22 alat pendeteksi tsunami Indonesia tidak berfungsi

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

22 alat pendeteksi tsunami Indonesia tidak berfungsi
Selain minimnya anggaran, ternyata faktor manusia juga menjadi penyebab sulitnya upaya penanggulangan bencana gempa dan tsunami.

JAKARTA, Indonesia (UPDATED)—Gempa terjadi sekitar 10 kilometer dari Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada Rabu, 2 Maret, pukul 19:49.

Gempa tersebut sempat membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami, yang tak lama kemudian dibatalkan.

Gesekan yang terjadi di pusat gempa Rabu lalu merupakan sesar geser, sehingga potensi tsunami yang ditimbulkan tidak seperti sesar naik di gempa Aceh 2004.

Meskipun tidak terjadi bencana seperti di Aceh 2004 atau gempa dan tsunami di Mentawai pada 2010, gempa tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat, khususnya dalam rangka penanggulangan dan antisipasi bencana di kemudian hari.

Menurut penjelasan dari Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, pihaknya telah melakukan berbagai upaya antisipasi bencana, khususnya bencana gempa dan tsunami, namun anggaran yang terbatas membuat usaha tersebut belum maksimal.

“Untuk dapat menjangkau semua masyarakat, dibutuhkan sirine tsunami sebanyak 1.000 unit, tetapi saat ini hanya ada 55 unit yang dibangun BMKG,” kata Sutopo di Graha BNPB, Jakarta, pada Kamis, 3 Maret.

Selain sirine milik BMKG, ada sekitar 200 unit sirine berbasis komunitas. Namun jumlah tersebut juga masih jauh dari ideal.

Selain kurangnya sirine, prasarana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga sangat minim.

“Mentawai yang daerahnya rawan sedemikian rupa, BPBD-nya itu sewa rumah. Tahun lalu, kantornya harus pindah karena pemilik rumah menaikan harga sewa. Akhirnya pindah 7 kilometer dari lokasi semula. Sementara radio komunikasinya berada di situ. Akhirnya, biaya memindahkan radio jadi lebih mahal daripada sewa rumah.”

Selain itu, seluruh buoy tsunami—alat pendeteksi tsunami yang ditaruh di tengah laut – tidak ada yang berfungsi sama sekali.

“Tidak ada biaya pemeliharaan dan operasional. Ini kan ada software-nya, perlu di-upgrade, kadang ada kerusakan harus diperbaiki, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) tidak punya anggarannya.”

Saat ini, Indonesia mempunyai 22 buoy pendeteksi tsunami yang ditempatkan di tengah laut di berbagai lokasi.

Akhirnya, BNPB hanya bisa menggunakan lima buoy milik internasional yang letaknya jauh. Potensi tsunami di Mentawai kemarin terdeteksi dari buoy di Pulau Cocos, Australia, yang letaknya jauh.

Yang lebih memprihatinkan lagi, selain tidak adanya anggaran yang memadai, kerusakan pada 22 buoy tersebut juga diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

“Kadang sensornya diambil, kadang dikiranya ufo jatuh ke laut, ditarik ke pelabuhan. Solar cell nya diambil. Lampunya diambil. Kadang dipakai tambatan kapal untuk jaring ikan.”

Padahal biaya operasional dan pemeliharaan yang dibutuhkan buoy cukup mahal, mencapai 30 milyar rupiah sepanjang tahun, karena buoy harus selalu aktif.

“Dia harus aktif 24 jam, 7 hari. Tidak boleh libur. Karena gempa dan tsunami bisa terjadi kapan saja.” —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!