sekarang sedang dikuatkan oleh negara dalam bentuk sensor, pencekalan, pembungkaman. Padahal seharusnya semua kegiatan berekspresi, mengemukakan pendapat, itu hanya cukup dengan pemberitahuan kepada kepolisian, bukan meminta izin keramaian,” ujar Dolorosa menyebut kasus Belok Kiri sebagai salah satu contoh pada Rappler, Sabtu, 27 Februari. 

Menurut Dolorosa, agar tidak menjadi komoditas politik, acara seharusnya hanya mengirim pemberitahuan kepada pihak berwenang. 

Dolorosa mencontohkan pengalamannya mengurus izin untuk Belok Kiri Festival, yang akhirnya dipindah ke kantor Lembaga Bantuan Hukum setelah mendapat penolakan dari manajemen Taman Ismail Marzuki dan tekanan kelompok intoleran. “Kami dipim-pong, hanya untuk memperlambat waktu saja,” ujarnya. 

Selengkapnya kronologi pengurusan izin Belok Kiri Festival bisa dibaca di sini:

Setelah Badan Pengelolaan disulap menjadi UPT 

Apa penyebab ketatnya pengurusan izin acara di keramaian? Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno mengakui izin pengurusan di keramaian mengalami kemunduran sejak dua tahun lalu, 2014. Tepatnya saat Badan Pengelolaan yang mengurus perizinan diganti oleh Unit Pelayanan Teknis dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Penggantian ini dilakukan setelah aturan mengenai ruang publik diberlakukan sejak dua tahun lalu. “Aturannya semua kegiatan di runag publik yang menggunakan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) harus mengikuti aturan tersebut (lewat UPT),” tuturnya. Aturan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. 

Untuk kasus Belok Kiri Festival, kata Irawan, DKJ sudah meloloskan materi festival, meski dengan beberapa catatan. Mengingat tema yang akan diusung dinilai sensitif, yakni mengenai propaganda orde baru. 

Catatan ini diberikan setelah DKJ belajar dari pengalaman tahun lalu. Pada Desember 2015, DKI menggelar Festival Teater Jakarta yang bertema mengenang 50 tahun tragedi pembantaian massal tahun 1965. 

Ke depan, kata Irawan, DKJ mendesak agar semangat penerbitan izin bisa dikembalikan seperti dua tahun lalu, ketika masih diurus oleh Badan Pengelola. 

“Kami sedang mengurus ke pihak UPT, agar semangatnya dikembalilan seperti masa lalu,” ujarnya. DKJ juga akan mengkomunikasikan permintaan ini pada Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Kementerian Dalam Negeri. 

Apa tanggapan Kemendagri? Apakah akan ada pelonggaran terhadap perizinan acara yang bertema kritis? 

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyatmadji mengatakan bahwa fokus lembaganya adalah kenyamanan dan ketertiban umum. 

“Kalau menurut saya sepanjang itu soal perizinan harus ditaati semua pihak, tak masalah,” ujarnya pada Rappler siang ini. 

Menurutnya, siapapun berhak untuk menyatakan pendapat. Tapi harus tetap menjamin kenyamanan orang lain. 

Bagaimana jika kelompok minoritas yang menyelenggarakan dan diprotes oleh kelompok mayoritas? 

“Siapapun dari kelompok manapun mestinya kalau menyatakan sesuatu itu pertimbangan tidak mengganggu ketertiban umum,” ujarnya.  

Berikut video klarifikasi dari panitia mengenai pelarangan acara di TIM: 

 

Tantangan lain: gesekan dengan kelompok intoleran

Namun ada tantangan lain bagi penyelenggara acara seni yang bermuatan kritis selain perizinan. Seperti kasus yang dialami panitia Belok Kiri Festival. Ada penolakan dari kelompok garis keras. 

Mereka yang menolak antara lain Pemuda Cinta Tanah Air (PECAT), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PW GPII Jakarta Raya), Kordinator Pusat Brigade Pelajar Islam Indonesia (Korpus Brigade PII), Korps Mahasiswa Gerakan Pemuda Islam Indonesia Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Front Aktivis Jakarta (FROAJA), Himpunan Mahasiswa Lombok (HIMALO).

Kelompok tersebut menggelar jumpa pers pada 26 Februari kemarin. Mereka mengungkap alasan penolakan penyelenggaraan festival, salah satunya karena dianggap berbau komunisme. Meski panitia menegaskan bahwa kiri bukan berarti komunis, melainkan kritis. 

Dengan desakan ini, kata Irawan dari DJK, harus ada jaminan dari kepolisian. Irawan menganalogikan protes kelompok garis keras pada festival ini seperti demo mahasiswa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. “DPR rapat, tapi di luar demo. Tapi bukan berarti DPR ditutup karena demo itu kan?” katanya. 

Apa tanggapan polisi? 

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Mohammad Iqbal mengatakan bahwa polisi tak bermaksud membubarkan.

“Setelah menerima pemberitahuan, kami melakukan deteksi, intelijen bergerak, lalu kami temukan kerawanan, nah untuk mengantisipasi, kami lalukan komunikasi supaya dipindah,” kata Iqbal menjelaskan penanganan kasus-kasus yang mirip dengan insiden Belok Kiri Festival. 

Iqbal menutup komentarnya dengan tanggapan yang hampir senada dengan juru bicara Kemendagri. “Indonesia semakin padat. Ketertiban kota umumnya menjadi terganggu pada saat orang semaunya sendiri bikin acara kemudian ujung-ujungnya memberikan rasa tidak nyaman bagi kalangan lainnya,” ujarnya. 

Apakah yang dimaksud juga kenyamanan kelompok minoritas?

“Intinya negara itu harus bisa menjamin rasa ketentraman dan ketertiban,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!