Saling mengerti antar pemeluk tiga agama di dusun lereng Gunung Lawu

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Saling mengerti antar pemeluk tiga agama di dusun lereng Gunung Lawu
Berbeda keyakinan tidak berarti tak rukun. Di sebuah desa di lereng Gunung Lawu, pemeluk tiga agama hidup harmonis sejak ratusan tahun lalu


KARANGANYAR, Indonesia – Gimanto mengenakan baju putih, sarung, dan ikat kepala, berjalan kaki tergesa menuju Pura Jonggol Shantiloka yang tak jauh dari rumahnya. Ia adalah pemangku pura dan ingin memastikan segala persiapan untuk upacara menyambut Hari Raya Nyepi, yang jatuh pada Rabu, 9 Maret esok, telah beres.

Pura di Dusun Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Jawa Tengah, itu merupakan pusat aktivitas ritual umat Hindu setiap pergantian Tahun Saka, mulai upacara Tawur Agung Kesanga hingga Catur Brata. Orang dewasa dan anak-anak di desa meninggalkan rumah mereka selama sehari semalam untuk melakukan amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang).

Dusun kecil yang terletak di lereng Gunung Lawu itu dihuni 60 keluarga, dan lebih dari setengahnya adalah penganut Hindu, sisanya pemeluk Islam dan Kristen. Karena banyak pemeluk Hindu yang sudah berabad-abad bermukim di sini, lereng utara Lawu sering disebut sebagai Bali kecil.

Mereka kebanyakan adalah keturunan para pengikut setia Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri di puncak Lawu menjelang kejatuhan Majapahit. Brawijaya dipercaya moksa di puncak Hargodalem, satu dari tiga puncak Lawu.

Di lereng utara gunung banyak ditemukan jejak peradaban Hindu abad ke-15, berupa candi-candi kuno yang eksotis, seperti Sukuh, Cetho, dan Kethek. Beberapa di antaranya masih digunakan sebagai tempat upacara umat Hindu.

Di wilayah ini juga terdapat lima pura, yaitu Pura Tunggal Ika, Jonggol Santiloka, Agrabadra, Sumbersari, dan Ludha Buana. Hindu merupakan agama paling awal masuk di pedesaan itu, sebelum Islam dan Kristen.

Meski demikian, kebanyakan masyarakat setempat adalah petani yang memiliki toleransi tinggi dalam soal agama. Bukan sekadar saling membiarkan tanpa mengganggu, warga berbeda keyakinan justru saling membantu di setiap perayaan agama.

Di Dusun Jlono, misalnya, setiap Nyepi selalu hening dan gulita. Warga Muslim dan Kristen ikut mematikan lampu di depan rumahnya pada malam hari. Mereka juga menutup pintu rumah rapat-rapat, tidak membuat suara gaduh, menyetel televisi, radio, dan musik.

Tidak ada warga yang keluar rumah. Kalaupun ada urusan yang sangat mendesak, biasanya mereka mendorong kendaraan bermotornya ke luar jalan desa, tidak menyalakannya di depan rumah.

“Saat kami melakukan Catur Brata, sejak dulu, saudara kami yang beragama lain rela ikut menciptakan suasana sepi di dusun,” kata Gimanto.

Suasana dusun senyap, bahkan di siang hari. Petani yang non-Hindu juga ikut libur sehari dari aktivitas mereka di kebun sayur. Alih-alih bekerja, warga yang Muslim dan Kristen malah ikut bergabung dalam ronda bergilir selama sehari semalam.

Seperti pecalang di Bali, para warga berpatroli di rumah-rumah kosong milik umat Hindu untuk mengantisipasi pencurian barang dan ternak. Mereka juga menjaga akses jalan desa untuk mencegah orang dari luar masuk.

“Ini sudah menjadi kebiasaan kami. Warga non-Hindu tidak keluar rumah selama Nyepi, kecuali mereka yang mendapat giliran ronda,” ujar Citro Suwarno, tetua dusun.

Umat Hindu membersihkan pura di Desa Kemuning, Ngargoyoso, Karanganyar, untuk persiapan Hari Raya Nyepi. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Bagaimana dengan umat Muslim yang ingin menjalankan salat lima waktu di masjid? Mereka tetap pergi berjalan kaki ke langgar dan mushola di dekat rumah mereka tanpa bercakap-cakap di jalan.

Adzan tetap dikumandangkan seperti biasa, tetapi muadzin merendahkan suaranya dan tanpa menggunakan pengeras suara, sehingga suaranya hanya terdengar di dalam masjid saja, tanpa menggangu warga Hindu yang sedang di pura.

Warga Muslim yang terbiasa pergi ke masjid sudah hapal waktu salat sehingga tanpa mendengar adzan pun mereka tak akan ketinggalan salat berjamaah di masjid.

Menurut Slamet, seorang warga Muslim yang biasa ikut berpatroli saat Nyepi, partisipasi warga untuk menjaga desa dan menciptakan suasana senyap adalah bentuk penghormatan pada pemeluk Hindu. Ia percaya bahwa menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari ajaran agamanya.

“Di dusun ini, tidak perlu perintah dan istruksi, semua berjalan atas kesadaran warga. Karena ini dusun kami, siapa lagi yang menjaga kerukunan jika bukan kami sendiri,” kata Slamet.

Dua kali ‘lebaran’

Usai Ngembak Geni sebagai akhir dari ritual Catur Brata, warga Hindu melakukan Dharma Santi dengan bersilaturahmi dan mengunjungi rumah-rumah warga Muslim dan Kristen untuk menyampaikan rasa terima kasihnya karena telah menjaga rumah-rumah mereka, dan saling meminta maaf seperti tradisi Lebaran.

“Di sini ada dua ‘lebaran’, saat Idul Fitri warga Muslim mengunjungi kami, dan usai Nyepi kami ganti mengunjungi mereka, bermaaf-maafan,” kata Gimanto.

Sebaliknya, saat Ramadhan, bulan suci bagi pemeluk Islam, warga non-Muslim juga ikut menjaga kekhusukan ibadah puasa. Mereka tidak membawa makanan, atau makan dan minum di luar rumah, di ladang, dan di tempat terbuka di siang hari. Warga yang ronda malam juga ikut berkeliling membangunkan penduduk yang Muslim untuk sahur.

Cerita toleransi antar agama di dusun ini tak hanya dalam soal hari-hari besar agama, tetapi juga dalam hal pembangunan rumah ibadah. Tak ada “saling protes” atau “adu kuat” dengan kekerasan seperti di tempat lain di negeri ini.

Mereka justru patungan untuk mendirikan rumah ibadah. Warga non-Muslim ikut sukarela memberikan tenaga menukangi pembangunan masjid dan membantu bahan material. Begitu pula Pura Jonggol, berdiri dengan bantuan pasir, semen, dan batu dari warga non-Hindu.

“Kami menganggap masjid dan pura itu milik kami bersama, jadi dibangun dengan usaha bersama. Kalau ada yang rusak ya kita perbaiki bersama,” kata Gimanto.

“Hanya soal pengelolaannya saja yang diserahkan ke setiap pemeluknya.”

Menurut salah satu pengurus Parisade Hindu Dharma Indonesia (PDHI) Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Made Sabaryasa, dusun itu bisa menjadi contoh nyata kehidupan harmonis antar umat beragama.

Di Jlono dan Kemuning, kata Made, orang-orang menganggap perbedaan keyakinan bukan sebagai faktor pemecah belah kerukunan. Bahkan ada keluarga yang berbeda agama –orang tuanya Hindu dan anaknya Muslim– tinggal serumah tanpa perselisihan.

“Ini hal biasa di Kemuning, dan tidak ada konflik keluarga dan warga. Mereka punya kesadaran yang tinggi untuk hidup damai meski berbeda,” ujar Made. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!