Melirik Undang-Undang Kesehatan Jiwa saat terjepit?

Nova Riyanti Yusuf

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Melirik Undang-Undang Kesehatan Jiwa saat terjepit?
Apakah Undang-Undang Kesehatan Jiwa di-'abuse' sebagai justifikasi argumentasi saat masyarakat berpolemik?

Saya diam karena saya ambigu. Di satu sisi, ada perasaan kaget bahwa Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tiba-tiba dikenal dan terjadi perdebatan makna istilah ODMK dan ODGJ, sehingga istilah stigmatis “orang gila” seakan ditelan bumi. Pada sisi yang lain, timbul sebuah kesadaran bahwa ternyata UU 18/2014 hanya dilirik pada saat banyak pihak terjepit dan menyadari, “Oh iya, hampir lupa, kita kan punya Undang-Undang Kesehatan Jiwa.” 

Ya, betul sekali. Our brand is crisis. 

Saya pribadi tidak melupakan sejarah. Republik Indonesia juga pernah mempunyai Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 3 tahun 1966. Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada 11 Juni 1966 oleh Presiden Soekarno, dan Sekretaris Negara Mohd. Ichsan. Namun di dalam perjalanan bernegara kita, UU 3/1966 yang ditandatangani oleh Soekarno tersebut dibatalkan melalui pengesahan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. UU 23/1992 bertahan selama sekitar 17 tahun sehingga akhirnya diganti dengan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Di dalam UU 36/2009, terdapat sebuah bab mengenai Kesehatan Jiwa dan sebuah amanat bagi pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemeritah yang mengatur tentang upaya kesehatan jiwa. Peraturan tersebut tidak pernah dilahirkan. Berkaca dari realita ini, maka saya memilih sangat waspada dengan nasib UU 18/2014.

Adapun perbandingan antara UU 3/1966 dengan UU 18/2014 di antaranya adalah UU 3/1966 hanya mengatur garis-garis besar dari penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa, sedangkan UU 18/2014 mengatur secara detil berbagai upaya kesehatan jiwa mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Aspek-aspek seperti modernisasi, bonus demografi, bencana alam, kompetisi, globalisasi, dan lain-lain, menuntut UU 18/2014 agar lebih komprehensif melindungi rakyat Indonesia.

Asal muasal Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang awalnya saya –sebagai rookie– inisiasikan pada 2009 di Komisi IX DPR RI yang kemudian mendapatkan dukungan kuat dari rekan-rekan Komisi IX DPR RI, adalah untuk membangun sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia dengan salah satu misi penting, yaitu mampu menghentikan pelanggaran hak asasi manusia atas pemasungan 57,000 orang dengan gangguan jiwa berat. Yang mana, sebagian besar pemasungan adalah keputusan terakhir dan terberat bagi keluarga yang notabene mencintai sanak-saudaranya tersebut tetapi terpaksa karena tidak tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi, lengkap, berjenjang, komprehensif, dan menganut prinsip equality – equity.

Tidak banyak psikiater yang terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, namun minimal ada tiga nama yang setia mengawal perjuangan saya sejak proses non-formal sampai ikut dalam prosesi khaul menyemplung ke dalam kolam air mancur DPR RI pada saat RUU Kesehatan Jiwa disahkan sidang paripurna DPR RI sebagai undang-undang pada 8 Juli 2014. Mereka adalah dr. Eka Viora, SpKJ, dr. Pandu Setiawan, SpKJ, dan dr. Irmansyah, SpKJ. Ketiganya pernah menjabat sebagai Direktur Direktorat Bina Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan.

Saya sudah jelaskan tentang ODMK di dalam artikel Merenungi Makna LGBT dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang menyikapi pernyataan dr. Fidiansjah, SpKJ. Namun kemudian ada dinamika yang luar biasa dengan “keberanian” dr. Fidiansjah di acara televisi Indonesia Lawyers Club. Seperti yang telah diprediksi, terjadi perbedaan pendapat bahkan di kalangan psikiater sendiri. 

Pernyataan dr. Fidiansjah kemudian diikuti oleh sikap resmi PP PDSKJI. Walau ada kepatuhan terhadap PP PDSKJI, masih banyak bisik-bisik keras. Ada juga yang mengirim pesan kepada saya tentang abuse terhadap Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Ada juga yang mengirimkan pesan berterima kasih atas Undang-Undang Kesehatan Jiwa sehingga ia tidak lagi khawatir akan masa depan anak-anaknya.  

Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan JIwa (ODGJ) bukanlah diagnosis. Pada saat mencantumkan istilah ODGJ di dalam ketentuan umum UU 18/2014, maka siapa pun yang masuk di dalam kategori ODGJ adalah berdasarkan entitas diagnosis yang sudah ditetapkan di dalam buku pedoman diagnosis yang berlaku. Saat ini di Indonesia berlaku kitab PPDGJ 3 (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi 3), namun bagi klaim BPJS berlaku sesuai ICD 10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems).  

Oleh karena itu, ODGJ sangat erat kaitannya dengan upaya kuratif dan rehabilitatif, sementara ODMK sangat erat kaitannya dengan upaya promotif dan preventif. Saya agak kesulitan membayangkan pemakaian istilah ODMK tanpa ada peraturan derivatif dari UU 18/2014 yang mampu memperjelas kriteria dan dikaitkan dengan upaya kesehatan jiwa yang relevan. Karena asal muasal munculnya pemikiran tentang ODMK di dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh Didier Fassin di dalam bukunya Humanitarian Reason: A Moral History of the Present:

“The Tsunami that hit South Asia on December 26, 2004, causing the death of more than 285,000 people and sparking a campaign that resulted in donations estimated at more than 5 billion euros, dramatically highlighted the historical facts that natural disasters, insofar as they represent both the most massive (in terms of numbers of victims) and the purest (being putatively beyond human control of collective misfortune, belong to the modern moral universe.”

Saya membayangkan bahwa saat manusia dihadapkan pada bencana alam yang magnitude dan dinarasikan dengan baik oleh Didier Fassin, maka ia harus dilindungi oleh undang-undang untuk keberlangsungan hidupnya yang tetap berkualitas dalam ketidakberdayaan. Kelompok pertama yang terbayang harus dilindungi dalam kategori ODMK adalah penyintas bencana alam.

Apalagi pada saat UU 18/2014 sedang digarap, Kementerian Kesehatan menyatakan terdapat 8 regio di Indonesia yang rentan terhadap bencana alam sehingga saya ikut semangat memotori model project Psychological First Aid (PFA) bagi para penyintas erupsi Merapi dengan dibantu oleh dr. Eka Viora, dr. Irmansyah, dan Pusat Krisis UI.  

Tidak ada urgensi untuk memperdebatkan apakah UU 18/2014 di-abuse sebagai justifikasi argumentasi semata-mata saat masyarakat berpolemik, karena pokok permasalahannya adalah tindak lanjut konkret yang tidak melenceng jauh dari spirit awal perjuangan di Komisi IX DPR RI. 

Sejak disahkan dalam sidang Paripurna DPR RI pada 8 Juli 2014, undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 7 Agustus 2014 sebagai Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin saat itu.

Pasal 90 menyatakan dengan sangat jelas bahwa Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini HARUS ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan. Satu tahun itu artinya Agustus 2015. Dan ini sudah tahun 2016. 

Berikut pekerjaan rumah yang harus DIKEJAR oleh Kementerian Kesehatan sebagai leading sector bekerja sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, serta kementerian terkait lainnya:

 

  • Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi dalam rangka menjamin upaya kesehatan jiwa yang terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia diatur dengan Peraturan Presiden.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya promotif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya preventif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan upaya kuratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan upaya rehabilitatif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penatalaksanaan ODGJ dengan cara lain di luar ilmu kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pengadaan, peningkatan mutu, penempatan dan pendayagunaan, serta pembinaan SDM di bidang kesehatan jiwa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan diatur di dalam Peraturan Menteri.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dan persyaratan fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum diatur dengan Peraturan Menteri.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk kepentingan pekerjaan atau jabatan tertentu diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Memang bertapa di dalam birokrasi berbeda dengan jabatan politis. Keterbatasan waktu masa jabatan seorang birokrat sampai fase pensiun sehingga rentang waktu cukup panjang. Berbeda dengan pengalaman saya dulu, karena sadar keterbatasan waktu, maka Undang-Undang Kesehatan Jiwa harus gol dalam waktu 5 tahun di DPR RI. 

Tetapi mari optimis, kita menantikan peraturan-peraturan turunan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Semoga dobrakan dr. Fidiansyah yang berikut adalah untuk menuntut perhatian Menteri Kesehatan merampungkan pekerjaan rumah pembangunan Kesehatan Jiwa di Indonesia. —Rappler.com

Nova Riyanti Yusuf, lebih akrab dipanggil Noriyu, merupakan anggota DPR RI periode 2009-2014, menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IX tentang kesehatan dan tenaga kerja. Salah satu pekerjaan penting yang pernah dia lakukan adalah menginisiasi rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan Jiwa yang disahkan sebagai Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU 18/2014). 

Tulisannya di Rappler Indonesia merupakan bagian dari advokasi kesehatan mental jiwa untuk memastikan implementasi sekaligus dilahirkannya peraturan-peraturan turunan dari UU 18/2014 di Indonesia.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!