Apakah penutupan lokalisasi solusi tepat perangi perdagangan manusia?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah penutupan lokalisasi solusi tepat perangi perdagangan manusia?

ANTARA FOTO

Adakah korelasi penutupan lokalisasi dan turunnya angka perdagangan manusia?

 

JAKARTA, Indonesia — Perdebatan mengenai penutupan lokalisasi sebagai bentuk perang terhadap perdagangan manusia sudah mengemuka puluhan tahun lamanya. Pemerintah dan akademisi selalu tak sejalan ketika mendiskusikan kebenarannya.

Tahun ini, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa memperuncing perdebatan itu dengan mengambil langkah untuk tancap gas menutup 99 titik lokalisasi di seluruh Indonesia. Terakhir, lokalisasi Kalijodo di Jakarta berhasil ia tutup dengan dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Dalam wawancara khusus dengan Rappler, Khofifah mengatakan, “Ada eksploitasi seksual, ada kekerasan seksual, dan perdagangan orang. Kami menolak itu”.

Negara, kata Khofifah, harus mengambil posisi melindungi warganya, jangan ada perdagangan orang yang terlembaga. Jika negara membiarkan lokalisasi, berarti negara juga memperbolehkan perdagangan orang tetap bertahan.

‘Akar perdagangan manusia adalah kemiskinan, bukan prostitusi’

Desintha D. Asriani, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada yang sedang menimba ilmu PhD di Ewha Womans University di Korea Selatan, mengatakan penutupan lokalisasi selalu memicu perdebatan yang sangat panjang. 

Pertama, asumsi yang berkembang di jajaran pemerintahan adalah penutupan lokalisasi itu untuk menghapuskan kekerasan dan perdagangan manusia. Pelaku kekerasan, dalam hal ini, bisa majikan (germo) atau konsumen. 

Tapi, kata Desintha, “Bagaimana kita bisa memastikan kalau lokalisasi ditutup, pelakunya tidak bebas bergerak ke mana-mana?”

“Mereka akan tetap menciptakan lokalisasi yang baru,” ujarnya pada Rappler, Selasa, 8 Maret. 

Menurutnya, akar permasalahan dari perdagangan manusia adalah kemiskinan. Harusnya kemiskinan yang dicari solusinya, bukan sekadar menutup lokalisasi. 

Akibat terjerumus dalam kemiskinan, pelaku bebas memodifikasi perempuan, bahkan sebagian perempuan terpaksa menikah di bawah umur. Ada juga praktik penjualan perempuan di bawah umur. 

“Bahkan pernikahan dini sebetulnya punya tendensi ekonomi, itu bisa dikatakan perdagangan manusia, karena menikahkan anaknya yang di bawah umur dengan motif uang di baliknya,” kata Desintha. 

Hampir mirip dalam kasus lokalisasi, ada pihak-pihak, dalam hal ini pelaku atau germo, yang punya kuasa untuk membeli mereka dan seolah bisa memecahkan masalah kemiskinan perempuan-perempuan ini. 

Penutupan lokalisasi tak efektif untuk tekan angka perdagangan manusia?  

Umat Muslim melakukan ibadah Salat Jumat di kawasan lokalisasi Kalijodo, Jakarta, pada 26 Februari 2016, sebelum penertiban oleh Pemprov DKI Jakarta pada 29 Februari. Foto oleh Rivan Awal Lingga/Antara

Desintha tak meyakini penutupan lokalisasi dapat menekan angka perdagangan manusia.

“Saya enggak terlalu yakin jika penutupan lokalisasi bisa menghapuskan perdagangan manusia,” katanya. 

Dalam kasus perdagangan manusia, pembahasan mengenai pelaku dan jaringannya tak bisa diabaikan. “Mereka membangun jaringannya seperti apa, itu sebenarnya yang harus dipahami,” ujarnya. 

Dengan adanya lokalisasi, justru lebih mudah bagi penegak hukum untuk memetakan pelaku. 

Seharusnya, ujarnya, wacana yang dimunculkan saat ini adalah penanganan terhadap pelaku.

“Tapi kenapa yang selalu diekspose adalah korban? Korban, ya jelas mereka sudah tahu mereka tereksploitasi, mereka menerima kekerasan, mereka memiliki risiko diperdagangkan, mereka perlu diberdayakan,” ujarnya. 

Jajaran pemerintah, mulai dari Kementerian Sosial hingga kepolisian, seharusnya menunjukkan komitmen untuk menindak pelaku. 

“Sejauh mana mereka bisa memutus mata rantai jaringan perdagangan manusia atau kekerasan seksual terhadap perempuan?” katanya.  

Ada upaya pembiaran terhadap pelaku?

Sementara itu, Direktur Rehabilitasi Tuna Sosial dan Perdagangan Kementerian Sosial Sonny Manalu mengakui ada pembiaran terhadap pelaku atau germo di lokalisasi.

“Saya sudah bilang, polisi sudah tahu tapi tidak berbuat,” kata Sonny pada Rappler. 

Menurutnya, mustahil polisi tak mengetahui keberadaan pelaku perdagangan manusia atau germo di lokalisasi. “Di setiap lokalisasi pasti ada germo,” katanya. 

Tapi, tak semua germo ditangani oleh pihak yang berwajib. “Buktinya di Kalijodo, enggak ada yang ditangkap, paling si Daeng Azis kemarin, itu pun setelah sekarang,” kata Sonny, merujuk pada seorang mucikari, Abdul Aziz, yang ditangkap oleh Polisi.

Benarkah polisi tak serius menangani pelaku? Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal membantah ada pembiaran terhadap pelaku atau germo.

“Kami masih selidiki,” kata Iqbal pada Rappler. 

Sedangkan soal Aziz, ia mengatakan polisi baru menjeratnya dengan pencurian aliran listrik, bukan prostitusi. 

Petugas berjaga di depan kafe saat melakukan operasi cipta kondisi di Kalijodo, Jakarta, 20 Februari 2016. Foto oleh Rivan Awal Lingga/Antara

Rekomendasi: Perbanyak riset 

Lalu apa solusi terbaik untuk menangani perdagangan manusia jika penutupan lokalisasi bukan jaminan?  

Selain penegakan hukum untuk pelaku perdagangan manusia atau germo, Desintha mengusulkan penelitian di bidang akademik. 

“Riset dulu. Misalnya jika akan menutup lokalisasi, ada acuannya, enggak? Hasil riset diperlukan, bukan hanya alasan moral,” kata Desintha. 

Selama ini, katanya, tidak ada bukti metodologis dan empiris yang mengamini penutupan lokalisasi bisa mengurangi perdagangan manusia. 

“Adakah korelasi penutupan lokalisasi dan turunnya angka perdagangan manusia? Bisakah menemukan hubungan antara dua hal itu?” katanya. 

Jangan sampai, kata Desintha, penutupan lokalisasi mubazir dan digunakan untuk tujuan lain. 

“Bisa dibayangkan pemerintah ngotot sekali menutup lokalisasi. Ada sesuatu di balik itu?” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!