Memoar luka Hesri Setiawan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memoar luka Hesri Setiawan
Mantan tapol di Pulau Buru hanya meminta pemerintah Jokowi meminta maaf

 

Di atas tanah tanda kematian, kemarin tertanam tegak-tegak 

Makin dipandang, makin membisu, makin terdiam

Papan-papan mati 

Penggalan puisi di atas dibacakan Hesri Setiawan, tokoh utama dalam film dokumenter Pulau Buru: Tanah Air Beta, di depan nisan sahabatnya, Heru Santoso, di pulau tempat sejuta tahanan politik itu dipekerjakan secara paksa. 

Hesri merupakan mantan tahanan politik dan penulis buku Memoar Pulau Buru. Pada pekan lalu, Hesri juga diberi penghargaan sebagai “Inspirasi Perjuangan HAM bagi Generasi Muda” dari Universitas Gadjah Mada. 

(BACA: Bekas tahanan politik Pulau Buru terima penghargaan HAM dari UGM)

Usai membacakan puisi itu, Hesri terduduk lemas tiba-tiba, sambil sesekali mengangkat topinya. Lengannya dipapah oleh anak dan istrinya. Ia mengenang Heru, teman satu ranjang, yang mati mengenaskan.

“Heru…Heru..Heru…,” katanya. 

Makam Heru digambarkan usang, di antara semak belukar, dan tak terjangkau pandangan kasat mata. Seperti kisahnya yang semakin hari semakin dilupakan. 

Di bawah garapan Rahung Nasution dan Wihsnu Yonar, film Pulau Buru disajikan dengan sederhana tapi membuat penonton hanyut dalam percakapan Hesri, putrinya, dan kawan-kawan lamanya. 

Dalam dokumenter ini, Hesri yang ditemani putri semata wayangnya, Ken Setiawan, dituturkan berkunjung ke Pulau Buru dengan tujuan berziarah ke makam Heru, dan bertemu dengan kawan-kawan semasa ia menjadi tapol. 

Percakapan pertama adalah antara Hesri dan putrinya di sebuah pantai. Hesri menuturkan bahwa ia diperintahkan untuk mencari sagu oleh tentara bersama Heru.

“Heru orang kota, mana tahu sagu,” katanya lirih disambut suara tawa renyah penonton yang menyaksikan pemutara perdana film di kantor Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, pada Rabu, 16 Maret. 

Film ini awalnya akan diputar di gedung pusat kebudayaan Goethe-Haus namun mendapat larangan dari pihak kepolisian setempat.

(BACA: Rahung: Ormas tertentu tak terima Pulau Buru ditayangkan)

Sesekali, Hesri melanjutkan, Heru mengungkap ia ingin melarikan diri bersama rekannya yang lain. Heru meminta Hesri untuk ikut serta. Tapi Hesri menolak. 

“Sebisa mungkin saya perpanjang umur di sini, karena suatu hari ingin pulang, entah kapan,” katanya. Tapi tidak dengan melarikan diri, karena nyawa adalah taruhannya. 

Hesri menuturkan, keinginan Heru untuk melarikan diri wajar, karena kehidupan tapol di Pulau Buru membuat para mereka semakin putus asa. Para tapol harus kerja paksa dari pukul 4 dini hari hingga 12 malam. Tanpa istirahat. 

Apa yang mereka kerjakan? Membuat konstruksi sawah pertama di Pulau Buru, perairan, hingga membangun gereja tanpa peralatan yang cukup. Tugas-tugas tak masuk akal dari tentara membuat mereka satu per satu kelelahan, dan tak sedikit dilaporkan mati mengenaskan. 

Di bagian percakapan ini, saya tak bisa menahan air mata yang jatuh. Bahasa yang digunakan Hesri sederhana, tapi sarat fakta. Yang paling menyentuh bagi saya adalah saat Hesri menceritakan aktivitas yang harus mereka lakoni sehari-hari, kerja paksa, sambil memberi tatapan kosong pada putrinya. 

Rahung dan Wishnu menambah suasana curhat antara bapak dan anak itu semakin melankolis dengan alunan biola dan latar belakang pantai yang senyap di saat senja. 

Percakapan kedua antara Hesri dan kawan-kawan lamanya, warga Pulau Buru, mantan tapol tentang politik di Indonesia. 

“Saya sudah muak dengan partai politik. Ngeri partai sekarang ini. Mereka selalu ingin jadi, saya yang nomor satu,” kritik teman Hesri.  

Sang kawan juga mengomentari peta politik pada pemilihan presiden 2014 lalu. Menurutnya, masyarakat mudah terbelah hanya karena mendukung calon presiden yang berbeda.

Percakapan selanjutnya adalah antara Hesri dan para tapol, serta warga Pulau Buru yang seusianya. Mereka membicarakan tentang sikap pemerintah yang cenderung mengabaikan tapol Pulau Buru. 

“Minta maaf saja tidak,” katanya. Padahal ia hanya ingin mendengar kata maaf meluncur dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Sebab ia sudah menunggu kata maaf itu sejak Suharto lengser. 

Pemerintah, kata Hesri, memilih untuk membisu. Kebisuan ini semakin menambah luka seorang Hesri yang berharap penderitaannya dan teman-temannya diakui, bukan dilupakan begitu saja. 

Film ini kemudian ditutup dengan percakapan manis antara Hesri dan putrinya. Ada kemarahan, ada kekecewaan, dan ada rasa bangga.

Seperti apa percakapan mereka? Silakan pembaca menonton film besutan Rahung ini. Semoga masih ada kesempatan bagi kita menonton film dokumenter bermuatan sejarah ini, sebelum kembali dilarang. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!