Kisah pengguna BPJS: Antrean panjang hingga dokter dan perawat ketus

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah pengguna BPJS: Antrean panjang hingga dokter dan perawat ketus

AFP

Kenaikan iuran bulanan tetap dilaksanakan untuk mengurangi defisit yang ditanggung BPJS selama dua tahun terakhir

JAKARTA, Indonesia – Keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran jaminan kesehatan bagi peserta mandiri menuai banyak reaksi, termasuk dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang meminta menunda kenaikan dengan alasan fasilitas kesehatan yang disediakan masih belum memadai. Badan Penyelenggara  Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdalih, kenaikan iuran akan jalan beriringan dengan perbaikan sarana kesehatan.

Bagaimana dengan mereka yang secara langsung menggunakan layanan asuransi kesehatan pemerintah tersebut? Yully Triyanti, peserta BPJS kelas I yang berdomisili di Jakarta Timur, mengaku keberatan dengan kenaikan itu.

“Terlalu besar, untuk yang kelas I saja bisa selisih sampai Rp 20 ribu,” kata Yully kepada Rappler di salah satu rumah sakit swasta. Padahal, menurut dia, proses untuk memperoleh layanan kesehatan lewat BPJS masih rumit.

Wanita 63 tahun ini membutuhkan waktu hingga dua hari untuk memperoleh perawatan yang dibutuhkannya. Hari pertama, ia habiskan di Puskesmas dekat tempat tinggalnya untuk memperoleh rujukan. Besoknya, baru ia ke rumah sakit. Untuk bertemu dokter, ia harus sudah tiba di rumah sakit pukul 7:30 untuk mendapatkan nomor antrean. 

“Jangan ditanya antre berapa lama,” ujarnya sembari tertawa. Kadang, ia baru bisa bertemu dokter setelah jam makan siang. Ia memaklumi hal ini karena memang pasien BPJS di rumah sakit langganannya sangat ramai.

Menurut Yully, untuk mengatasi antrean panjang ini, banyak kawan-kawannya memutuskan menggunakan asuransi swasta. Selain prosesnya lebih sederhana, antreannya pun tak panjang.

Terkait pelayanan dokter dan rumah sakit sendiri, ia mengakui tak menemukan keluhan. “Sama seperti waktu saya belum pakai BPJS, pelayanannya oke,” kata dia.

Dokter dan perawat ketus pada pasien BPJS

Lain lagi kisah dari Ryan Armindya, peserta yang berdomisili di Bekasi, Jawa Barat. Ia mengakui ada perubahan sikap dari dokter langganannya saat ia mencoba berobat lewat jalur BPJS.

Sekitar tahun lalu, gadis yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini tengah mengalami masalah asam lambung. Karena baru mendaftar sebagai peserta, ia pun mencoba berobat dengan memanfaatkan BPJS. Perlakuan yang diterimanya berbeda ketimbang saat ia berobat lewat jalur biasa.

“Rujukan dari klinik sih lancar-lancar saja. Tapi pas di rumah sakit, begitu tahu saya pasien BPJS, susternya langsung jutek,” kata dia kepada Rappler.

Dokter langganannya pun bersikap demikian. Biasanya, menurut Ryan, dokter itu kerap mengobrol lama dengannya untuk konsultasi dan memberikan saran. Namun, saat menggunakan BPJS, pertemuan berlangsung hanya beberapa menit. “Setelah itu saya diminta keluar,” kata dia.

Perlakuan berbeda pada pasien BPJS memang bukan kisah langka. Sejak pertama dimulai, media massa sudah ramai memberitakan tentang antrean panjang, perlakuan petugas yang kurang mengenakkan, hingga penutupan akses ke fasilitas. Bahkan, tak jarang ada yang secara halus diminta untuk ‘pindah’ ke rumah sakit lain.

Penolakan keras dari masyarakat dan DPR

Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dede Yusuf mengatakan ide kenaikan iuran ini sudah sejak lama ditentang masyarakat. Sejak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016 diteken pada 1 Januari 2016 lalu, suara kontra sudah nyaring terdengar.

“Kenaikan premi bisa ditunda setelah pelayanan membaik,” kata dia saat dihubungi Rappler Kamis, 17 Maret. Terkait kenaikan ini, saat rapat kerja dengan BPJS, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), suara publik juga condong ke arah sana.

Dede mengatakan sudah mengirimkan surat kepada pimpinan DPR yang akan diteruskan ke Presiden Joko Widodo terkait kenaikan ini. Bila akhirnya kebijakan pemerintah memberatkan masyarakat, DPR akan menggunakan hak konstitusionalnya.

Melalui Perpres Nomor 19 tahun 2016, pemerintah menaikkan iuran PBPU dan peserta BP untuk kelas I menjadi Rp 80 ribu dari Rp 59.500 per orang, kelas II menjadi Rp 51.000 dari Rp 42.500 per orang, dan kelas III menjadi Rp 30.000 dari Rp 25.500 per orang. Kenaikan iuran tersebut sudah disosialisasikan sejak bulan Maret.

Kepala Humas BPJS Irfan Humaidi menyatakan iuran BPJS akan tetap sesuai dengan aturan yang berlaku. Atau, disesuaikan pada 1 April mendatang. Hal ini penting untuk mengurus mismatch yang terjadi sejak dua tahun lalu. Tercatat, pada 2014 lalu ada mismatch sebesar Rp 3,3 trilyun; dan Rp 3,1 trilyun pada 2015 lalu.

“Dengan tariff yang disesuaikan pun, pada 2016 masih ada kemungkinan mismatch. Tapi pemerintah berkomitmen mengalokasikan anggaran dalam rangka menutupinya,” kata dia.– Rappler.com 

BACA JUGA:

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!