Perang lawan teroris, hantu Orde Baru bisa bangkit lagi

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perang lawan teroris, hantu Orde Baru bisa bangkit lagi

BAY ISMOYO

Seorang tersangka teroris bisa ditahan selama 240 hari di tingkat penyidik dan 150 hari di tingkat penuntut umum

JAKARTA, Indonesia – Pasca meledaknya bom di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari lalu, muncul dorongan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Salah satu poin penting dalam UU Terorisme yang akan direvisi adalah penambahan kewenangan pada aparat, khususnya, Badan Intelijen Negara (BIN), untuk dapat menahan dan menangkap terduga teroris sebagai langkah pencegahan.

Sebelumnya, Kepala BIN Sutiyoso dalam konferensi pers pasca pengeboman, mengatakan pihaknya sudah menginformasikan akan terjadi aksi teror pada 9 Januari, namun berdalih ia tak kuasa melakukan tindakan karena di luar kewenangannya.

Menurut Sutiyoso, BIN hanya bisa memberi informasi, tapi tidak menangkap terduga pelaku.

Dengan revisi ini, penangkapan dan penahanan tanpa proses peradilan — yang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebut sebagai salah satu pelanggaran HAM berat mantan presiden Suharto — bisa segera kembali sebagai salah satu upaya penangkalan tindakan pidana terorisme di Tanah Air.

Pasal 43A ayat (1) rancangan revisi UU Terorisme memberikan otoritas kepada penyidik dan penuntut umum untuk menahan tanpa proses hukum seseorang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme selama 6 bulan.

Bunyi lengkap pasal 43A ayat (1) itu sebagai berikut:

Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Tidak disebutkan apa “program” yang penyidik atau penuntut umum harus lakukan terhadap tahanan, tetapi pasal 43 ayat (2) menyatakan: Presiden menetapkan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme.

Pegiat hak asasi manusia, Tigor Naipospos, mengatakan pasal 43A ini meniru undang-undang Internal Security Act (ISA) dari Malaysia dan Singapura, dan berpotensi melangar HAM.

“Pasal 43A ini rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia,” kata Tigor kepada Rappler pada Kamis, 3 Maret.

Dengan dalih pencegahan (preventive detention), ISA memberikan otoritas kepada aparat keamanan Malaysia dan Singapura untuk menangkap dan menahan tanpa batas waktu seseorang yang dianggap mengancam keamanan negara.

Malaysia sendiri telah menghapus undang-undang ISA tersebut pada 2011.

Rancangan revisi UU Terorisme ini diserahkan oleh pemerintah kepada DPR RI pada 10 Februari lalu. Namun belum ada jadwal pasti kapan rancangan ini akan mulai dibahas di DPR.

Pada 2004, Ketua Komisi Pemantauan Komnas HAM, MM Billah, mengatakan penahanan tanpa proses peradilan adalah salah satu pelanggaran HAM berat oleh mantan presiden Suharto yang memimpin Indonesia selama hampir 33 tahun.

Berpotensi melanggar HAM

Total ada 7 pasal baru dan 8 pasal perubahan dalam rancangan revisi yang ditandatangani oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo itu.

Secara umum, kata Tigor, rancangan revisi ini memperluas cakupan dengan memasukkan isu seperti ucapan kebencian (hate speech) dan penyebaran informasi yang bisa mendorong tindakan terorisme.

“Rancangan ini lebih antisipatif dan lebih luas dengan memasukan publikasi, ucapan kebencian, dan sikap intoleran. Bagi kami, sikap intoleran adalah anak tangga pertama dari lima langkah menuju aksi terorisme,” kata Tigor, Wakil Ketua Setara Institute, sebuah lembaga yang mempromosikan demokrasi dan perdamaian.

Namun demikian, Tigor prihatin dengan beberapa poin yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, selain masalah penahanan tanpa proses peradilan di atas, seperti berikut ini:

1. Penangkapan. Pasal 28 rancangan revisi membolehkan penyidik untuk menangkap (dan menahan) seseorang selama 30 hari, dibandingkan 7 hari dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2003.

“Itu bertentangan dengan hukum acara pidana Indonesia yang mewajibkan penyidik untuk menetapkan status seseorang dalam 24 jam,” kata Tigor.

Bunyi lengkap pasal 28 adalah:

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

2. Penelitian. Dalam rancangan revisi, penuntut umum diberikan waktu 30 hari untuk menyusun penuntutan terhadap tersangka seperti tercantum dalam pasal 28A yang berbunyi:

Penuntut umum melakukan penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berkas perkara dari penyididk diterima.

3. Penahanan. Tigor juga menyoroti masa penahanan tersangka yang terlalu lama baik di tingkat penyidik maupun penuntut umum.

“Benar, undang-undang pemberantasan terorisme ini bersifat khusus, tetapi tetap harus menghormati hak asasi manusia,” kata Tigor.

Menurut rancangan revisi Pasal 25 ayat (2), (3), (4), dan (5), seseorang bisa ditahan selama 240 hari di tingkat penyidik dan 150 hari di tingkat penuntut umum. Bunyi lengkap ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Ayat 2:
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari

Ayat 3:
Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh penuntut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari

Ayat 4:
Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari

Ayat 5:
Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

4. Penyadapan. Rancangan revisi juga memberikan otoritas kepada penyidik untuk melakukan penyadapan seperti tertuang dalam pasal 31 ayat (1)b dan ayat (2) dengan berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Berikut bunyi ayat (1)b dan (2) itu:

Ayat (1)b:
Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme 

Ayat (2):
Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada pasal (1) wajib dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!