Di Berlin dan Birmingham kita menang, Bung!

Shesar Andriawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Di Berlin dan Birmingham kita menang, Bung!

REUTERS

Bahwa meremehkan Indonesia, di bidang apapun itu, sudah usang dan kuno.


Setiap Minggu, tak ada kenikmatan agung selain privilese untuk bangun lebih siang dari yang sudah sewajibnya. Menikmati tidur berkualitas adalah anugerah bagi makhluk yang ritme hidurpnya berpola bangun subuh-pulang sore-tidur satu dua jam jelang pergantian hari. Itu sudah sangat cukup. 

Maka ketika  kabar Indonesia meraih kemenangan di Internationale Tourismus Boerse (ITB) Berlin dan kejuaraan bulutangkis All England, yang terasa adalah seperti ini: Sudah sehat tertimpa banyak sahabat pula.

Sudah lama sampai akhirnya atlet badminton Praveen Jordan alias Ucok bisa berprestasi di atas Tontowi Ahmad. Sudah lama sampai kemudian Debby Susanto bisa menyamai capaian Liliyana Natsir, jadi juara All England. Dan pada akhirnya perahu phinisi dan koreografi racikan seniman Solo memenangkan hati dan logika juri di ITB, pameran pariwisata terbesar dunia.

Ganar, ganar, ganar y ganar. Menang, menang, menang, dan menang. Ucapan melegenda almarhum Luis Aragones dalam sebuah jumpa pers. Dunia mengenal baik Aragones sebagai orang yang akhirnya mampu mengangkat timnas sepakbola Spanyol ke level tertinggi dengan menjuarai Euro 2008. Disusul kemudian gelar Piala Dunia 2010 dan Euro 2012.

Kemenangan. Kata benda yang perlu dirasakan oleh semua orang, atau semua makhluk hidup. Kemenangan tak dapat dielakkan merupakan satu hal yang berakibat baik bagi mentalitas seseorang. Setidak kompetitif apapun seseorang, bagaimanapun tidak niatnya seseorang mencelupkan diri dalam persaingan, kemenangan yang didapat dari jerih dan payah selalu terasa manis.

In this sweet, sweet, sweet victory,” jika kamu gemar menonton Spongebob, petikan lirik lagu ini muncul dalam salah satu episode.

Saya mengenal dekat seorang kawan yang sama sekali tidak pernah berambisi masuk ke universitas nomor satu di Yogyakarta. Kawan itu memutuskan mendaftar sejam sebelum batas akhir. Dan dia lolos. Dia sumringah juga bangga.

Lebih dari rasa manis, kemenangan adalah katalisator. Pedal gas untuk mencapai sesuatu yang lebih agung. Lebih sering iya daripada tidak, kenyataan sudah berbicara.

JK Rowling membutuhkan banyak sekali penolakan penerbit, juga kekecewaan dan rasa minder yang menumpuk untuk meraih satu kemenangan gemilang. Bloomsburry menerima tulisan Harry Potter and The Sorcerer’s Stone. Kemahasuksesan saga Harry Potter adalah pengetahuan publik. Semuanya diawali dari kemenangan penting Rowling: Menembus penerbit usai tak patah arang oleh kegagalan-kegagalan yang mendahului.

Atletico Madrid harus rela tidak pernah menang dari Real Madrid selama 14 tahun. Tambah lagi hinaan dari tulisan yang dibawa pendukung El Real, “Dicari, lawan derbi yang sepadan!” Hingga pada akhirnya kemenangan 2-1 di final Copa Del Rey 2013, di kandang rival mereka itu, menjadi titik balik.

Seluruh komponen Atleti – manajer, presiden, pelatih, staf, pemain, serta pendukung – tidak lagi merasa di bawah El Real. Tahun ini Atleti berhasil menang tiga kali beruntun di kandang Real Madrid, Santiago Bernabeu. Mereka tim pertama yang melakukannya. Barcelona pun belum lagi sanggup.

Karena dengan sebuah kemenangan, kepercayaan diri menyeruak dari bagian dalam ke permukaan. Karena kepercayaan diri adalah keyakinan. Karena keyakinan adalah modal. Orang boleh tak punya kemampuan, tapi kalau dia yakin perlahan dia mampu.

Do or do not. There is no try,” Yoda dari Star Wars memberi pesan bahwa keraguan tidak membawa hasil baik.

Kemenangan di Berlin dan Birmingham lebih dari sekadar sedap manis yang enak dibanggakan. Tentu saja. Dua gelar dari tanah Eropa itu sudah selayaknya memompa rasa percaya diri bahwa Indonesia sangat bisa dan mampu.

Tourism and Travel Competitiveness Index yang dipublikasikan World Economic Forum pada 2015 lalu boleh saja menempatkan posisi pariwisata Indonesia (secara keseluruhan 50) di bawah Singapura (peringkat 11), Malaysia (25), dan Thailand (35). Tapi kemenangan di Berlin membuktikan bahwa kita tak melulu kalah. Kendati kemenangan itu hanya dalam urusan sebagai exhibitor terbaik, hal itu tetap membuktikan bahwa putra-putri Indonesia bisa dan lebih dari mampu bersaing.

Bahwa ada orang Indonesia yang terampil mendesain stand pameran, bahwa kesenian tradisional Indonesia (dan senimannya sendiri) diapresiasi dunia bukanlah desas-desus belaka. Bahwa Indonesia masih sangat layak ditakuti di bulutangkis. Bahwa Tontowi/Liliyana kini sudah punya pelapis hebat. Bahwa meremehkan Indonesia, di bidang apapun itu, sudah usang dan kuno.

Bahwa-bahwa tersebut di atas maka sepatutnya diikuti kemenangan dan kenyataan bahwa: Indonesia mampu mengelola pariwisatanya dengan cakap melebihi negeri-negeri jiran, Indonesia mampu menjadi juara SEA Games bahkan Asian Games, manusia Indonesia punya kualitas lebih dari baik untuk mengelola apapun yang ia mau kelola selama ia yakin bisa.

Hanya dengan kemenenangan yang beranak pinak, generasi ke generasi, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Tjokroaminoto, Yamin, Tirto Adhi Soerjo, dan para pendiri bangsa lain bisa menyunggingkan senyum bangga. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!