Bagaimana Oscars 2016 mengajarkan kita tentang agama, LGBT, dan feminisme

Noel

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana Oscars 2016 mengajarkan kita tentang agama, LGBT, dan feminisme
Oscars tahun ini mengantarkan dunia Barat pada suatu yang abu-abu terhadap isu feminisme dan LGBT

Film adalah cara paling efektif untuk melakukan sebuah edukasi. Cara ini efektif karena dalam durasi rata-rata 2 jam penonton akan disajikan sebuah pertunjukan dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan pembuat film tersebut. Keluar dari bioskop atau usai menonton tentu kesan itu akan masuk ke dalam diri.

Film adalah media edukasi yang buat masyarakat mampu duduk diam hingga pesan itu selesai disampaikan tanpa interupsi dan gangguan. Hal ini berbeda dengan seminar atau penyuluhan, bahkan talk show sekalipun.

Pembuat film di Hollywood tidak sedikit yang memasukan pesan-pesan, baik tersembunyi atau bahkan secara gamblang dalam film mereka. Pesan itu dulu pernah digunakan untuk penyebaran paham scientology, tentang kekuatan militer Amerika, hingga soal melawan rasis terhadap Afro-Amerika.

Oscars yang merupakan ajang penghargaan film paling bergengsi di Amerika Serikat, bahkan dunia, pun memiliki agenda sendiri untuk memasukan nominasi-nominasi di ajang mereka. Jika tahun lalu masuknya The Immitation Game dalam 8 nominasi Oscars adalah upaya secara tersembunyi terhadap pesan isu lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT), maka tahun ini Oscars lebih berani memasukan film-film dengan pesan itu secara terbuka.

Carol dan The Danish Girl adalah film yang menjadi sorotan bagi kaum LGBT. Film ini justru mengambil setting zaman dunia Barat masih belum terbuka soal isu LGBT. Seakan memberikan edukasi bahwa LGBT bukanlah suatu hal yang baru di dunia ini. Bukan gaya hidup zaman sekarang. Dan apalagi sebuah penyakit.

Sebuah pesan yang sensitif tentu harus diberikan secara sabar. Natural. Hal ini dapat dilihat bagaimana sang sutradara The Danish Girl begitu sabar dan halus dalam menceritakan proses seorang pria yang menyadari bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Pelan dan menyentuh. 

'Carol' menceritakan bahwa bukan lingkungan yang membuatmu jadi lesbian, melainkan sebuah proses alami.

Berbeda setting, Carol mengambil sudut yang sedikit misterius. Carol seakan menceritakan bahwa bukan lingkungan yang membuat kamu menjadi lesbian, melainkan sebuah proses alami seperti layaknya kamu jatuh cinta dengan seseorang. Tidak berbeda.

Selain itu, Oscars tahun ini masih memberi porsi terhadap isu feminis cukup besar. Sebut saja film 45 Years, Brooklyn, The Martian, dan Mad Max. Pesan tersebut masih berkisar soal kepemimpinan seorang wanita dalam suatu bidang dan soal kebebasan memilih sebagai perempuan. 

Namun, ada yang berbeda kali ini dengan Oscars. Iya, bagaimanapun juri dalam Oscars menyadari bahwa film yang mereka loloskan memiliki kepentingan terhadap keberlangsungan nilai-nilai kehidupan yang akan berkembang. Kali ini, nilai yang ingin dibangun adalah soal isu kesetiaan. 

Brooklyn dan 45 Years, misalnya, seakan ingin memberikan sebuah kerinduan dari warga Amerika Serikat tentang cinta yang tulus dan setia. Kemungkinannya ada kejenuhan dari industri film di Barat yang menceritakan soal perceraian dan perselingkuhan.

The Martian dan Mad Max membawa pesan sendiri. Misalnya,The Martian pemeran utamanya adalah pria, namun dalam film itu yang menjadi kapten dalam misi ke Mars itu adalah seorang perempuan. Cara penempatan pesan yang cantik menurut saya. Memang seharusnya demikian. Sebuah pesan jika diberikan secara vulgar justru menghilangkan maknanya. 

Begitu juga dengan Mad Max. Bagaimana kita diajak membayangkan bagaimana kaum wanita saat berada di akhir zaman dunia. Dulu, film tentang apocalypse banyak diidentikkan wanita yang tidak berdaya. Selalu ada sosok pria yang berjuang menyelamatkan wanita tersebut. Dalam Mad Max justru perjuangan itu memiliki porsi yang sama, baik pria ataupun wanita.

'Spotlight' memaparkan bahwa institusi agama juga bisa terlibat kasus pencabulan.

Entah sebuah kebetulan atau tidak, Oscars pun memasukan Spotlight sebagai pemenang film terbaik (Best Picture) yang menceritakan bagaimana sebuah koran di Boston mampu memaparkan fakta pencabulan yang dilakukan pastor-pastor di gereja Katolik. Seakan ingin menyampaikan pesan bahwa lembaga agama pun pernah melakukan tindakan tidak bermoral.

Pada akhirnya, sebuah nilai-nilai kebenaran tidak selalu bertumpu pada suatu lembaga moral seperti komunitas gereja. Kira-kira seperti itu pesannya.

Saya merefleksikan hal ini bukan menjadikan saya tidak dapat lagi berpegang teguh pada agama. Bagaimanapun agama adalah fondasi awal untuk menjadi agen moral dalam kehidupan seseorang. Namun, jangan sampai kita kehilangan sikap kritis terhadap suatu hal yang baru, hanya karena suatu pernyataan dari sebuah lembaga agama tersebut.

Oscars tahun ini mengantarkan dunia Barat pada suatu yang abu-abu terhadap isu feminisme dan LGBT. Bukan warna-warni seperti pelangi. Abu-abu yang menjadi perenungan bahwa kehidupan pada akhirnya tidak boleh berpihak pada satu sisi saja dan menutup kemungkinan yang lain. Abu-abu adalah melihat dunia dengan menilik diri lebih ke dalam lagi. Apakah yang diyakini selama ini adalah kebenaran sejati? —Rappler.com 

Noel dulu bercita-cita ingin jadi pastor namun kerjaannya justru adalah di dunia management artist yang tidak sedikit talent-nya adalah kaum lesbian dan gay.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di magdalene.co.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!