Warna-warni waria zaman Nabi: Dari Mak Comblang hingga pengusiran

Aan Anshori

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Warna-warni waria zaman Nabi: Dari Mak Comblang hingga pengusiran

EPA

Indonesia ditantang untuk merumuskan ulang relasi dengan waria pada zaman modern

Upaya Front Jihad Islam (FJI) menutup paksa pesantren waria Al-Fattah di Kotagede, Yogyakarta, pada pekan lalu mengagetkan banyak pihak. Melalui jejaring sosial, publik tidak menyangka pro-kontra LGBT akan mengimbas satu-satunya institusi yang ada di Indonesia itu. 

Mereka mengidentikkan pesantren ini sebagai sarang para pengidap “penyimpangan” identitas dan seksual, tanpa memedulikan kegiatan di dalamnya. Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab justru menuding pesantren tersebut sebagai sarang berternak waria.

Waria merupakan laki-laki yang meyakini sepenuh hati dirinya adalah perempuan dengan segala ekspresi gendernya. Sejarah keberadaannya setua peradaban dunia. Al-Qur’an tidak banyak menjelaskan sosok mereka, kecuali mengafirmasi eksistensi orientasi seksual secara netral. 

(BACA: Pondok pesantren waria Yogya ‘ditutup’)

Melalui QS 24:31, mereka masuk kategori ‘uli al-irba min al-rijali’, yakni lelaki yang tidak memiliki gairah seksual terhadap perempuan. Komentator ulung Al-Qur’an, Jarir al-Tabari, memasukkan waria dalam kategori ini bersama kasim, anak kecil laki-laki, pria renta, dan budak laki-laki. Al-Qur’an menganggap mereka “tidak berbahaya” bagi perempuan sehingga mereka diperkenankan melihat perempuan tanpa penutup (hijab). 

Dalam periode awal Islam Madinah, di mana Nabi Muhammad masih ada, dinamika waria dipotret cukup terang dan berwarna-warni. Tidak melulu berkaitan dengan urusan hukum Islam (fiqh). 

Penelusuran Rowson (1991) terhadap beberapa kitab hadits kanonik Sunni (kutub al-sittah) ditambah koleksi Imam Malik b. Anas (w. 797 M), Muwatta’, dan Musnad milik Ahmad b Hanbal (w. 855 M) menghasilkan setidaknya tujuh potret besar. 

Peserta pengajian, yang rata-rata adalah waria. Foto oleh Prima Sulistya/Rappler

Pertama, Nabi Muhammad SAW mengecam orang yang meniru ekspresi lawan jenisnya. Mereka disebut mukhannats jika laki-laki, dan mutarrajilat untuk menyebut perempuan yang bergaya laki-laki. Sayangnya, hadits-hadits bernada demikian tidak menjelaskan lebih jauh, misalnya, bagaimana jika ekspresi tersebut memang bukan tiruan, namun bawaan sejak lahir. 

Yusuf al Kirmani (w.1384) saat menerangkan (syarah) Shahih-Bukhari membagi mukhannats menjadi dua; bawaan sejak lahir (khilqy) dan pengaruh lingkungan (takallufi). Pandangan ini diamini oleh dua komentator Shahih Bukhari, Badruddin al-Ayni (w. 1452 M) maupun Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1449 M). 

Berbeda dengan khilqy, baik al-Ayni dan al-Asqalani meminta mukhannats “jadi-jadian” berhenti berpura-pura dan kembali menjadi dirinya sendiri. Problem utama yang patut dalam kategorisasi ini adalah siapa yang paling berhak menentukan seseorang itu waria sejak lahir atau waria pura-pura? 

Saya pribadi berpandangan, otoritas tersebut dimiliki sepenuhnya oleh individu yang bersangkutan, bukan publik. Kitalah pihak utama yang paling tahu atas tubuh kita dan memikul tanggung jawab atas hal itu secara sosial maupun transedental.

Kedua, Ibnu Majah pernah menulis pengakuan Shafwan bin Umayya yang menceritakan Nabi pernah memarahi Amr bin Murra yang datang meminta izin menggunakan tamborine (mengamen) untuk kelangsungan hidup — ketimbang mengerjakan praktik immoral (fakhisyah). 

Nabi beragumen Allah telah menyediakan cara yang dibolehkan dan lebih baik. Amr diminta tidak melakukan hal itu lagi dan bertobat. Jika tidak, Nabi akan mengenakan sanksi. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai apakah Amr termasuk mukhannats khilqy atau takallufi, serta bagaimana kelanjutan nasibnya. Saat dimarahi, Amr langsung pergi dengan membawa perasaan malu yang tak terperikan. 

Ketiga, masing-masing Ibnu Majah dan Al-Tirmidzi pernah membakukan hadits seputar tuduhan palsu (qadf). Menurut keduanya, siapapun bisa dikenakan pidana 20 cambukan jika menuduh seseorang sebagai mukhannats secara sepihak. Pidana ini sebangun dengan ancaman bagi para pihak yang menuduh seseorang sebagai al-luthi (umat Luth) tanpa dasar. 

Keempat, Bukhari pernah beropini (ra’yu) menyangkut validitas imam salat. Menurutnya, seseorang diperbolehkan berimam kepada mukhannats dalam kondisi terpaksa.

Kelima, terdapat hadits yang dibakukan Abu Hurairah di mana ia pernah menceritakan penolakan Nabi atas “proposal hukuman mati” yang diajukan beberapa orang terhadap laki-laki karena dianggap mukhannats. Nabi meyakini seseorang tidak boleh dihukum mati jika masih melakukan salat (berislam). Sebagai gantinya, Nabi meminta mukhannats tersebut dipindahkan ke Al-Naqi’, tempat yang berjarak 3-4 mil dari Madinah. Tidak dijelaskan lebih jauh atas dasar apa pemindahan tersebut dilakukan. 

Keenam, dalam Kitab Musnad karya Ibn Hanbal termuat cerita Ummu Salamah, istri Nabi. Ia mengaku pernah dikunjungi Nabi, di mana pada saat itu hadir juga seorang mukhannats, namanya Hit. Hit memberi informasi kepada Abdallah bin Abi Umayyah agar adik Ummu Salamah ini tidak lupa mencari anak perempuan Ghaylan. Hit kemudian menyusuli informasi itu dengan gambaran keseksian anak perempuan tersebut. Mendengar ucapan yang “menjurus” dari Hit itu, Nabi meminta Ummu Salamah mengusirnya dan tidak lagi menerima kehadiran Hit.

Ketujuh, cerita yang kurang lebih sama juga pernah disampaikan Aishah sebagaimana terdokumentasi dalam Musnad Ibn Hambal dan Shahih Muslim. Kala itu ada seorang mukhannats yang dikenal sering berkunjung ke para istri Nabi. Mukhannnats yang tidak disebutkan namanya itu diperbolehkan karena dianggap sebagai laki-laki yang tidak punya hasrat terhadap perempuan. 

Suatu ketika, mukhannats tersebut diusir Nabi dan tidak boleh lagi berkunjung karena kedapatan mendeskripsikan kemolekan tubuh perempuan. Dia diusir ke padang pasir dan hanya diperbolehkan mengunjungi Madinah seminggu sekali untuk mengambil makanan. 

Massa yang kontra terhadap LGBT di Yogyakarta. Foto istimewa

Perlu dicatat menyangkut dua poin terakhir, penggambaran kemolekan tubuh perempuan yang menjadi alasan pengusiran mukhannats tersebut sangat jelas tidak dalam konteks kepentingan seksual mukhannats tersebut. Akan tetapi ditujukan bagi laki-laki hetero. Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu peran yang sering dimainkan para mukhannats adalah sebagai mak comblang perjodohan (matchmaker, tadullluna ‘ala). 

Dengan mendasarkan pada  kitab Umdat Al-Qari karya Al-Ayni, Rowson (1991) mengatakan Aishah dikabarkan pernah meminta Annah, seorang mukhannats, membantu perjodohan saudaranya, Abdul-Rahman. 

Al-Muallab — menurut Rowson — menyatakan Nabi hanya melarang mukhannats membincangkan kemolekan perempuan saat memasuki bilik perempuan-perempuan. Saya kira, Nabi mempersepsi penggambaran kemolekan yang disampaikan mukhannats ini sebagai indikasi mereka tidak sepenuhnya uli al-irbah karena dianggap masih punya syahwat terhadap perempuan. 

Warna-warni kehidupan waria pada fase awal Islam di Madinah menunjukkan fakta yang menarik; bahwa mereka menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat. Bahkan, punya privilege untuk mengakses dan bertemu dengan istri-istri Nabi. 

Sangat mungkin kekritisan Nabi terhadap mukhannats — bahkan ada yang berujung pemindahan ke luar kota — dimaksudkan dalam rangka memastikan mereka tidak sedang berpura-pura menjadi perempuan, apalagi memanfaatkan situasi tersebut untuk praktik tak terpuji. Tidak juga tergambar preseden penghukuman Nabi yang bersifat massif dan eskalatif menyangkut kelompok ini. 

Pasca wafatnya Nabi, tidak banyak diperoleh rekaman mengenai mukhannats, sampai kekuatan Islam era  Marwan terkonsolidasi enam puluh tahun kemudian. Di bawah kepemimpinan Abd al-Malik, eksistensi para mukhannats di bidang musik — terutama sebagai penyanyi — cukup menonjol, di antaranya adalah Abi ‘Abd al-Mun’im ‘Isa b. ‘Abdallah (w. 717 M), terkenal dengan nama Al-Tuways, serta Al-Dalal. Kitab al-Aghani karya Abu Al-Faraj Al-Isfahani (w. 967 M) menawarkan limpahan informasi seputar biografi musisi terkenal kala itu, termasuk keduanya.

Dalam konteks kekinian, kita ditantang untuk merumuskan ulang relasi kita dengan kelompok ini. Agaknya, terobosan penting yang pernah dilakukan mantan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid layak dipertimbangkan. 

Dia tanpa malu dan ragu menghadiri pemilihan Putri Waria 2006. Gus Dur sendiri mengaku bersedia menjadi penasihat Ikatan Waria Indonesia. Alasannya sederhana, dalam konstitusi waria memiliki hak yang sama sebagai warga negara. —Rappler.com

Aan Anshori adalah seorang Nahdliyyin dan GUSDURian. Ia tergabung dalam Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur dan dapat disapa di Twitter @aananshori.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!