Pro dan kontra penggunaan transportasi aplikasi online

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pro dan kontra penggunaan transportasi aplikasi online
Pengemudi taksi tolak keberadaan UBER dan GrabTaxi yang dinilai 'menghancurkan sopir kecil'

JAKARTA, Indonesia — (UPDATED) Ribuan pengendara angkutan darat yang terdiri dari sopir taksi, metromini, bajaj, dan angkot berunjuk rasa pada Senin, 14 Maret di dekat Istana Negara. Mereka menuntut agar transportasi berbasis aplikasi online segera ditutup.

Salah satu perwakilan dari Paguyuban Pengendara Angkutan Darat (PPAD), Suwardi mengatakan ada sekitar 15 ribu demonstran yang ikut turun ke jalan.

“Kami menuntut agar aplikasi online tersebut segera ditutup, karena sudah menyengsarakan pengemudi angkutan umum resmi,” ujar Suwardi yang merupakan sopir taksi Blue Bird.

Dari armada taksi tempatnya bekerja, masing-masing pull mengirimkan 40 orang untuk berdemonstrasi. Belum lagi dari armada taksi lainnya. Semula mereka berkumpul dan berorasi di depan Balai Kota serta menuntut untuk bertemu Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahja Purnama. Namun, perwakilan hanya bisa bertemu dengan Kepala Dinas Perhubungan.

Dari sana, mereka berjalan kaki menuju ke area Monas di dekat Istana Negara.

Suwardi menjelaskan sejak transportasi umum berbasis aplikasi online beroperasi, penghasilan mereka menurun drastis. Salah satu rekannya yang bekerja di armada taksi Express hanya bisa menyetor sekitar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Padahal, sebelumnya, rekannya itu bisa menyetor hingga Rp300 ribu.

“Saya sendiri hanya bisa setor ke perusahaan. Komisi untuk dibawa pulang tidak ada,” keluh Suwardi.

Akibat berkurangnya pemasukan tiap bulan, banyak rekannya yang tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membayar kontrakan. Bahkan, ada istri yang meminta cerai. Dia mengatakan kantor pusat Blue Bird merestui niat mereka berdemonstrasi.

Baginya lebih baik dia dan sopir taksi lainnya berdemonstrasi hari ini, ketimbang tidak ada kejelasan di masa depan mengenai persaingan yang tidak sehat tersebut.

“Kami bukannya mempermasalahkan kalah saing dengan transportasi berbasis online. Selama mereka menaati aturan-aturan yang sudah ada, membayar pajak, jika mereka taksi maka mereka memasang plat kuning, ada argo dan tera, kami tidak mempermasalahkan,” papar Suwardi.

Sementara, setiap kali mereka mengaku rugi karena harus mengeluarkan biaya untuk mengurus 

semua persyaratan agar menjadi transportasi umum yang legal.

“Sementara, pengendara grab dan Uber kan menggunakan mobil pribadi. Bahkan, ketika kami perhatikan dari platnya tidak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga Tangerang, Tegal, Semarang dan Cirebon,” kata dia.

Mewakili rekan-rekannya, Suwardi mengaku kecewa terhadap sikap pemerintah yang malah melanggar aturan yang mereka buat sendiri.

Demonstrasi anarkis

Dalam demonstrasi tersebut, Rappler menemukan satu kendaraan dengan jenis Toyota Avanza berwarna hitam yang dirusak oleh para demonstran. Menurut petugas polisi yang Rappler temui, mobil tersebut dirusak oleh para demonstran merupakan salah satu armada Grab yang tertangkap basah tengah beroperasi di depan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

Lalu, bagaimana respons dari perwakilan PPAD soal sikap anarkis ini? Suwardi mengatakan tidak bisa mencegah hal itu.

“Karena di sini kan ada beberapa pihak yang ikut berdemonstrasi, sehingga tidak bisa menjamin 100 persen. Kalau kami dari sopir taksi pasti tertib. Walau ada suara sumbang dari kami, tetapi itu kan hanya sebatas suara,” papar Suwardi.

Buka lapangan pekerjaan

Sementara, salah satu pengemudi transportasi berbasis online, Go-Jek, Dadang Trisnandi mengatakan tidak mempermasalahkan jika para sopir kendaraan umum konvensional ingin berdemonstrasi. Dia hanya berharap demonstrasi tidak berlangsung anarkis.

“Saya memang menduga mereka berdemonstrasi karena mengeluh mengenai pendapatannya yang banyak berkurang setelah ada kehadiran Go-Jek dan Grab. Tapi, itu semua kini ada di tangan pemerintah,” ujar Dadang.

Sebab, dia melanjutkan yang membuat aturan dan hukum adalah pemerintah. Dia turut menyebut justru dengan kehadiran Go-jek dan perusahaan startup sejenis membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan.

“Saya kembalikan kepada masyarakat selaku pengguna, apakah mereka ingin Go-Jek ditutup atau tidak. Pemerintah atau pejabat yang berwenang terhadap masalah ini juga perlu membuat kajian apakah transportasi berbasis online memberikan banyak manfaat atau malah merugikan,” kata dia.

Tak bayar pajak?

Guberur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang ditemui pada Selasa, 15 Maret meminta pemilik atau pengelola layanan transportasi berbasis online untuk memenuhi kewajiban membayar pajak. Berdasarkan aturan, setiap pengusaha angkutan di Jakarta wajib membayar pajak yang nilainya sekitar 25 hingga 28 persen dari total pendapatannya setiap tahun. Pengusaha transportasi berbasis online juga tak luput dari pajak itu.

“Transportasi online itu pasti lebih murah, karena kan tidak harus membayar pajak, bayar asuransi dan lain-lain. Sedangkan, angkutan umum konvensional dan taksi harus memenuhi kewajiban untuk membayar pajak tersebut,” ujar mantan Bupati Bangka Belitung itu.

Sementara, salah satu pengemudi Grab Car bernama Bashari menepis jika pihaknya abai membayar pajak.

“Bahkan nominal yang dipungut perusahaan itu berkisar Rp170 ribu-Rp180 ribu setiap minggunya. Itu dari satu pengemudi,” ujar Bashari ketika ditemui Rappler pada Senin, 14 Maret.

Dia pun berkisah saat ini menjadi pengemudi Grab Car semakin kompetitif, karena jumlahnya yang semakin banyak

“Sekarang, saya harus bekerja selama 15 jam sehari untuk bisa mencapai target penghasilan Rp3 juta per minggu. Jadi, kami turut merasakan kesulitan,” kata dia.

Harus lebih kompetitif

Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Dharmaningtyas, berpendapat senada dengan Ahok. Menurutnya, walaupun mengaku sebagai perusahaan teknologi, tetapi baik Grab dan Uber memberikan jasa layanan transportasi bagi publik. Di saat taksi-taksi reguler dikenai pajak, kir (pengujian kendaraan bermotor), dan dituntut memiliki pull.

“Sementara, angkutan seperti Grab dan Uber kan tidak. Masalahnya kan di situ. Menguntungkan konsumen, tetapi bagi operator taksi pada umumnya merugikan. Apalagi bagi taksi reguler,” ujar Dharmaningtyas yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin malam, 14 Maret.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah? Dharmaningtyas menyarankan agar Presiden Joko Widodo mengingatkan kedua perusahaan itu agar tetap tunduk kepada UU No 22 tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

“Tetapi, jika Presiden ingin merevisi UU tersebut harus hati-hati. Sebab, penggunaan angkutan berbasis aplikasi online ini hanya ada di kota-kota besar. Sementara, UU kan berlaku secara nasional,” kata dia.

Dia menyarankan sebaiknya aplikasi itu digunakan oleh operator taksi yang legal.

“Tetapi, taksi konvensional juga harus berbenah diri, menurunkan tarif agar lebih bisa kompetitif. Alasan publik menggunakan taksi Uber dan Grab kan karena tarifnya lebih murah. Pengelola taksi reguler harus mencari jawaban bagaimana bisa menerapkan tarif yang kompetitif,” papar dia. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!