WhatsApp, LINE, Skype harus punya badan usaha tetap di Indonesia?

Elfa Putri Setyanti

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

WhatsApp, LINE, Skype harus punya badan usaha tetap di Indonesia?
Dianggap bahaya laten bagi operator, Kemkominfo rencananya akan gulirkan regulasi bagi layanan OTT global

Meski perkembangan teknologi di Indonesia terus meroket, regulasi yang digulirkan justru cenderung menekan sektor tersebut. 

Salah satu yang sedang menjadi diskusi akhir-akhir adalah rencana Kementerian Komunikasi dan Informatikan mengeluarkan peraturan menteri terkait konten over the top (OTT) pada akhir bulan ini.

Dalam aturan tersebut pemerintah akan mewajibkan penyedia konten OTT asing untuk mendirikan permanent establishment atau badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. BUT tersebut bisa berupa pendirian perusahaan, patungan dengan perusahaan lokal, maupun kerja sama dengan operator.

Pendirian BUT akan membuat layanan OTT global di Indonesia memiliki kejelasan identitas dan kepastian hukum, sehingga dapat memenuhi hak dan kewajiban perusahaan. Adanya badan hukum bagi layanan OTT global akan membuat pelanggan maupun pekerjanya dapat secara mudah berhubungan dan terlindungi dari perusahaan tersebut.

Menurut Menkominfo Rudiantara, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menginstruksikan bahwa sektor teknologi dan informasi dimasukkan dalam program izin usaha negara yang dipimpin oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam program ini, layanan OTT global diharuskan mengikuti pendaftaran yang diperlukan untuk menjalankan bisnis mereka di pasar Indonesia.

Namun kabar lain berembus bahwa izin akan dikeluarkan hanya untuk perusahaan yang bersedia untuk membawa investasi minimal Rp 100 miliar  dan mempekerjakan minimal 1.000 orang Indonesia.

Siapa saja yang akan terkena regulasi ini?

Sedangkan dari sisi vendor operator telekomunikasi lokal yang tergabung dalam Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator. Alasannya karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.

Ada beberapa area dari layanan OTT yang bersinggungan dengan telco. 

Pertama, layanan OTT panggilan suara, berkirim pesan, dan media sosial seperti Skype, WhatsApp, LINE, Viber, KakaoTalk, Google Talk, WeChat, dan Telegram. Jenis OTT ini dianggap sudah lama menggerus pendapatan telepon dan SMS dari operator telekomunikasi.

Sedangkan sektor layanan OTT lainnya, yakni konten video dan cloud computing, diyakini akan memiliki pertumbuhan tertinggi dalam waktu dekat.

Menurut ATSI, selama ini banyak layanan OTT global langsung masuk ke pasar Indonesia dan terkesan enggan membuat BUT. Jika pun ada kantor di Indonesia, tak lebih dari perwakilan. Sementara untuk menghindari pajak, biasanya transaksi atau in-app purchase ditawarkan dengan menggunakan kartu kredit.

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), hampir 90 persen traffic internet “lari” ke luar negeri untuk mengakses data. APJII memperkirakan Indonesia menyumbang pendapatan bagi pemain konten dari luar negeri sekitar Rp 15 triliun per tahun.

“Sumbangan” untuk Facebook sekitar US$ 500 juta (sekitar Rp 6,5 triliun), Twitter di angka US$ 120 juta (sekitar Rp 1,5 triliun), LinkedIn sebesar US$ 90 juta (sekitar Rp 1,1 triliun), dan sisanya untuk pemain asing lainnya.

Dari sisi konektivitas, karena harus melayani traffic ke luar negeri, operator pun harus membeli bandwidth internasional seharga US$ 218 juta (sekitar Rp 3,3 triliun) per tahun.

Regulasi di ranah teknologi tampaknya terus digenjot oleh pemerintah karena dianggap memberi keuntungan yang menggiurkan. Sebelumnya, regulasi mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30 hingga 40 persen di 2017 juga sedang kencang digaungkan.

Regulasi lainnya yang sedang digodok adalahroadmap e-commerceuntuk memberi aturan bagi pemain e-commerce di dalam negeri. Namun pertanyaannya kini adalah, apakah regulasi akan mempermudah atau malah mempersulit perkembangan teknologi di Tanah Air? —Rappler.com

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Tech in Asia

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!