Indonesia

Di balik merahnya gincu bibir waria

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hanya sekitar 20 persen waria di Malang yang bisa duduk di bangku SMA. Mereka mengaku lebih dihargai jika bisa mencari uang sendiri dan tak bergantung kepada keluarga

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

MALANG, Indonesia — Yuri Firnanda petang itu sedang bersiap untuk bekerja. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai sebahu, wajahnya dipoles bedak dengan warna cerah, sepadan dengan lipstik warna merah muda. 

Jika tidak sedang ikut bermain ludruk, malam-malam Yuri akan dipenuhi dengan kegiatan mangkal, mencari pelanggan dengan menjual jasa sebagai pekerja seks di Kabupaten Malang, Jawa Timur. 

Mungkin saja Yuri kini akan berakhir di dalam kelas, mengajar teater atau pengetahuan lain sebagai guru. Siapa tahu jalan hidupnya akan berbeda jika ia cukup beruntung mengenyam pendidikan lebih tinggi dan tak sibuk bekerja setamat Sekolah Menengah Kejuruan. 

Setidaknya ada 438 waria di wilayah Malang Raya, dan hanya sekitar 20 persen di antaranya beruntung bisa belajar hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan setaranya. Sebagian besar terpaksa terhenti di jenjang SD atau SMP dan menghidupi dirinya sebagai pekerja seks. 

“Cita-cita saya dulu jadi guru, saya suka mengajar. Waktu SMK, saya sempat mengajar teater beberapa bulan di salah satu SMP di Wagir. Kemudian berhenti karena di SMK banyak praktikum yang tidak bisa ditinggalkan,” kata Yuri kepada Rappler, pada Rabu, 16 Maret. 

Namun nasib berkata lain. Sejak 2006, wanita pria (waria) berusia 31 tahun itu menghidupi diri sebagai pekerja seks. Nasibnya lebih baik saat bulan besar tiba. Ketika banyak orang punya hajat, Yuri bisa ikut menari dan bermain ludruk keliling mengikuti pesanan empunya hajat. 

“Sebenarnya dulu saya ingin kuliah, tapi saya harus bekerja dan keluarga juga tidak ada uang,” katanya, seraya asap rokok mengepul dari bibirnya petang itu.

Hanya sedikit waria yang lulus SMA

Ketua Wamarapa Yoko Dharmawan di Sekretariat Wamarapa, Malang, pada 2 Februari 2016. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler 

Organisasi Waria Malang Raya Peduli AIDS (Wamarapa) mencatat ada 438 waria di Malang Raya sepanjang 2015.

Sekitar 50 persen di antara mereka lulusan SMP, dan hanya 20 persen lulus SMA. Sisanya adalah mereka yang tamat SD atau putus sekolah di SMP. Nyaris tak ada waria yang berijazah sarjana di Malang. 

“Salah satu penyebab putus sekolah, ya bekerja. Waria lebih dihargai keluarga kalau tidak merepotkan dan sudah bisa cari uang. Akhirnya kalau sudah bekerja dan cari uang, mereka malas sekolah,” kata Yuri yang juga menjadi pendamping Wamarapa wilayah Kepanjen dan Gondanglegi.

Waria sering kesulitan mencari pengakuan dan penerimaan dari keluarga terdekat. Yuri muda mencari uang saku tambahan dengan bekerja sebagai penyiar di radio komunitas di sekitar kediamannya.

Jaringan yang bertambah membawanya berkenalan dengan seorang waria yang sering ikut ludruk dan dunia malam. Dari uang yang didapat, dia bisa membuktikan dirinya bermanfaat dan tidak merepotkan orangtuanya. 

“Saya bilang ke bapak saya, saya bisa cari uang sendiri dan semoga tidak lagi meminta uang. Bapak menjawab, yang penting jangan membuat jelek nama orang tua. Jawaban itu sudah membuat saya lega menjalani hidup sebagai waria,” akunya. 

Orangtuanya memberikan nama Sugeng Warso Enggal pada Yuri di hari lahirnya, 31 tahun lalu.

Ketua Wamarapa Yoko Dharmawan menyebutkan ada beberapa penyebab waria memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Dari hasil penggalian masalah yang dilakukan lewat beberapa kelompok pendampingan Wamarapa, kasus bullying atau perisakan di lingkungan keluarga dan sekolah menjadi salah satu penyebab dominan, diikuti penolakan dari keluarga serta faktor ekonomi keluarga.

Sebagian besar waria enggan melanjutkan pendidikan formal karena trauma akibat perisakan di masa remaja mereka.

“Dari program Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) tahun 2012-2014, sembilan puluh persen waria di-bully di usia remaja. Bentuknya verbal hingga kekerasan seksual. Pengalaman seks mereka sebagian besar di bawah usia 15 tahun,” kata Yoko yang juga dikenal dengan nama Tan Kwee Tjhien itu. 

Perisakan dilakukan keluarga terdekat, teman di sekolah, pondok pesantren, hingga oknum guru kelas. Seorang waria di Kabupaten Malang mengaku diminta untuk mengulum kemaluan guru laki-lakinya sebagai hukuman karena lemah dalam mata pelajaran olahraga. 

Program KDS berlangsung selama dua tahun dan mendapat dana dari lembaga donor United Nations Programme on HIV/AID (UNAIDS). Namun program ini kini sudah berhenti dan sekarang Wamarapa tak ada aktivitas pemberdayaan apapun.

“Di kelas pendampingan ada waria mengatakan trauma dengan guru SMP-nya karena pernah diminta mengoral,” kata Yoko yang juga pernah dilecehkan oleh saudara dan teman sepermainannya itu.

Kondisi itu kemudian diperparah tanpa adanya dukungan dan motivasi dari keluarga. “Dia kemudian putus sekolah karena trauma, takut ketemu gurunya. Keluarga juga banyak yang menyalahkan dan tidak mengakui kalau anaknya banci atau waria,” katanya.

Masa kecil waria, ujar Yoko, banyak terpojokkan ketika mendapat perlakuan perisakan di sekolah. Seperti halnya korban pelecehan seksual anak-anak pada umumnya, mereka ketakutan dan tak berani melaporkan hingga sering ditemukan dalam kondisi terlambat. 

Pada kasus ringan, guru lebih banyak menyalahkan perisakan pada perilaku korban daripada memberikan sanksi pada perisak. Seperti juga orangtua yang menghukum anak laki-lakinya karena sering bermain dengan baju perempuan dan alat make-up

“Hasil pendampingan kami mendapati bahwa guru sering menyalahkan perilaku waria yang kemayu, lembek, dan berbeda. Kebanyakan lemah dalam olahraga tapi lebih unggul dalam kemampuan lain,” ungkap Yoko.

90 persen waria adalah korban pelecehan

Trauma di masa kecil membekas lama di benak waria. Ejekan banci dan stigma negatif lain membuat mereka enggan pergi ke sekolah. Data dari survei Wamarapa menyatakan bahwa 90 persen waria di Malang Raya mengalami kekerasan seksual di usia remaja. 

Kondisi sosial dan lingkungan serta ketidaktahuan tentang identitas diri menyebabkan waria tidak percaya diri dan lemah. Kemauan untuk sekolah pun berkurang karena waria lebih nyaman berkumpul di lingkungan yang menerima kondisi mereka, sebagian besar di kelompok pekerja seks.

Tak ada motivasi dari keluarga juga membuat waria tak banyak memikirkan pendidikan dan masa depan. 

“Stigma negatif membuat saya merasa saya ini salah dan semua kekerasan seksual yang menimpa saya saat kecil adalah balasan dan dosa yang harus diterima,” kata Yoko. 

“Saya bahkan bertahun-tahun hidup dalam kebingungan itu, sebelum berani menerima kenyataan dan menjadi diri sendiri,” ujarnya. 

Lewat jalan yang berliku, pemegang gelar Putri Waria Jawa Timur 2001 itu baru terbuka menerima dirinya sebagai waria di usia 30 tahun.

Guru berkawan siswa

Yuri Firnanda mengoleskan gincu ke bibirnya. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler   

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2) Kabupaten Malang mendapati ada kencenderungan baik pelaku dan korban perisakan takut pada guru mereka, termasuk guru Bimbingan dan Konseling (BK). 

Lewat program Problem Solving antara 2013 hingga 2015, P2TP2 mendampingi ratusan anak-anak pelaku dan korban perisakan dari puluhan SMP di Kabupaten Malang, termasuk anak yang terlibat masalah kenakalan dengan sekolah. 

“Dalam kegiatan itu anak harus mengetahui masalah mereka dan cara mengatasi masalah itu. Dalam sesi tanya jawab sering mereka tak mau terbuka jika ada guru mereka di dalam kelas. Kalau ada gurunya mereka merasa tidak nyaman, guru kami minta menunggu di luar kelas,” kata Umi Khorirotin Nasihah, Konselor P2TP2 Kabupaten Malang.

Guru pun disebut sebagai salah satu pihak yang ditakuti dan dibenci pelajar yang membutuhkan perhatian khusus. 

“Guru BK seharusnya bisa memosisikan diri sebagai teman, bukan ikut memberi sanksi. Anak-anak jadi takut kepada mereka,” kata Umi. 

P2TP2 mencatat ada 44 kasus kekerasan baru pada anak-anak sepanjang 2015. Satu di antaranya dialami oleh anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual dari orangtuanya sendiri. 

“Bapaknya berperilaku menyimpang, dan menyodomi anaknya, dia masih SD,” kata Umi. Anak itu kini hidup bersama ibunya, sementara sang bapak tak tersentuh hukum lantaran kasus berakhir damai.

”Waria mengalami pemiskinan sejak dari bangku sekolah. Semua stigma negatif, kekerasan seksual yang dialami saat masa sekolah, membuat mereka trauma dan menjauhi sekolah dan pendidikan.”

Sementara itu, Kabupaten Malang berbenah untuk menjadi Kabupaten Layak Anak dengan mewujudkan sekolah ramah anak. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang Budi Iswoyo menyebut peran guru BK besar dalam mewujudkan sekolah ramah anak. 

Terdapat setidaknya satu guru BK di masing-masing di 1.167 Sekolah Dasar, 322 di Sekolah Menengah Pertama, dan 112 di Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan. Mandat itu jadi dampak wajib setelah pemerintah setempat menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang No. 11 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Anak.

Dalam pasalnya, Perda itu menegaskan sekolah wajib memberikan kesempatan pada anak-anak untuk memperoleh layanan pendidikan tanpa diskriminasi. Posisi pelajar dengan berbagai perangai dan kemampuan akademisnya tak berbeda satu dengan yang lain.

Ada anggaran sebesar Rp 500 juta di tahun ini, yang diwujudkan dalam bentuk pelatihan guru serta kelengkapan fasilitas permainan edukasi untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). 

“Anak berkecendrungan waria itu kedudukannya sama dengan anak difabel, berkebutuhan khusus. Mereka punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan seperti anak lain,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang Budi Iswoyo.

Guru dengan kompetensi khusus bertugas mendampingi siswa. Mereka berkewajiban mencari tahu tentang tindak kekerasan seksual dan diskriminasi pada siswanya, jika ada. Namun Budi mengaku selama ini tidak ada laporan tentang diskriminasi dan juga kekerasan seksual yang dilakukan guru pada siswa manapun, termasuk yang berkecenderungan waria. 

“Selama ini belum ada laporan tentang itu, jika ada dugaan itu, seharusnya tugas BK untuk mencari tahu dan mengatasinya,” katanya. 

Menurutnya, guru ditakuti siswa bukan karena guru yang galak dan tak bisa menjadi teman, tetapi karena siswa takut akibat kesalahan yang telah diperbuat. 

“Mereka takut pada guru, ya karena bersalah itu, jadi takut dan segan” ujarnya.

Waria sarjana mampu berbuat banyak

Merlyn Sopjan, salah satu waria berprestasi. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler 

Dari ratusan waria di Malang, nama Merlyn Sopjan dikenal luas. Artikel tentang Merlyn bahkan sempat keluar di laman The New York Times. Ketika itu, Merlyn mencoba ikut menjadi peserta Pemilihan Wali Kota Malang pada 2003.

Di Pilkada langsung yang pertama itu, Merlyn yang maju lewat jalur independen gagal pada tahap pendaftaran. Dia datang lima menit terlambat dari jadwal menyerahkan formulir.

Di tahun berikutnya, waria kelahiran Kediri 43 tahun lalu itu kembali mencoba terjun ke politik dengan mengikuti bursa pemilihan legislatif. Melenggang lewat Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Merlyn yang meraup pundi suara cukup banyak, tak berhak duduk di DPRD Kota Malang saat itu. 

“Saya berada di peringkat kedua calon dengan peraih suara terbanyak, tetapi yang berhak duduk di DPRD ya calon nomor urut satu. Saat itu motivasi saya hanya satu, menegaskan bahwa hak dan kewajiban waria tak berbeda dengan warga lain,” kata Merlyn.

Waria bernama lahir Ario Pamungkas itu bisa berkompetisi di dunia politik setelah menyelesaikan pendidikan sarjana dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Prestasinya tak berhenti di situ, pada 2006 Merlyn menjuarai kontes Putri Waria Indonesia. 

Kini pemilik rambut ikal sebahu itu dipercaya sebagai Project Officer di Program Peduli milik Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta sejak 2014 hingga akhir tahun ini. Di sana, mantan Ketua Ikatan Waria Malang (Iwama) yang juga penulis beberapa buku itu dipercaya membawakan program besar, memberdayakan masyarakat marjinal di Nusantara.

Seperti kelompok minoritas lainnya, waria juga rentan diskriminasi. “Dari sini semakin terlihat, waria mengalami pemiskinan sejak dari bangku sekolah, semua stigma negatif, kekerasan seksual yang dialami saat masa sekolah membuat mereka trauma dan menjauhi sekolah dan pendidikan,” kata Merlyn.

“Akibatnya, pendidikan mereka rendah dan tak bisa berkompetisi dalam pekerjaan,” ujarnya. 

Merlyn beruntung, orangtuanya mau menerima kondisinya dan memberikan akses pada pendidikan layak.

Tentang sapi dan fajar pagi

Maya mencari pelanggan di Jalan Trunojoyo, Kota Malang, pada 16 Maret 2016. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler   

Kamis dini hari, 17 Maret, Maya menepuk tangan di udara dengan keras, sambil memanggil seorang pria yang sedang melintas di sebuah jalan di Kota Malang. Mencari perhatian agar pengendara motor itu meliriknya, atau bahkan berhenti untuk bertransaksi.

Hidung dan dagunya berlekuk lancip, hasil suntik silikon beberapa tahun silam. Ada aroma melati menyeruak segar dari tubuhnya. Maya setia menunggu pelanggannya setiap pukul 01:00 dini hari hingga subuh tiba. 

Katanya, waria lebih aman dari operasi petugas jika keluar dini hari. Sama seperti banyak waria lain di Malang, waria yang pandai menari jathilan dalam kelompok reog itu putus sekolah di tahun pertama SMP.

Masa kecilnya diwarnai dengan pukulan dan tendangan dari orang tua yang tak suka ketika Maya berulah mengenakan baju perempuan. Hukumannya terhenti ketika ia keluar dari bangku SMP untuk mengikuti kakaknya bekerja di Lampung. 

Saat ini, bagi waria berusia 37 tahun itu, hidup cukup sederhana jika ada sepasang sapi di kandang dan seorang keponakan yang mau menerima dirinya di masa tua. 

“Ayahku veteran pejuang ’45, sekolahku putus kelas satu SMP di Wonokerto, Bantur (Kabupaten Malang). Sekarang aku punya sapi sejodoh (jantan dan betina) dirawat keponakan, nanti kalau sudah tua biar sapiku diambil ponakan yang mau merawatku,” ucap Maya. 

Dia mengaku bahagia jika ayahnya kini mau menyapanya dengan panggilan Maya ketika ia pulang ke rumah. Di akhir percakapan dengan Rappler, Maya kemudian pamit dan berjalan menjauh, mendekati ruas jalan dengan penerangan yang cukup. Melanjutkan pekerjaannya sejak 19 tahun terakhir, dan mengakhirinya saat adzan Subuh berkumandang. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!