Indonesia

Enam pelanggaran di balik tenggelamnya KMP Rafelia 2

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Enam pelanggaran di balik tenggelamnya KMP Rafelia 2

ANTARA FOTO

Berdasarkan penelusuran Rappler, ada enam pelanggaran prosedur yang diduga menyebabkan KMP Rafelia 2 tenggelam pada Jumat, 4 Maret 2016 di Selat Bali.

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

JAKARTA, Indonesia — Aktivitas kru Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Elfina di dermaga landing craft marine (LCM) Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, terlihat padat pada Kamis pagi, 10 Maret.

Mereka kembali sibuk pasca penutupan rute penyeberangan Ketapang menuju Gilimanuk, Bali, akibat Perayaan Hari Nyepi sehari sebelumnya.

Para kru KMP Elfina terlihat harus melakukan lashing alias mengikat seluruh kendaraan besar seperti truk dan tronton dengan rantai. Hal itu bertujuan agar kendaraan tidak bergeser saat kapal terhempas ombak, terutama pada pelayaran jarak jauh.

Sebab, jika muatan terutama dari kendaraan besar bergeser dapat mengganggu keseimbangan kapal.

Sementara, Anak Buah Kapal (ABK) yang lain sibuk mendata jumlah penumpang di setiap kendaraan yang masuk kapal.

Dari pengeras suara, petugas Kantor Unit Pelabuhan Penyeberangan (KUPP) Kelas III Ketapang, berulang kali mengingatkan agar ABK melakukan lashing dan menghitung manifes penumpang. 

Tanpa keduanya, KUPP Kelas III Ketapang mengancam tak akan mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Surat sakti inilah yang menjadi bekal kapal bisa berlayar menuju Pelabuhan Gilimanuk, Pulau Bali.

Penerapan dua pekerjaan penting itu memaksa ABK untuk memperpanjang waktu bongkar-muat kapal dari semula 12 menit menjadi 20 menit. Alhasil, antrean kendaraan barang memadati halaman parkir.

KUPP Kelas III Ketapang melakukan berbagai pengetatan usai KMP Rafelia 2 tenggelam pada Jumat, 4 Maret, sekitar pukul 13:10 WIB. Kecelakaan laut itu mengakibatkan 6 korban tewas dan 76 orang selamat, serta 25 kendaraan ikut tenggelam.

Saat itu, KMP Rafelia bertolak dari Pelabuhan Gilimanuk dan akan sandar ke dermaga LCM Pelabuhan Ketapang.

Dua dari enam korban tewas diketahui merupakan ibu dan anak bernama Masruro dan Muhammad Ramlan. Ramlan yang masih berusia 18 bulan itu ditemukan oleh tim Badan SAR Nasional pada Sabtu, 5 Maret, di dasar kapal dalam pelukan Masruro.

Suami Masruro yang bernama Januri dan ikut dalam kapal naas itu, mengaku hanya bisa pasrah. Dia menyesal tidak dapat menyelamatkan istri dan anak laki-lakinya itu.

Berdasarkan data yang diperoleh Rappler, KMP Rafelia 2 adalah kapal keempat yang tenggelam di Selat Bali.

Insiden kapal tenggelam terjadi pertama kali pada 19 April 1994 yang menimpa KMP Kaltim Mas II 275 GRT. Setahun kemudian, LCT Trisila Pratama tenggelam pada 29 Agustus 1995. Kemudian KMP Citra Mandala Bhakti pada 7 Juni 2000.

Penyebab tenggelamnya KMP Rafelia 2 saat ini masih diselidiki oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Aldrin Dalimunte mengatakan laporan mengenai insiden tenggelamnya KMP Rafelia 2 akan rampung paling lambat pada pertengahan April.

“Saat ini kami sudah mulai menganalisa dan mendekati kesimpulan. Tapi, kami tidak bisa membocorkan indikasi awal penyebab kecelakaan,” kata Aldrin.

Enam pelanggaran prosedur

Tim SAR menemukan dua korban meninggal yang merupakan ibu dan anak. Foto oleh Budi Candra Setya/Antara   

Dari kejadian tenggelamnya KMP Rafelia 2, menguak pelanggaran standar prosedur operasional (SOP) keselamatan pelayaran di Pelabuhan Ketapang. Berdasarkan penelusuran Rappler, setidaknya ada enam jenis pelanggaran terhadap SOP itu.

Pertama, jumlah manifes penumpang yang tak akurat. Awalnya, otoritas pelabuhan merilis bahwa manifes sebanyak 51 orang, terdiri dari 37 penumpang dan 14 kru kapal.

Namun belakangan setelah seluruh penumpang dievakuasi, ternyata jumlahnya mencapai 82 orang.

Kedua, persoalan lashing. Dari hasil pemeriksaan Satuan Polisi Air Banyuwangi terhadap mualim dua KMP Rafelia 2, Ali Imron, diketahui bahwa tidak ada tali pengikat pada angkutan barang. Padahal saat itu KMP Rafelia 2 mengangkut dua unit truk besar, satu pick-up truck, 4 tronton, dan 18 truk berukuran sedang.

Padahal, lashing penting untuk dilakukan agar kendaraan tidak bergeser saat kapal dihempas ombak.

Petugas lapangan PT Trisakti Lautan Mas, perusahaan pemilik KMP Elfina, Iwan Maydarwan, mengatakan, lashing dan mendata penumpang sebenarnya sudah menjadi SOP pelayaran. Namun kru kapal tidak melakukannya karena KUPP sendiri tidak pernah melaksanakan pengawasan atas SOP itu.

“Kami tahu, tapi baru sekarang (pasca tenggelamnya Rafelia 2, red) aturan itu ditegakkan,” ujar Iwan pada Kamis, 10 Maret.

Alasan lain yang diutarakan Iwan yakni waktu bongkar-muat kapal yang hanya 12 menit. Baginya, waktu tersebut sangat sempit untuk melaksanakan lashing dan mendata manifes penumpang. Kru kapal membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk melakukan dua pekerjaan tersebut.

Pengakuan lain juga disampaikan petugas lapangan PT Agung Samudera, Edi. Menurutnya, kru kapal belum melakukan dua kegiatan itu karena tidak ada imbauan dari KUPP.

Dia bercerita, sebelumnya para ABK hanya melaksanakan kegiatan rutin berupa pengecekan kondisi kapal. Kegiatan itu dimulai pagi hari sekitar pukul 07:00 WIB, sebelum kapal beroperasi.

Seluruh ABK yang berjumlah 15 orang, mengecek mulai anjungan, dek penumpang, hingga bagian mesin. Dari luar, petugas lapangan bertugas melihat posisi kapal, apakah dalam kondisi miring atau seimbang.

“Kegiatan ini terus diulang setelah kapal sandar dan akan mengangkut penumpang,” kata Edi.

Ketiga, muatan kapal yang berlebih. Juru kemudi KMP Elfina, Syaiful Hidayat, mengatakan, kapal-kapal di Selat Bali sering mengangkut muatan yang melebihi ketentuan. Menurutnya, kapal dengan berat di bawah 1.000 ton idealnya hanya bisa membawa maksimal 14 kendaraan seperti bus, truk, dan tronton.

Dari kapasitas tersebut, jumlah tronton tidak boleh lebih dari 6 unit. Namun kenyataannya, kata dia, sejumlah kapal bisa mengangkut lebih dari batas normal.

“Seperti KMP Rafelia 2 yang tenggelam itu, mereka mengangkut 25 kendaraan besar,” kata Syaiful.

Berat kapal Rafelia sendiri yaitu 1.108 ton.

Hal yang mendorong praktik pengangkutan kendaraan melebihi ketentuan, diduga karena adanya kebiasaan menyogok terhadap petugas kapal. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan sopir kendaraan seperti truk dan tronton juga ditarik pungutan liar oleh preman pelabuhan.

Menurut sumber Rappler yang ditemui di pelabuhan, biasanya sopir membayar antara Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu, tergantung dari banyaknya muatan. Sopir angkutan yang memberikan setoran biasanya akan didahulukan untuk bisa masuk ke kapal dan tak perlu mengantre lama.

Para penumpang kapal penyeberangan Dharma Ferry mulai masuk ke dalam kapal untuk diangkut menuju ke Pelabuhan Gilimanuk pada 10 Maret 2016. Foto oleh Ika Ningtyas/Rappler    

Pelanggaran keempat, penggunaan kapal jenis Landing Craft Tank (LCT). Menurut pengamat maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Saut Guring, kapal LCT lebih tepat digunakan hanya untuk mengangkut angkutan barang tanpa penumpang.

“Tapi kenyataannya, di dalam KMP Rafelia yang juga kapal LCT, malah memuat penumpang. Meski yang menjadi korban tewas tak banyak,” kata Saut.

Padahal, Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Nomor: SK.376/AP.005/DRJD/2014 tentang Larangan Penggunaan Kapal Tipe LCT sebagai Kapal Angkutan Penyeberangan. Sejak awal, kapal LCT dirancang dan dibangun bukan untuk sebagai angkutan penumpang dan barang.

Menurut SK tersebut, kapal angkutan penyeberangan yang mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya harus memiliki paling sedikit 2 pintu rampa yang digunakan sebagai jalan masuk dan keluar kendaraan bermotor, sedangkan kapal LCT hanya memiliki satu pintu saja. Hal tersebut bisa berpengaruh terhadap faktor keselamatan.

“Tapi kenapa kapal itu masih bisa beroperasi dan akhirnya tenggelam?” tanya Saut.

Pelanggaran kelima, tidak adanya sertifikasi Badan Kelaikan Indonesia (BKI) — sebuah badan independen yang mensurvei kelaikan kapal. Berdasarkan data yang diperoleh Saut, sertifikasi kelayakan Rafelia 2 ditahan oleh BKI, karena masih ada masalah dalam kapal. Dalam surveinya, BKI menemukan adanya kebocoran di kapal.

“Jadi bisa dibayangkan, kapal miring karena ada kebocoran ditambah lagi dengan muatan kendaraan yang tak diikat. Anda juga dapat membayangkan kondisi kapal penyeberangan di seluruh Indonesia yang standar keselamatannya masih diabaikan seperti itu,” kata Saut.

Pelanggaran keenam, keterangan palsu dari nakhoda. Mantan KUPP Kelas III Gilimanuk, I Nyoman Daelon Wirawan mengatakan nakhoda KMP Rafelia 2 berbohong kepadanya dengan tujuan agar Surat Persetujuan Berlayar (SPB) bisa segera keluar.

“Sebelumnya, kami tidak memberikan izin bagi KMP Rafelia 2 berlayar. Kami sudah meminta mereka untuk melengkapi (dokumen). Kami terus menunggu dan melakukan pemeriksaan dokumen, tetapi baik nakhoda dan operator kapal selalu menyatakan kapal tak bermasalah,” ujar Daelon melalui telepon kepada Rappler pada Kamis, 17 Maret.

Nakhoda dan operator kapal, Daelon melanjutkan, bahkan terus memaksa agar SPB segera dikeluarkan.

“Kejadian ini bukan hanya menjadi tanggung jawab syahbandar semata, tetapi juga pihak lain, karena ini merupakan pekerjaan bersama,” kata Daelon yang dimutasi dari posisinya oleh Kemhub pada Kamis, 10 Maret lalu.

Kemhub mencopot Daelon sebagai Kepala UPP sebagai konsekuensi mengeluarkan SPB bagi KMP Rafelia 2 dari Gilimanuk menuju Ketapang.

Daelon mengatakan keterangan palsu seperti itu sering terjadi di lapangan. Satu hari, dia pernah turun ke lapangan untuk memeriksa satu kapal.

“Ternyata tali untuk lashing hanya diikat dengan menggunakan tali yang nyaris hampir putus. Lalu, nakhoda mengatakan tidak ada masalah di dalam kapal,” ujarnya.

Lalu lintas pelabuhan terlalu padat

Jalur penyeberangan dari pelabuhan Gilimanuk menuju ke Ketapang dan sebaliknya termasuk rute yang sangat sibuk di Indonesia.

Kepala UPP Kelas III Ketapang, Ispriyanto, menyebut ada 53 kapal yang telah mengantongi izin beroperasi di Selat Bali. Tetapi, kapal yang berlayar dibatasi hanya 34 unit, yakni terdiri dari 12 kapal di dermaga LCM dan 22 kapal di dermaga moveable bridge — pelabuhan yang telah dilengkapi jembatan otomatis.

Idealnya, jumlah kapal yang melintas sebenarnya antara 15-20 unit saja.

“Dengan jumlah kapal yang lebih sedikit, kru kapal akan punya waktu lebih banyak untuk mengatur muatan di dalamnya. Untuk lashing satu truk saja kadang butuh waktu 10 menit,” ujar Ispriyanto.

Padatnya jumlah kapal, kata Ispriyanto, karena Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk dianggap sebagai salah satu pelabuhan paling prospektif secara bisnis setelah Merak-Bakauheni. Sebab Ketapang-Gilimanuk menjadi sentra distribusi logistik menuju Indonesia kawasan timur, mulai Bali, Nusa Tenggara Barat, hingga Nusa Tenggara Timur. Itu pula yang menyebabkan pengusaha kapal memilih Ketapang-Gilimanuk sebagai tempat berinvestasi.

Pada hari normal, sedikitnya ada 1.500-2.000 kendaraan yang menyeberang Selat Bali. Jumlah tersebut bisa meningkat pada musim libur sekolah, mudik, maupun perayaan Natal dan Tahun Baru. Pada Hari Raya Nyepi 9 Maret saja, jumlah pemudik dari Bali mencapai 100.463 orang, 15 ribu naik sepeda motor dan 9 ribu membawa mobil pribadi.

Sayangnya, Ispriyanto tidak mengetahui mengapa Kementerian Perhubungan terus membuka izin operasional bagi kapal baru di Selat Bali. Padahal, semakin banyak kapal yang beroperasi, mengakibatkan ancaman terhadap keselamatan pelayaran semakin besar, seperti resiko kapal bertabrakan di laut.

Sebagai contoh, pada 10 November 2012, KMP Trisila Bakti dengan LCT Jabung 6 bersenggolan, di 200 meter dekat Pelabuhan Gilimanuk.

Apalagi Selat Bali memiliki karakteristik arus laut yang cukup kuat. Dari data yang ada menunjukkan, hampir setiap tahun selalu terjadi kapal kandas karena terbawa arus. Misalnya, KMP Gerbang Samudera 2 yang pernah kandas pada 10 Agustus 2013. Kemudian LCT Pancar Indah tercatat pernah karam pada 4 Juli 2014.

KMP Rafelia 2 sendiri merupakan kapal ke-52 yang baru beroperasi di Selat Bali pada Januari 2016. Sebelum mengalihkan izin operasional ke Ketapang-Gilimanuk, kapal dengan dua baling-baling ini sebelumnya beroperasi di Pelabuhan Padang Bai, Bali – Pelabuhan Lembar, Lombok.

KMP Rafelia 2 juga mengalami peralihan kepemilikan, yakni dari perusahaan Shodoshima Maru ke PT Darma Bahari Utama.

Kendati dinilai layak beroperasi oleh syahbandar pelabuhan, namun KMP 2 Rafelia sudah pernah dua kali mengalami insiden. Dalam catatan Rappler, insiden pertama terjadi pada 13 Juli 2005 ketika Rafelia 2 bersandar darurat di Pelabuhan Celukan Bawang, Buleleng, Bali. Ketika itu, ombak tinggi menghantam kapal buatan Jepang tersebut.

Insiden kedua terjadi pada 7 September 2012. Saat itu Rafelia 2 nyaris tenggelam dihantam gelombang saat hendak berlabuh di Pelabuhan Padang Bai, Bali.

Sementara, terkait dengan perawatan, KMP Rafelia 2 terakhir kali masuk perawatan alias docking pada Juni 2015.

Tegakkan pengawasan di pelabuhan

Sopir truk mengeluarkan kendaraannya dari KMP Dharma Ferry di Pelabuhan Ketapang pada 10 Maret 2016. Foto oleh Ika Ningtyas/Rappler

Pengamat transportasi, Dharmaningtyas, mengatakan untuk mencegah terulangnya insiden kapal tenggelam, maka pemerintah harus menegakkan pengawasan di pelabuhan. Sebab, selama ini hal tersebut yang menjadi biang keladi kecelakaan kapal.

Dia menyebut pemerintah memang sudah membuat aturan, namun tidak dilaksanakan dengan baik.

“Pengawasan di pelabuhan itu kan tergolong lemah. Makanya bisa terjadi peristiwa kelebihan muatan di kapal yang tidak terpantau,” ujar Dharmaningtyas ketika dihubungi Rappler melalui telepon pada Kamis, 17 Maret.

Menurutnya, suap yang diberikan kepada nakhoda kapal supaya kendaraannya terangkut sudah kerap dia dengar. Kini tinggal bergantung kepada Kepala UPP untuk menerapkan kebijakan yang ketat.

“Syahbandar bisa kok hanya dengan memperbaiki jembatan timbang di jalan menuju ke pelabuhan. Kemudian, kendaraan yang melebihi kapasitas, ya tidak boleh diangkut,” kata dia.

Hal lain yang menjadi perhatian Dharmaningtyas yakni mengenai banyaknya kapal penyeberangan yang berusia uzur. Rata-rata kapal yang beroperasi berusia di pelabuhan di Indonesia lebih dari 30 tahun.

“Kapal yang berusia tua tentu akan kalah saing dengan yang baru. Apalagi air laut memiliki kemampuan untuk menggerus logam kapal,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Masyrakat Transportasi Indonesia (MTI) itu.

Kemenhub lakukan evaluasi

Tim SAR gabungan mengangkat jenazah korban KMP Rafelia II yang tenggelam di Perairan Selat Bali. Foto olehBudi Candra Setya/Antara    

Rappler kemudian melaporkan keenam pelanggaran kepada Plt Direktur Jenderal Hubungan Laut Kementerian Perhubungan, Umar Aris pada Kamis, 17 Maret, di kantornya.

Apa tanggapan Umar? Dia menyebut, pasca kejadian tenggelamnya KMP Rafelia, Kemenhub tengah melakukan evaluasi.

Pihaknya selaku regulator akan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur hal-hal teknis yang perlu dilakukan sebelum kapal berlayar. Dimulai dari tata cara lashing dan penerapan jembatan timbang. Umar menyebut Permen tersebut kini sudah masuk ke lembaran negara dan akan segera ditandatangani Menhub Ignasius Jonan pada pekan depan.

“Bukan berarti selama ini aturan tersebut tidak ada, tetapi hal tersebut akan lebih intensif lagi diberlakukan,” ujar Umar.

Kemenhub mengklaim telah bertindak tegas menyikapi tenggelamnya KMP Rafelia 2 dengan mencopot KUPP Gilimanuk pada pekan lalu. Walaupun, KUPP memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Berlayar (SPB), tetapi kata Umar keputusan akhir untuk berlayar atau tidak terletak di tangan nakhoda.

“Di dalam UU Pelayaran No. 17 tahun 2008 tertulis nakhoda berhak membatalkan keberangkatan kapal, kendati sudah mengantongi SPB,” kata Umar.

Kemhub beralasan tetap mencopot I Nyoman Daelon Wirawan dari posisi KUPP sebagai prinsip yang mereka pegang apabila terjadi kecelakaan, terlebih ada korban jiwa di dalamnya.

“Kebijakan itu berlaku bagi semua pelabuhan. Apa pun alasannya, maka akan dicopot,” kata dia.

Ketegasan sikap dan sanksi juga akan dijatuhkan terhadap nahkoda atau otoritas pelabuhan yang berani menerima suap dari para pengemudi agar kendaraannya ikut diangkut ke dalam lambung kapal. Umar mengaku belum pernah menemukan ada petugasnya yang menerima suap.

“Tetapi, jika ada silakan laporkan kepada kami,” tutur pria yang sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Hukum Kemhub itu.

Sementara, Umar tidak menilai banyaknya kapal yang berusia uzur sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Begitu pula dengan lalu lintas kapal di Selat Bali yang disebut padat.

“Usia kapal sebenarnya tidak bisa dijadikan tolak ukur. Itu semua tergantung pada cara perawatan terhadap kapal. Bisa saja usia kapal tergolong muda tetapi karena jarang docking atau perawatan malah lebih cepat rusak,” ujar Umar.

Direktorat Jenderal Hubungan Laut lah yang akan mengawasi apakah proses perawatan itu dilakukan sesuai ketentuan.

“Pokoknya selama menyangkut faktor keselamatan dan keamanan, maka kami tidak akan kompromi,” kata dia.

Bisakah janji Kemenhub terealisasi dan berhasil mencegah insiden tenggelamnya kapal di masa mendatang? —Dengan laporan Amir Tedjo & Ningtyas/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!