Mampukah Bekasi menjadi kota yang lebih toleran?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mampukah Bekasi menjadi kota yang lebih toleran?
Pembangunan gereja masih menjadi salah satu sumber konflik di Bekasi

JAKARTA, Indonesia — Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan bahwa warga di wilayahnya semakin heterogen, sehingga masyarakat diimbau untuk mengedepankan sikap toleransi. 

“Komposisi warga semakin beragam, ditambah dengan perbedaan dalam hal kepercayaan, sikap-sikap intoleran sudah sewajarnya dikesampingkan. Sikap toleran atas berbagai perbedaan itu yang semestinya dikedepankan,” kata Rahmat, pada Rabu, 9 Maret.

Pernyataan ini disampaikan oleh Rahmat dalam rangka memperingati hari ulang tahun kota Bekasi ke-19 yang jatuh pada hari ini, Kamis, 10 Maret. 

Saat ini, kata Rahmat, Kota Bekasi dihuni sekitar 2,4 juta jiwa yang berlatar belakang multietnis, warga asal etnis Jawa mendominasi dengan total 33 persen.

Adapun suku Betawi, yang merupakan warga asli Kota Bekasi, hanya tersisa 28 persen, disusul urang Sunda sebanyak 18 persen.

Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu mengatakan, warga Bekasi sudah seharusnya hidup harmonis sesuai visi kota itu yang berkorelasi dengan nilai-nilai religiusitas. 

“Antar warga yang memiliki perbedaan latar belakang juga kepercayaan, masing-masing pihak jangan sampai memunculkan hal-hal yang bisa memantik perselisihan,” katanya.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk menghindari sikap anarkis yang berujung pada pecahnya konflik horisontal dan menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai selama ini.

Toleransi beragama?

10 kota paling intoleran di Indonesia menurut survei Setara Institute.

Selain suku, Bekasi juga mencatatkan penduduk dengan berbagai latar belakang agama. Sayangnya kedua kepala daerah tersebut tidak mengungkit ihwal kemajemukan umat beragama di Bekasi. 

Pelaksanaan ibadah dan perayaan hari keagamaan di kota ini sebagian dapat berjalan dengan baik. Seperti perayaan Cap Go Meh oleh umat Konghucu pada beberapa waktu lalu. 

Perayaan hari raya Nyepi umat Hindu pada Rabu kemarin juga berlangsung khidmat. 

Namun dari catatan Rappler, masih ada beberapa peristiwa konflik berlatarbelakang keagamaan terjadi di Bekasi. Beberapa peristiwa tersebut antara lain masih menunjukkan gesekan antara umat mayoritas dan minoritas di kota itu, terutama dalam hal pembangunan tempat ibadah. 

Baru-baru ini saja, pada Senin, 7 Maret. lebih dari 1.000 orang dari beberapa organisasi Islam melakukan demonstrasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi Utara. 

Dalam orasi mereka, para pendemo mendesak Wali Kota untuk mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja yang diterbitkan Pemerintah Daerah pada 28 Juli 2015 lalu. Tapi di sisi lain para pendemo mengatakan IMB Santa Clara bodong karena telah melakukan pemalsuan data.

Eman Dapa Loka, salah satu anggota Dewan Paroki Harian Gereja Santa Clara yang menyaksikan demo tersebut, mengatakan beberapa pendemo mencabut dan merusak plang pembangunan gereja dan “menyegel” pintu gerbang dengan cat pilox. 

Demo pada Senin kemarin menjadi demo terbesar pertama di tempat lokasi sejak IMB diterbitkan tahun lalu.

Untuk mendapatkan IMB, pihak gereja harus meminta persetujuan dari umat Muslim di sekitar lokasi. Menurut Eman, pihak gereja sudah memenuhi persyaratan tersebut.

Saat ini, sekitar 7.000 umat Katolik tinggal di Paroki Santa Clara, Kecamatan Bekasi Utara, dan setiap Minggu harus mengadakan ibadah di ruko dengan daya tampung 300 orang.

Peristiwa protes pendirian gereja ini bukan yang pertama. Setara Institute pada akhir tahun lalu menempatkan Bekasi sebagai kota nomor dua dalam peringkat intoleransi di seluruh Indonesia, di bawah Kota Bogor.

Catatan yang lain juga menunjukkan gejala yang sama

BEKASI. Sejumlah kelompok masyarakat menolak pendirian Gereja Santa Clara Bekasi. Foto koleksi Program Peduli Gereja Katolik

Jemaat Gereja Katolik St Stanislaus Kostka Kranggan, Kota Bekasi, juga gagal mendapatkan IMB setelah Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung membatalkan surat keputusan Wali Kota Bekasi tentang izin mendirikan bangunan rumah ibadah tersebut.

Dalam amar putusan, majelis menyatakan bahwa dukungan warga berupa pemberian tanda tangan persetujuan atas pendirian Gereja St Stanislaus Kostka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

“Dukungan tersebut pun sudah diverifikasi tanpa iming-iming duit,” kata hakim anggota Alan Bashir. Panitia Pembangunan Gereja langsung membantah. Mereka menyatakan tidak pernah ada iming-iming itu.

Menurut Anda, terutama yang bermukim di Bekasi, mampukah kota ini mewujudkan toleransi seperti yang dicita-citakan kepala daerahnya? —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!