Survei: Kurangnya pemahaman agama picu intoleransi di Yogyakarta

Mawa Kresna

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Survei: Kurangnya pemahaman agama picu intoleransi di Yogyakarta
Mereka sebenarnya tidak paham mengapa melakukan itu, tahunya membela agama. Repotnya, masyarakat menganggap kelompok seperti itu benar-benar Islami.

YOGYAKARTA, Indonesia – Hasil survei Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Yogyakarta menunjukan pemicu pertikaian antar umat beragama di Yogyakarta adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang agama yang mereka yakini, yakni sebanyak 42 persen. Urutan kedua dikarenakan provokasi pimpinan agama sebanyak 23 persen.

Ketua FKPT Yogyakarta Kyai Abdul Muhaimin mengatakan pada posisi ketiga disusul aliran agama sebesar 16 persen, sisanya masing-masing sebanyak 4 persen karena pendirian rumah ibadah, 3 persen karena isu Kristenisasi dan Islamisasi, sementara 12 persen sisanya tidak menjawab.

“Survei kami melibatkan lebih dari 500 responden. Hasilnya cukup membuat kami terkejut. Ternyata potensi konflik itu karena pengetahuan agama yang kurang,” kata Muhaimin saat menjadi pembicara dalam Diskusi Membedah Akar-akar Radikalisme dalam Agama di Asrama Haji Yogyakarta, Senin, 29 Februari.

Dia menilai kurannya pemahaman umat tentang agama mereka membuat mereka sulit untuk menerima perbedaan. Hal ini menurutnya sesuai dengan fenomena munculnya sejumlah organisasi ekstrim berlabel agama yang semakin dominan.

“Yang terjadi, mereka sebenarnya tidak paham mengapa melakukan itu, tahunya membela agama. Repotnya, masyarakat menganggap kelompok seperti itu adalah kelompok yang benar-benar Islami,” kata Muhaimin.

Karena pengetahuan agama yang terbatas tersebut membuat masyarakat tidak bisa mengenali peta gerakan ektremis ini. Padahal ada tiga peta organisasi ektremis di Yogyakarta, yakni organisasi yang memiliki motif ekonomi, organisasi motif politik, dan organisasi motif ideologis.

“Ada ormas yang setelah menggeruduk rumah ibadah agama lain, lalu perwakilan mendatangi dan membuat deal. Kalau mau aman, tolong tiga orang anggota ormas itu diumrohkan. Ada juga yang rebutan lahan parkir dan keamanan tempat hiburan malam. Ada juga yang motifnya politik seperti GPK dengan PPP. Yang ideologis dengan latar belakang sejarah yang kuat itu seperti HTI,” katanya. 

Meski motif berbeda-beda, namun dalam beberapa isu, mereka bisa menjadi cair dan bermetamafosa sesuai kebutuhan. Misalnya dalam isu Ahmadiyah, Syiah dan LGBT.

“Mereka sama-sama butuh panggung untuk meningkatkan positioning mereka. Ini soal funding juga akhirnya,” kata Muhaimin.

Sementara itu Kyai Jazilus Sakhok dari Forum Komunikasi Pondok Pesantren melihat hasil survei FKPT menunjukan kedangkalan dalam beragama. Dalam Islam, lanjut Jazilus, dimensi ajaran Islam ada Ihsan yang merupakan lapisan inti, Iman lapisan tengah dan Islam lapisan luar. Ihsan merupakan inti yang berupa akhlak, Iman yaitu yang terkait akidah, dan Islam adalah fiqih.

“Kebanyakan orang belajar itu hanya fiqih saja, padahal itu lapisan paling luar. Dalam Al-Quran, fiqih itu hanya 5,8 persen saja bagiannya. Sementara lainnya seperti lebih Ihsan yaitu ahlak itu memiliki porsi yang besar. Di sini terjadi pendangkalan, orang menganggap bahwa Islam itu hanya pada fiqih saja,” ungkap Jazilus.

Seharusnya, jika ingin mendalami Islam, tiga lapisan itu harus dipelajari. Meski demikian dia memprioritaskan Ihsan yang harus dihayati, sebab Ihsan ini yang menunjukan bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan Lilalamin.

“Akhlak itu soal budi pekerti. Nabi diutus itu untuk menyempurnakan ahlak masyarakat, kenapa justru ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam melakukan kekerasan. Ini jelas bertolak belakang,” katanya. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!