RUU disahkan, hak penyandang disabilitas dijamin undang-undang

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

RUU disahkan, hak penyandang disabilitas dijamin undang-undang

Hafidz Mubarak A.

Pemerintah dan masyarakat harus lebih awas tentang hak dan kebutuhan penyandang disabilitas.

JAKARTA, Indonesia (UPDATED) – Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penyandang Disabilitas dalam rapat paripurna yang berlangsung pada Kamis. 17 Maret.

Rancangan tersebut akan menjadi undang-undang 30 hari sejak disahkan DPR dengan atau tanpa tanda-tangan presiden. 

Keberadaan undang-undang tersebut diharapkan bisa menjamin hak dan kesempatan penyandang disabilitas terpenuhi, mulai dari hak hidup, pekerjaan, pendidikan, hingga akses fasilitas.

“Ada 22 poin penting tentang pemenuhan hak penyandang disabilitas yang diatur dalam UU ini,” kata anggota Komis VIII Ledia Hanifa dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat dihubungi Rappler pada Jumat, 18 Maret. 

Selama ini, masyarakat dan pemerintah masih cenderung abai pada hak-hak penyandang disabilitas. Salah satunya terkait hak hidup. Banyak yang masih memberi stigma ‘kutukan’ ataupun ‘malapetaka’ bagi mereka yang berkekurangan secara fisik maupun mental. Tak jarang, pandangan semacam ini justru datang dari keluarga dekat.

Para penyandang disabilitas pun sering mengalami nasib kurang menyenangkan. Entah dikucilkan, dikirim ke panti, atau yang terburuk, dipasung. Kalaupun masih tinggal bersama keluarganya, hak mereka, seperti warisan, kadang diambil anggota keluarga lain dengan dalih “mereka tak bisa mengurusnya.”

“Di UU ini, kami tegaskan kalau penyandang disabilitas itu berhak untuk bebas dari stigma. Juga berhak penuh atas hak mereka,” kata Ledia.

Rancangan itu juga mengatakan mereka yang mengurangi hak-hak penyandang disabilitias dikenakan pidana kurungan dua tahun dan denda Rp 150 juta. Hal ini juga dapat menghindarkan mereka yang keterbatasan penglihatan atau pendengaran, dari penipuan.

Dalam UU ini disebutkan juga kalau keluarga tak bisa semena-mena menyerahkan anggotanya yang menyandang disabilitas fisik ataupun mental ke panti. Mereka harus dirawat oleh keluarganya, yang tentu juga didampingi tenaga ahli dan terapis. Serta mendapatkan rehabilitasi klinis yang layak.

Pendidikan dan pekerjaan di tengah masyarakat

Penyandang disabilitas menyaksikan Rapat Paripurna dengan pembahasan RUU Penyandang Disabilitas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3). Rapat Paripurna DPR menyepakati RUU Penyandang Disabilitas menjadi UU Penyandang Disabilitas sebagai pemenuhan hak penyandang disabilitas baik hak ekonomi, politik, sosial maupun budaya.

Mereka juga dijamin haknya untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan di tengah masyarakat. Orang-orang, menurut Ledia, cenderung mendorong penyandang disabilitas untuk bersekolah atau bekerja di tempat khusus. Padahal, ada pilihan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat sosial, dan sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas.

“Seperti sekolah, anak-anak penyandang disabilitas seolah diwajibkan untuk masuk sekolah khusus. Padahal mereka ada pilihan untuk inklusi di sekolah umum,” kata Ledia.

Terkait dengan pendampingan atau fasilitas tambahan, sudah menjadi kewajiban pemerintah setempat untuk menyediakannya. Seperti misalkan, pendamping bagi yang tuna rungu, hingga akses jalan untuk kursi roda.

Demikian pula di tempat kerja. Perusahaan, baik milik negara ataupun swasta, cenderung enggan memperkerjakan penyandang disabilitas. “Seolah-olah akan membebani perusahaan dengan biaya tambahan,” ujarnya.

Pemerintah sebenanrya sudah mewajibkan perusahaan negara untuk memperkerjakan penyelandang disabilitas sebanyak 2 persen dari total tenaga kerja; dan 1 persen untuk perusahaan swasta. Bahkan, UU juga memberikan insentif bagi perusahaan swasta yang menjalani kewajiban ini. Aturan ini sebenarnya juga sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sejak lama. Para penyandang disabilitas dapat menjalankan tugas-tugas administratif.

Ledia mengatakan, penting untuk menambah keterlibatan penyandang disabilitas dalam masyarakat umum. Terutama, bagi anak-anak di sekolah. “Mengajari bagaimana caranya berkomunikasi dengan baik. Supaya mereka bukan malah mengejek, atau bahkan mem-bully,” kata dia.

Perbaikan fasilitas dan kesadaran pemerintah

Tentu sulit bagi penyandang disabilitas untuk berfungsi sempurna bila negara tak menyediakan fasilitas yang memadai. Diskusi yang berlangsung selama pembahasan UU ini, menurut Ledia, mengungkap betapa abainya pemerintah.

“Contohnya saja Gedung Nusantara (DPR) ini. Sulit sekali bagi penyandang disabilitas untuk masuk,” kata dia. Dan, sebagian besar bangunan di Jakarta juga dalam kondisi serupa.

Ledia mengatakan, dalam aturan Kementerian Pekerjaan Umum, sudah tertera kewajiban membangun fasilitas khusus penyandang disabilitas seperti jalan untuk kursi roda. Namun, pihak yang seharusnya menjalankan, termasuk Kemen PU sendiri, cenderung abai. Dalam aturan tersebut, disebutkan kalau gedung yang tak memenuhi persyaratan disabilitas, tak akan mendapat surat layak pakai.

“Tapi faktanya keluar-keluar saja suratnya. Jadi siapa yang bermasalah atau lalai di sini?” tanya Ledia. Tanpa surat tersebut, bangunan yang bersangkutan bahkan dapat dirobohkan.

Fasilitas transportasi pun lebih parah lagi. Ledia mengakui, bahkan di kota besar seperti Jakarta, masih kurang ramah penyandang disabilitas. Ia mencontohkan, halte Transjakarta yang tinggi dan menyulitkan pengguna kursi roda. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang haltenya lebih rendah, bahkan bus-nya juga dapat dimiringkan untuk memudahkan pengguna kursi roda naik.

Pilihan mereka pun terbatas pada taksi. Tetapi selain biayanya mahal, juga masi minim kendaraan yang menyediakan fasilitas kursi khusus. “Memang sudah ada satu jasa taksi yang menyediakan, tapi armadanya juga sedikit,” kata Ledia.

Awasi implementasi dan beri kesempatan penyandang disabilitas bersuara

UU ini memang bertujuan untuk menyadarkan pemerintah dan masyarakat tentang hak penyandang disabilitas. Implementasi terkait fasilitas, akses, maupun kesempatan yang tertera di dalamnya harus sudah rampung dalam waktu dua tahun.

Tak hanya itu, penyandang disabilitas kini dapat menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka lewat Komisi Penyandang Disabilitas. Ledia mengatakan badan ini sudah harus terbentuk dalam waktu 3 tahun sejak UU disahkan.

“Anggotanya tak harus dari pemerintah, juga bisa dari perwakilan penyandang disabilitas supaya kami lebih tahu lagi apa saja yang mereka butuhkan,” kata dia. Bersama dengan DPR dan lembaga pemerintah lain, badan ini akan mengawasi kinerja dan implementasi UU Penyandang Disabilitas.

Penyandang disabilitas pesimis 

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas menyatakan pesimistis dengan RUU Penyandang Disabilitas yang telah disetujui dalam paripurna DPR untuk menjadi Undang-Undang.

Mereka mengatakan RUU tersebut memiliki isu yang multisektor sehingga seharusnya dibahas oleh panitia khusus di DPR, bukan oleh Panitia Kerja Komisi VIII DPR.

Kementerian-kementerian yang memiliki kewajiban pemenuhan hak penyandang disabilitas juga dinilai melempar tanggung jawab dan menyerahkan kepada Kementerian Sosial sebagai “leading sector”.

Karena itu, Koalisi menilai nasib penyandang disabilitas tidak akan banyak berubah. Penyandang disabilitas masih harus berjuang dari pintu ke pintu setiap kementerian untuk mengadvokasi pemenuhan haknya.

Harapan para penyandang disabilitas kini hanya bergantung pada Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut sebagai lembaga independen.

Lembaga tersebut memiliki tugas dan wewenang untuk memastikan terselenggaranya pembangunan yang bersifat akses dan sebagai wadah partisipasi penyandang disabilitas untuk memajukan dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas.

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas terdiri atas beberapa organisasi diantaranya Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca), Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Perhimpunan Jiwa Sehat, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia (FKPCTI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta) dan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK). – dengan laporan Antara/Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!