Hadits LGBT: Ikut Tifatul atau Muslim-Bukhari?

Aan Anshori

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hadits LGBT: Ikut Tifatul atau Muslim-Bukhari?
Hadits Tifatul tidak masuk kodifikasi mahaguru periwayatan hadits: Bukhari dan Muslim

Masih ingat twit-nya Tiffie, panggilan akrab netizen kepada mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, terkait LGBT beberapa waktu lalu? Ia mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal (w. 855-56 M). 

Isinya demikian, “Nabi saw bersabda: Siapa yang kalian dapati mengerjakan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah. 

Cuitan itu sontak membuat geger Twitterland. Para pendukung kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) langsung menuding Tiffie tengah menyebar ujaran kebencian. Namun tentu saja tidak bagi kelompok kontra LGBT. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini akhirnya menghapus cuitan bermasalah tersebut sembari membagikan artikel bernada sama. 

Sebagai sebuah justifikasi, hadits itu memang dahsyat. Dengan meminjam “tangan Nabi”, Tiffie menyatakan pesannya secara eksplisit dan vulgar; ajakan membunuh siapa saja yang dianggap meniru praktik umat Luth. Perintah ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh mengingat begitu kuatnya posisi hadits sebagai sumber otoritas kedua setelah Al-Qur’an bagi umat Islam.  

Sayangnya, saya tidak menemukan ada yang mencoba mengkritisi posisi hadits tersebut. Ketiadaan ini, menurut saya, menimbulkan kesan afirmasi kebenarannya secara tidak langsung.

Sekilas, saat membaca twit ini, saya berpikir, “Jika ingin menghantam telak kelompok LGBT kenapa Tiffie mengambil dari Imam Ahmad? Kenapa bukan dari Bukhari (w. 870 M) atau Muslim (w. 875 M), yang dianggap punya karya paling otoritatif dalam dunia periwayatan hadits di kalangan Sunni?” 

Mengingat “perintah bunuh” merupakan upaya sangat serius karena menyangkut penghilangan nyawa, maka saya berpandangan harusnya argumentasi tekstual ini juga terekam dalam kitab-kitab yang dianggap punya status beyond reasonable doubt, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Apalagi, menurut Bukhari dalam Kitab Diyat, Islam hanya memperbolehkan seorang Muslim dibunuh dengan tiga alasan; melakukan pembunuhan, keluar dari Islam (murtad), dan perzinahan (heteroseksual). Bukan karena melakukan perbuatan umat Luth. 

Pelacakan saya menunjukkan hadits yang dicuit anggota DPR ini setidaknya terekam dalam 4 kitab kompilasi hadits; Musnad milik Ahmad, Sunan Ibnu Maja (w. 887 M), Sunan Abu Dawud (w. 889 M), dan Jami’ al-Tirmidhi (w. 892/93). 

Tifatul Sembiring dianggap menyebarkan 'hatespeech' lewat Twitternya. Foto dari Twitter/@tifsembiring

Dari sini, saya mendapat konfirmasi bahwa ternyata hadits Tiffie memang ini tidak masuk dalam kodifikasi milik dua mahaguru periwayatan hadits: Bukhari dan Muslim. Bukhari dan muridnya, Muslim, dipercaya cukup selektif dalam mengoleksi hadits.

Kehati-hatian mereka sangat mungkin berangkat tidak hanya dari kenyataan banyaknya hadits asli tapi palsu, namun juga tidak sedikit hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap tidak memiliki kredibilitas.

Sepanjang yang saya tahu, tidak sembarang orang bisa dipercaya sebagai perawi (transmitter) hadits. Dia harus memenuhi kualifikasi berbagai aspek, misalnya kesalehan, integritas moral, daya ingat, kejujuran, maupun kedewasaan.

Bukhari-Muslim dikenal tanpa kompromi. Mereka tidak segan mencoret hadits yang perawinya bermasalah. Ketegasan ini agaknya yang membuat karya keduanya—terutama Bukhari mendapat tempat tertinggi dalam jagad para kolektor hadits. Konon karya keduanya, Shahihayni, dianggap sebagai kitab paling benar setelah Al-Qur’an (ashahhu al-kutub ba’da Al-Qur’an).

Berangkat dari hal ini, saya menduga ada yang “tidak beres” dengan hadits Tiffie. Rasa penasaran mendorong saya menelusuri satu per satu rantai transmisi hadits (sanad). Abu Dawud menyatakan hadits ini berstatus marfu’, yakni hadits yang memang disandar-akhirkan pada Nabi —dianggap pernah disampaikan Rasulullah.

Kenyataan ini malah membuat saya makin penasaran; mengapa sebuah hadits berstatus marfu’ dan terkodifikasi dalam 4 koleksi hadits ulung namun tidak lolos “screening” dua mahadewa Bukhari-Muslim?

Saya akhirnya bisa menduga kenapa hal ini bisa terjadi. Jika ditelusuri ke atas, sumber keempat riwayat atas hadits ini (Ahmad, Dawud, Tirmidhi, dan Ibn Maja) akan bertemu pada sosok ‘Ikrimah (w. 725 M). Ikrimah mengaku memperolehnya dari Ibn Abbas (w. 632 M). Dari sini —menurut Ikrimah— Ibn Abbas mendengar dari Rasulullah. Tidak ditemukan orang lain —selain ‘Ikrimah— yang menceritakan hadits tersebut (ahad). 

Oleh karenanya, bisa dikatakan derajat hadits ini berbeda jika seandainya ada banyak orang yang menceritakannya (mutawattir). Situasi kesendirian ini sebangun dengan jargon hukum pidana ‘unus testis nullus testis‘, satu saksi bukan saksi. Siapa yang bisa menjamin hadits ‘Ikrimah yang dikutip Tiffie ini benar adanya? Tidakkah terlalu ringkih jika nasib ribuan orang yang berbeda orientasi seksual akan ditentukan pada hadits dengan derajat ahad seperti ini? 

Pada aspek lain, menjadi menarik menelusuri sosok ‘Ikrimah. Bagi para sarjana hadits, dia bukanlah individu yang sepi dari kontroversi. Schacht dalam Encyclopedia of Islam, memapar ‘Ikrimah merupakan pribadi terpandang dalam dunia hadits, terutama karena ia dianggap pengampu utama hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas, sepupu Nabi. 

Namun demikian, ia juga adalah eksponen penting propagandis faham Khawarij. Dogma sekte ini terkenal sangat radikal dan fanatik, hingga mendorong orang seperti Abd al-Muljam al-Murad nekat menghabisi Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi, karena motif politik.

Ibnu Sa’d (w. 845 M) dalam al-Tabaqat al-Kubra menyanjung ‘Ikrimah, budak Ibn Abbas, disertai kritik tajam menyangkut kredibilitas pembicaraannya. ‘Ikrimah —sebagaimana tercatat dalam Mukhtashar al-Kamil karya al-Maqrizi (w. 1442 M)— pernah dituduh berbohong oleh Fitr ibn Khalifa ketika menjelaskan aspek tertentu dari bersuci dengan mengatasnamakan Ibn ‘Abbas. 

Al Jazari (w. 1429 M) dalam Ghayat al-Nihaya —sebagaimana dikutip Kugle (2010)— menyatakan beberapa orang seperti ‘Ulba ibn Ahmad, dan Abu ‘Amr ibn al-Alba menolak ‘Ikrimah. Sedangkan Bukhari dan Muslim, mereka berdua hanya akan mengutip ‘Ikrimah sepanjang perkataannya dikuatkan orang lain. Mujahid dan Ibn Sirrin bahkan menganggapnya sebagai pembohong. 

Kontroversi ‘Ikrimah memang memancing komentar dari banyak pihak, termasuk Sa’id ibn al-Musayyab (w. 715 M), ahli hukum Madinah. Sebagaimana pernah dikutip Kugle (2010) dari al-Masnu’ fi Ma’rifat al hadith al Mawdu’ karya al-Harawi (w. 1605), Said menyatakan,”Beware that you never lie what about what I say as ‘Ikrimah has lied about the saying of ‘Ibn Abbas”. Bahkan dalam kitab itu juga disebutkan, Ibn Sirrin pernah mengucapkan hal yang tidak pantas kepada ‘Ikrimah. Saya sendiri merasa malu untuk menyampaikannya di sini.

Hipotesis saya, Bukhari-Muslim tidak mengakomodasi hadits ‘Ikrimah yang dicuit Tiffie karena dua hal; sosoknya yang masih diselimuti kontroversi, dan ketiadaan periwayat hadits kredibel yang hadir dan menyaksikan Ibn Abbas menyampaikan hadits tersebut kepada ‘Ikrimah.

Adalah hak setiap orang menggunakan klaim apapun untuk menjustifikasi pendapatnya, seperti halnya Tiffie. Terhadap hadits dari Ikrima tersebut, saya sangat kagum atas kehati-hatian Bukhari dan juga Muslim —dua orang yang kredibilitasnya dianggap tanpa cacat oleh kalangan Sunni. Jika keduanya enggan menerima hadits tersebut dengan alasan yang kokoh, siapa saya yang berani lancang hendak melampaui keduanya. 

Jadi, terserah Anda, mau ikut Tiffie atau Muslim-Bukhari? —Rappler.com

Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur. Pernah nyantri di Tambakberas Jombang dan Kedungmaling Mojokerto.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!