Indonesia

Yang tertinggal di Kalijodo

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Yang tertinggal di Kalijodo

ANTARA FOTO

65 kepala keluarga yang sebelumnya tinggal di Kalijodo mengadukan nasibnya ke LBH karena mengaku tak pernah diajak dialog oleh Pemprov DKI

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

JAKARTA, Indonesia — Leonard Eko Wahyu menenteng sejumlah dokumen seukuran tas. Ia bersama seorang perempuan paruh baya berkerudung hitam panjang dan seorang anak perempuan berusia tak lebih dari 10 tahun. 

Sudah beberapa hari ini pria berusia 48 tahun itu mondar-mandir naik-turun tangga kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, bersama beberapa warga Kalijodo lainnya. Ada sekitar 65 kepala keluarga yang bersamanya, dari total 1.027 KK yang terkena gusur.

Mereka mengadu kepada LBH perihal penggusuran sepihak terhadap warga Kalijodo yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 29 Februari lalu. 

Wacana penggusuran Kalijodo berkembang ketika terjadi kecelakaan di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, yang melibatkan mobil Kijang Fortuner dan sebuah sepeda motor, pada 8 Februari.

Sebelum terjadi kecelakaan, pengemudi mobil, Riki Agung Prasetyo, baru saja menghabiskan malam di lokasi hiburan malam Kalijodo, di mana ia bersama sembilan kawannya memesan 10 botol bir. Empat orang tewas dalam kejadian itu.

Pada 10 Februari, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menyatakan akan menggusur pemukiman liar di Kalijodo.

“Tempat itu lebih banyak mudarat daripada manfaatnya,” kata Ahok saat itu. Ia juga mengatakan akan mengubah kawasan Kalijodo menjadi ruang terbuka hijau.

Namun warga mengklaim tak pernah ada musyawarah atau dialog yang diadakan oleh staf kecamatan, kelurahan, atau bahkan Pemprov DKI Jakarta hingga penggusuran dilakukan.

Eko mengaku baru mendapat penjelasan tentang pembongkaran rumahnya dan rencana penggusuran kawasan lokalisasi itu pada 14 Februari. 

“Saya menyebutnya sebagai Valentine berdarah,” katanya pada Rappler, Sabtu, 12 Maret. 

Pada hari itu, ia melihat Camat Penjaringan Abdul Khalid sedang menempel pengumuman di tembok gereja, dikawal ratusan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan polisi dengan senapan laras panjang. 

Abdul Khalid mengatakan kepada media bahwa ia hanya mengikuti instruksi Ahok untuk menyosialisasikan hingga memberikan surat peringatan di lokasi prostitusi.

Setidaknya 200 personel gabungan Satpol PP dan polisi memenuhi jalan-jalan di RW 05 di Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, tersebut. 

Warga Kalijodo menangis saat rumah huniannya dibongkar oleh petugas pada 29 Februari 2016. Foto oleh Muhammad Adimaja/Antara  

Mengapa surat pemberitahuan itu ditempel di tembok gereja? 

“Enggak tahu juga, itu kan tempel di temboknya doang,” kata Eko yang mengaku sudah tinggal di kawasan Kalijodo sejak 20 tahun lalu. 

Meski penempelan surat pemberitahuan ini dilakukan secara massif oleh ratusan personel, Eko mengaku Abdul Khalid terkesan menghindari komunikasi dengan warga. 

“Camat enggak menyerahkan ke warga, hanya datang ke halaman gereja pagi-pagi saat enggak ada orangnya, lalu menempel surat pemberitahuan,” ujarnya. 

Abdul Khalid datang kembali pada 18 Februari. Lagi-lagi, kata Eko, Pak Camat tak berkomunikasi dengan warga. 

Hingga pada Minggu, 28 Februari, sehari sebelum Hari-H, Abdul Khalid kembali datang. Saat Eko sedang duduk sambil merokok di beranda rumahnya, Pak Camat bertanya kepadanya.

“Mas, belum pindah?” tanya Abdul Khalid.

Ngapain pindah, Pak? Kan saya ada sertifikat (tanah),” kata Eko. 

Eko adalah anak Pardono, seorang penjaga pintu air di Jakarta Barat. Ia mengaku mendapat warisan sertifikat tanah itu dari ayahnya. 

“Enggak, ini kan ada perintah bongkar,” kata Abdul Khalid.

Itulah satu-satunya komunikasi yang terjalin antara Eko dan Abdul Khalid. Selebihnya, Eko melihat pasukan semakin lama semakin banyak. Total, menurut informasi, ada 6.000 personel diterjunkan oleh Polda Metro Jaya untuk mengamankan penggusuran. 

Dengan semakin bertambahnya personel tersebut, Eko bertanya-tanya dalam hatinya, “Ini operasi atau pendudukan, sih?” 

Padahal, menurut Eko, jika memang berniat untuk menggusur, seharusnya Abdul Khalid selaku camat menunjukkan itikad baik untuk berdialog dengan warga. “Makan singkong, ngobrol bareng sama warga, pasti ketemu solusinya,” kata Eko. 

Kini, ia bersama 65 kepala keluarga lainnya memilih untuk tinggal sementara di rumah kerabat mereka. Ia enggan menempati rumah susun Marunda yang sudah disiapkan oleh Pemprov DKI untuk warga Kalijodo.

Ia berdalih, ini adalah sebuah perlawanan terhadap sikap Pemprov DKI yang tak pernah mengajak mereka duduk bersama.

LBH Jakarta: Tak ada dialog dengan warga 

Tigor Gempita Hutapea, salah seorang pengacara LBH Jakarta, mengatakan bahwa ia pertama kali mendampingi warga Kalijodo sejak 2013, ketika Ahok masih menjabat sebagai wakil gubernur.

“Waktu itu tahun 2013, Jokowi (gubernur DKI saat itu) dan Ahok rencananya mau ke sana melakukan penertiban, tapi enggak jadi. Saya sempat turun ke sana untuk mengetahui kondisi masyarakat,” kata Tigor kepada Rappler. 

Tapi karena urung, Tigor hanya memantau dari jauh. 

Hingga pada 13 Februari 2016, setelah mendengar rencana penggusuran, ia kembali turun. Karena waktu peringatan sangat dekat dengan waktu penggusuran, Tigor mengaku hanya sempat mendampingi warga dalam waktu singkat. 

Ia juga baru bisa mengkoordinasikan warga pada 26 Februari, atau tiga hari sebelum penggusuran dilakukan. 

“Saya menemukan 12 fakta di lapangan dan saya konfirmasikan pada warga, ternyata benar,” ungkapnya.

Salah satu poin temuannya antara lain:  

  1. Pemerintah tidak pernah melakukan upaya musyawarah kepada warga, tidak pernah menjelaskan tujuan dari penggusuran, dan tidak pernah memberikan informasi yang transparan tentang riwayat lahan dan kegunaan lahan pasca gusuran.
  2. Pemerintah tidak melakukan upaya pendataan secara komprehensif kepada seluruh warga untuk mendapat jumlah kepala keluarga, jumlah balita, anak-anak, remaja, lansia, dan perempuan.
  3. Pemberian surat peringatan penggusuran dilakukan dengan cara intimidasi dengan melibatkan ratusan gabungan aparat bersenjata (TNI, Polri, dan Satpol PP) yang berkeliling di pemukiman warga.
  4. Pemerintah DKI melakukan tindakan intimidasi melalui aparat kepolisian yang dilengkapi dengan senjata, dengan cara mendirikan pos penggusuran yang yang didirikan sejak 20 Februari dan beroperasi selama 24 jam.
  5. Terjadi tindakan intimidasi aparat yang mendatangi rumah-rumah warga dan menanyakan kapan akan melakukan pengosongan dan pembongkaran rumah.
  6. Pemberian solusi sepihak dengan cara relokasi ke rumah susun sewa adalah tindakan pengusiran tanpa mendengar atau memerhatikan kepentingan warga.
  7. Tindakan warga untuk pindah ke rumah susun dikarenakan atas dasar keterpaksaan di tengah intimidasi yang dilakukan. 

Menurut Tigor, berdasarkan konvenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2005 dalam melakukan penggusuran, ada berbagai hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah. 

Apa saja tugas pemerintah? “Harusnya ada musyawarah,” kata Tigor. Hal ini yang, menurut Tigor, membedakan perlakuan Pemprov DKI kepada warga Kalijodo dan warga Kampung Pulo dan Bukit Duri — yang juga digusur tahun lalu. 

Tigor juga mengatakan, tidak ada pendataan kompherensif yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap pekerja seks di Kalijodo. “Pekerja seks juga tidak didata,” katanya. 

Masalah lainnya menyangkut nasib anak-anak di Kalijodo yang ingin melanjutkan sekolah. Hingga saat ini, belum ada kepastian. 

“Yang terjadi saat ini adalah masyarakat trauma ketakutan setelah pergi dari lokasi. Dan teman-teman, khususnya pekerja seks, pergi entah ke mana,” tuturnya. 

“Justru penggusuran ini menimbulkan masalah lainnya,” kata Tigor.

Kemensos: Pemprov DKI belum serahkan data pekerja seks  

Petugas Pemprov DKI Jakarta menempelkan Surat Peringatan 1 (SP1) pada dinding salah satu kafe di Kalijodo, pada 18 Februari 2016. Foto oleh Reno Esnir/Antara 

Rappler kemudian melacak ke mana pekerja seks yang dijanjikan oleh Pemprov akan diberi pelatihan pasca penggusuran.

Melalui situs resminya, Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengklaim telah mendata sekitar 200 orang pekerja seks yang tak menetap dan 195 orang pekerja seks yang menetap di Kaljodo.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, Chaidir, berjanji akan membantu mereka yang ingin mengikuti pembinaan di panti dengan mendaftar di Posko Kalijodo. 

“Intinya, kami bersiap di Kalijodo jika ada hal-hal yang tidak diinginkan. Kami berupaya untuk membantu dengan melayani para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ada di Kalijodo,” kata Chaidir.

Benarkah demikian? Direktur Rehabilitasi Tuna Sosial dan Perdagangan Kementerian Sosial Sonny Manalu saat di temui Rappler di kantornya pekan lalu membantah telah menerima data dari Dinsos Pemprov DKI. 

“Kami tidak tahu pekerja seksnya ke mana. Kami saja tidak mendapat data dari Pemprov,” kata Sonny.

Padahal Kalijodo masuk dalam 100 lokalisasi yang telah dan akan ditertibkan oleh pemerintah pusat di seluruh Indonesia hingga 2019. Pemerintah sudah menganggarkan Rp 250 miliar secara total untuk pelatihan dan pesangon bagi pekerja seks yang terkena imbas relokasi.

Sonny mengakui bahwa dalam kasus Kalijodo, Kementerian Sosial, sebagai penggagas program penutupan lokalisasi, merasa kecolongan. 

Pemprov DKI bahkan disebut tak mengikuti tujuh langkah penutupan lokalisasi yang disusun oleh Kemensos sebagai panduan agar tidak melanggar hak asasi manusia. 

Petugas Kecamatan Tambora melakukan pendataan warga di kawasan Kalijodo, pada 22 Februari 2016. Foto oleh Muhammad Adimaja/Antara

Apa saja tujuh langkah itu? 

Pertama, koordinasi dengan kepala daerah setempat. “Kementerian Sosial tugasnya tidak menutup lokalisasi, tapi mendukung penutupan. Yang berhak menutup lokalisasi yang punya daerah,” kata Sonny.

Keputusan untuk menutup lokalisasi sepenuhnya adalah political will dari pemerintah daerah setempat.

Kedua, menyiapkan regulasi atau peraturan daerah, peraturan gubernur, atau instruksi gubernur yang mendukung penutupan lokalisasi.

Ketiga, sosialisasi pada jajaran pemerintah. “Harus satu pemahaman dulu, Satuan Polisi Pamong Praja, Kepala Polisi Resor, Komandan Kodim,” kata Sonny.

Bahkan hingga tingkat camat, lurah, kepala Rukun Warga dan Tetangga (RT/RW). “Baru ke masyarakat dan tokoh masyarakat, termasuk perguruan tinggi dan dunia usaha,” ujarnya.

Keempat, sosialiasi ke lokalisasi.

Kelima, menyiapkan deklarasi yang melibatkan pemerintah daerah, polisi, hingga komandan kodim setempat.

Keenam, deklarasi. Tahapan ini biasanya dihadiri oleh setingkat menteri, pihak kepolisian, hingga tokoh masyarakat.

Ketujuh, pemulangan atau penutupan. “Di situlah kami turunnya,” kata Sonny.

(Baca selengkapnya di sini

Menurut Sonny, penutupan lokalisasi di Kalijodo seharusnya mencontoh Jayapura. “Di Jayapura, bahkan penutupan itu dibikin delapan tahapan. Salah satunya adalah riset perguruan tinggi negeri,” katanya. 

Suatu hal yang mustahil dilakukan jika jarak waktu dari pemberitahuan hingga penggusuran hanya kurang lebih dua minggu. 

Jangan sampai, kata Sonny, penutupan lokalisasi hanya dinilai berhasil dari luar tapi malah menyisakan masalah lain di kemudian hari. Misalnya, kemana kah perginya para pekerja seks yang pernah tinggal di Kalijodo?

Kini mereka tak terdata dan bisa saja tersebar ke daerah prostitusi lain, seperti Dadap, Tangerang, yang notabene juga akan terkena penggusuran dan sudah masuk dalam daftar lokalisasi yang akan ditertibakan oleh Kemensos.

Warga mengais sisa-sisa perabotan di antara bangunan yang dirobohkan di kawasan Kalijodo, pada 1 Maret 2016. Foto oleh Yudhi Mahatma/Antara   

Ahok persilakan warga menggugat 

Meski sudah sekitar dua pekan sejak penggusuran, rasa pahit masih tersisa bagi sebagian warga. 

Apa tanggapan Ahok terkait keluhan warganya? Rappler menanyakan hal ini kepada orang nomor satu di DKI Jakarta.

Menurut Ahok, ia mempersilakan warga Kalijodo yang akan menggugat Pemprov DKI Jakarta melalui LBH Jakarta. 

“Enggak apa-apa,” katanya kepada Rappler di Balai Kota, Senin, 14 Maret, atau dua pekan pasca penggusuran.

Namun ia tak menjelaskan mengapa Pemprov DKI tak mengundang warga untuk musyawarah sebelum eksekusi.

Sedangkan perihal pendataan pekerja seks yang tak dilakukan oleh Dinas Sosial, Ahok juga mengaku tidak tahu. 

“Mereka enggak daftar. Pendataan memang enggak ada, enggak tahu saya” katanya.

Dengan tak adanya data pekerja seks tersebut, keputusan Pemprov DKI menggusur Kalijodo pun kembali menjadi tanya tanya. Apakah penggusuran Kalijodo atas dalih tanah negara atau ingin mengorganisir kembali daerah lokalisasi?

“Sebenarnya penertiban Kalijodo itu merupakan upaya kami mengamankan aset negara. Karena kawasan itu berdiri di atas lahan milik negara,” kata Ahok kepada media beberapa waktu lalu.

Bahkan meski warga memiliki sertifikat hak kepemilikan tanah, Ahok akan tetap menggusur. “Saya kasih tahu ya, kalau ditetapkan jalur hijau pun, kalau kamu ada surat sertifikat, tetap kami gusur, kok. Ini sudah ada undang-undangnya,” kata Ahok

Mengenai hal ini Tigor, pengacara LBH Jakarta, kembali mempertanyakan keputusan Ahok. 

“Kalau alasannya karena tanah negara, kenapa sikap dia seperti ini pada warga Kalijodo? Beda dengan Kampung Pulo dan Bukit Duri? Di Bukit Duri mereka diundang musyawarah, di Kalijodo tidak ada sama sekali,” kata Tigor.

Kalijodo sudah rata dengan tanah. Warganya tak lagi tinggal di lokasi bekas lokalisasi itu. Namun masih ada sejumlah tanda tanya tersisa yang belum bisa dijawab baik oleh Pemprov DKI maupun Kementerian Sosial. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!