Mengapa saya sudah mencoba diet kantong plastik

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa saya sudah mencoba diet kantong plastik

ANTARA FOTO

Apakah Rp 200 terlalu murah untuk kantong plastik?

“Mau pakai plastik, Kak?”

Kata seorang pegawai kasir di Ranch Market kepada saya, Selasa malam, 23 Februari, selang dua hari setelah pemerintah menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar untuk setiap belanjaan baik di pasar swalayan maupun pasar tradisional.

“Enggak usah, Mbak. Makasih,” jawab saya.

Saya lebih memilih untuk memasukkan barang-barang yang saya beli ke dalam tas kerja yang selalu setia gelantungan di pundak. 

Kebijakan yang diresmikan secara langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya ini menuai pro dan kontra. Ada yang setuju penerapan kantong plastik berbayar, namun ada juga yang tidak.

Seorang teman berkata, “Gue sih setuju aja. Toh, untuk kebaikan kita juga, kan? Lagian, Rp 200 juga enggak seberapa kok untuk kantong plastik, doang.”

Teman lain punya pendapat yang berbeda. “Maka dari itu, Rp 200 itu terlalu murah untuk harga satu kantong plastik,” katanya.

Maksudnya bagaimana?

Ia melanjutkan, “Bayangkan. Kalau gue belanja di supermarket dan harus bayar Rp 200 buat kantong plastik, apakah gue akan bayar? Iya. Karena Rp 200 itu bisa diambil dari kembalian belanjaan gue.”

“Kalau mau membuat perubahan, sekalian aja harga kantong plastik dimahalin. Rp 5.000, misalnya. Biar orang mikir-mikir juga buat bayar kantong plastik semahal itu. Kalau berhasil, mereka akan berhenti menggunakan kantong plastik.”

Plastik yang dibuang di lautan bisa jadi racun di dalam tubuh manusia

Perjuangan untuk kantong plastik berbayar ini sudah dimulai sejak Januari 2013 silam, oleh seorang pengacara dan aktivis lingkungan Tiza Mafira. Ketika itu, Tiza membuat petisi online #Pay4Plastic di situs change.org.

Sebulan kemudian, ia bersama dua kawannya dan 8 organisasi yang memiliki visi serupa, menginisiasi Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik.

Tiza bersama kawan-kawan aktivis lainnya pun melobi pengusaha dan pejabat pemerintah daerah dan kota — mulai dari Jakarta dan Bandung — untuk mulai membiasakan tidak memberikan kantong plastik secara gratis kepada pelanggan.

Setelah perjuangan panjang, bukan hanya pemerintah daerah yang kini sudah memberlakukan inisiatif ini, tapi pemerintah pusat.

Tapi kenapa, sih, kita harus diet kantong plastik?

Tahukah kamu bila rata-rata seseorang di Indonesia itu menggunakan 700 kantong plastik dalam satu tahun?

Atau jika ada 4.000 ton sampah kantong plastik yang dibuang di Indonesia per harinya?

Terus, apa efeknya buat kita?

Memang sih, plastik bisa dibuang, dibakar, atau didaur ulang. Lihat saja, Bantar Gebang sudah menampung jutaan ton sampah di Jakarta setiap tahunnya. Tapi tak sedikit juga kantong plastik yang “nyasar” sampai ke lautan.

Plastik yang dibuang ke lautan dapat menjadi racun di dalam tubuh manusia, lho. Kok bisa? Ya, karena kantong plastik yang dibuang ke lautan dapat dengan mudahnya melepaskan kandungan kimia beracun — yang bisa saja diserap atau dimakan oleh biota laut, termasuk ikan yang kamu konsumsi.

Sudah mengerti dong sekarang, kalau bahan kimia dalam sampah plastik bisa meracuni manusia.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Kamu bisa melakukan seperti apa yang saya lakukan tadi, memasukkan barang belanjaan ke dalam tasmu, kalau enggak mau repot bawa kantong belanja setiap hari.

Bagaimana dengan kamu, apakah kamu sudah mulai diet kantong plastik?

Ingin tahu lebih lanjut soal Gerakan Diet Kantong Plastik? Like Facebook page-nya dan follow akun Twitter-nya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!