Mantan pecandu tepati nazar untuk menolong pengguna narkoba

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mantan pecandu tepati nazar untuk menolong pengguna narkoba
Kadang-kadang yang bisa mengerti pecandu adalah orang yang pernah menjadi pecandu

JAKARTA, Indonesia – Ketika diterbangkan ke Jakarta pada 2004, Alfons Supit Legoh optimistis akan segera sembuh dan kembali bekerja. Dokter-dokter yang merawatnya di Tegal dan Semarang, Jawa Tengah, memang mendiagnosa dia menderita tifus.

Tetapi dokter-dokter di Jakarta tidak mudah percaya. Mereka meminta Alfons untuk segera menjalani beberapa tes laboratorium.

Hasilnya? Pria yang pada saat itu masih berumur 29 tahun dinyatakan positif AIDS. CD4-nya tinggal 5, berat badannya pun susut menjadi 27 kilogram. Para dokter mewanti-wanti kalau dia hanya mampu bertahan hidup satu bulan saja. Maksimal.

“Tuhan, saya kan sudah bertobat. Kenapa saya masih dihukum?” ungkap Alfons dalam hati ketika itu.

Dalam tubuh orang sehat, jumlah normal CD4, yaitu sel darah putih yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh, mencapai antara 500 sampai 1.500 sel per milimeter kubik darah. 

Alfons memang sudah berhenti mengonsumsi narkoba (heroin) sejak pertengahan 2000. Pada waktu itu, dia baru saja kembali ke rumah setelah menjalani terapi selama satu tahun di sebuah rumah rehabilitasi di Sentul, Bogor, Jawa Barat.

“Ketika kembali ke rumah, saya mendapat cerita mengenai sahabat-sahabat yang meninggal karena ditembak di tempat atau di rumah karena penyakit, kebanyakan karena AIDS. Saya takut menjadi korban berikutnya. Saya merenung dan membulatkan tekad untuk berhenti pakai narkoba dan memulai hidup baru,” kata Alfons kepada Rappler.

Sekarang dia tahu metanoia itu datang agak telat.  Dia hanya bisa menangis. Dia pasrah, tetapi juga berharap. Berharap Tuhan memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi.

“Saya bernego dengan Tuhan. Tuhan, kalau boleh jangan ambil nyawa saya sekarang. Saya ingin mengabdi, membalas jasa orangtua. Saya ingin menolong para pecandu narkoba dan orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS,” begitu doa Alfons, seolah bernazar. 

Ingin hidup bebas

Alfons datang dari keluarga cukup berada. Sebelum pensiun, bapaknya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dan penting di perusahaan minyak negara PT Pertamina. Keluarganya pun taat beribadah dan rukun. Tetapi, dia tetap merasa kurang beruntung.

“Bapak sangat otoriter. Dia mengatur semuanya: belajar, nonton, bermain, dan tidur, semua ada jadwalnya. Sangat ketat,” kata pria yang lahir pada 25 September 1975.

Ketika ayahnya pensiun pada 1988, mereka semua pindah ke Jakarta dari Riau. Di ibu kota negara ini, mereka menempati rumah “jatah pensiunan Pertamina” di Pondok Kopi, Jakarta Timur.  

Alih-alih mencari teman baru, Alfons yang masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar saat itu bergabung dengan salah satu komunitas di kompeks perumahannya.

“Mereka kasih syarat: boleh bergabung tetapi harus ikut merokok (ganja). Saya tidak punya pilihan,” Alfons menjelaskan awal perkenalannya dengan narkoba.

“Saya bernego dengan Tuhan. Tuhan, kalau boleh jangan ambil nyawa saya sekarang. Saya ingin menolong para pecandu narkoba dan orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS.”

Awal bergabung, Alfons mendapat rokok dari sang bandar, seorang anggota kelompok yang mengaku mahasiswa di salah satu universitas terkenal di bilangan Jakarta Barat. Tentu saja dia mendapat ganja gratis dan tanpa sepengetahuan ayah dan anggota keluarga lain.

“Di keluarga, saya cuma takut sama Bapak. Sementara ibu dan kakak-kakak atau adik-adik, tidak saya anggap,” kata anak ke-10 dari 12 bersaudara ini.

Ketika ayahnya meninggal pada 1992, Alfons sudah mengenal berbagai jenis narkoba: ganja, sabu, heroin, morfin, pil ekstasi, dan berbagai macam lainnya. Dia juga sudah naik kelas dari pengguna ke pengedar juga dengan target utama sesama pelajar.  

“Bagi saya, menjual narkoba menjadi satu-satunya cara untuk memastikan saya mempunyai stok untuk konsumsi sendiri,” kata Alfons.

Sang bandar memang selalu memberi Alfons produk untuk dia konsumsi dan untuk dijual. Dan itu lumrah dipakai oleh hampir semua bandar narkoba untuk membangun loyalitas.  

Sukses di antara sesama pelajar, Alfons merambah ke universitas dan pub-pub di ibukota. Targetnya tentu saja para mahasiswa dan mahasiswi serta pengunjung klub malam. Tempat-tempat yang sering dikunjungi orang muda seperti Jalan Asia-Afrika di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, juga disambangnya. 

Tak heran pelanggannya terus bertambah banyak dan bervariasi. Ada anak tokoh agama berpengaruh, anak politisi nasional, dan anak tentara yang mempunyai kedudukan tinggi di kesatuan mereka.

“Banyak pelanggan saya yang awal bertemu mengendarai mobil ke mana-mana dan balapan di Jalan Asia-Afrika. Mereka lucu-lucu, ganteng, dan cantik. Setelah bergaul dengan narkoba, dalam hitungan bulan, mobil mereka hilang diganti dengan motor. Beberapa bulan kemudian, motor hilang diganti dengan sepeda. Sepeda hilang juga dan mereka harus jalan kaki,” ujar Alfons.

Alfons berbicara di depan anggota Tentara Nasional Indonesia mengenai bahaya narkoba. Foto: Dokumen Alfons Supit

Tetapi itu bukan masalah Alfons. Bagi dia, yang terpenting bisnis lancar.

“Dalam satu hari saya bisa melayani sampai 100 pelanggan dengan total omzet mencapai Rp 10 juta,” kata Alfons.

Sekadar perbandingan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 1993 dan 1994 berkisar antara Rp 2.110 dan Rp 2.200 per dolarnya. Artinya, omzet Alfons pada saat itu mencapai hampir US$ 4.750 per hari.

“Dari nilai tersebut, saya mendapat komisi antara Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta,” katanya.

Tetapi uang tidak pernah menjadi tujuan Alfons menjual narkoba. Apalagi kondisi ekonomi keluarga masih sangat baik pada saat itu dan keluarga pun masih bisa memenuhi kebutuhan dia kalau diminta.

“Jadi, hasil penjualan narkoba itu hanya untuk memenuhi kebutuhan narkoba saya sendiri,” kata Alfons. 

Tingkat adiksi Alfons sudah sangat tinggi antara 1992 sampai 1997. Pada suatu fase, dia harus disuntik dengan heroin setiap dua jam dengan dosis 0.1 gram sampai 0.5 gram.

“Itu semua kembali ke uang. Kalau tidak, tubuh saya sakit sekali,” ujar Alfons.

Harga satu gram heroin di pasar gelap saat ini bisa mencapai lebih dari Rp 2 juta.

Selain menyebabkan ketergantungan, narkoba juga meningkatkan dorongan seksual. Hampir bisa dipastikan, menurut Alfons, para pecandu, atau siapapun yang mengonsumsi narkoba, akan mencari pelampiasan. 

“Dulu saya melakukannya dengan pelanggan perempuan saya. Saya butuh, mereka juga butuh. Itu normal aja,” katanya.

Dalam banyak kasus, kata Alfons, pecandu perempuan tidak mampu membayar barang yang mereka konsumsi. “Mereka rela membayar dengan tubuh mereka,” ujarnya. 

“Kami sewa satu rumah tidak jauh dari rumah saya sebagai basecamp. Kami sering melakukan pesta narkoba dan pesta seks di sana tanpa diketahui orang lain,” kata Alfons.

Ditangkap lalu dilepas

Menjual barang haram seperti narkoba tentu mempunyai resiko. Tetapi itu tidak berlaku untuk Alfons. Beberapa kali dia dihentikan anggota polisi yang sedang melakukan razia. Mereka memeriksa tas Alfons dan menemukan ganja, sabu, heroin, pil ekstasi, dan berbagai jenis narkoba lain.  

“Tetapi sering saya dipersilakan pergi setelah saya tunjukkan kartu nama anggota satuan atau tokoh nasional yang berpengaruh. Padahal saya cuma tahu anak mereka yang menjadi pelanggan saya”.

“Dua kali saya ditahan di Polsek dan Polres. Saya beritahu teman-teman bahwa saya ada di kantor polisi. Mereka langsung tahu dan datang membawa uang. Setelah itu, saya dilepaskan tanpa ditanya satu kata pun,” tutur Alfons.

Melayani 100 orang pelanggan setiap hari bukanlah perkara mudah. Apalagi mereka tersebar di berbagai sudut kota Jakarta. Alfons tidak kehilangan akal. Dia mendekati warung kopi atau warung makanan di pinggir jalan dekat rumah tinggal pelanggan.  

“Bila ada stok, warung rokok atau warung makanan tersebut menyalakan lilin atau lampu. Para pelanggan datang berpura-pura membeli rokok dan dikasih korek api yang sudah diisi dengan narkoba,” ungkapnya.

Lain lagi kalau menjual narkoba di pub, diskotik, atau tempat yang ramai dikunjungi orang. “Biasanya, para pengedar membawa senter yang sesekali mereka nyalakan sebagai isyarat mereka mempunyai barang,” katanya.

“Kalau ada razia, kami selalu dapat bocoran. Biasanya saya dapat dari bandar saya. Dia tahu persis polisi-polisi yang akan melakukan razia. Sang bandar juga menentukan apakah saya harus hindari tempat yang dirazia atau tetap menjual seperti biasa,” katanya.

Pulang untuk pergi

Lama mengonsumi narkoba membuat Alfons sangat tergantung pada heroin. Pendapatan dari menjual narkoba pun tidak cukup lagi untuk membeli heroin. Pada 1997, dia pulang ke rumah, bukan karena sudah berhenti memakai tetapi karena ingin menjual barang-barang di rumah.

“Lama-kelamaan keluarga curiga juga karena makin banyak barang di dalam rumah yang hilang. Mereka tanya saya dan saya mengaku terus terang kalau saya menjual barang-barang itu untuk membeli narkoba,” katanya.

Tidak lama berselang, telepon rumah berdering. Ibunya menjawab dengan sigap. Di ujung telpon ada suara laki-laki memberitahu Alfons harus diungsikan dari rumah kalau masih ingin dia hidup. Tidak jelas siapa pemilik suara itu, tetapi cukup membuat keluarga cemas kalau Alfons menjadi target operasi polisi.

Pada tahun itu juga, keluarga mengungsikan Alfons ke Ternate, Maluku Utara. Setahun di Ternate, dia kembali ke Jakarta tetapi diungsikan ke Denpasar sebelum membawanya ke salah satu rumah terapi religi di Sentul.

“Saya ditipu waktu mau direhab di Sentul. Saya diajak menonton balapan mobil di sirkuit Sentul tetapi ternyata saya dibawa ke tempat rehabilitasi,” kata Alfons.

Setahun mengikuti terapi religi tidak membuat Alfons meninggalkan narkoba. Ini terbukti pada hari dia keluar dari rehabilitasi, dia masih sempat mengonsumsi narkoba sebelum pulang ke rumah. Metanoia justru terjadi ketika mendengar cerita mengenai sahabatnya di komunitas yang mati ditembak di tempat atau meninggal karena AIDS.

“Saya takut menjadi korban berikutnya. Saya merenung dan membulatkan tekad untuk memulai hidup baru tanpa narkoba,” katanya. 

Alfons membuktikan tekadnya itu dengan keluar dari rumah keluarga di Pondok Kopi pada 2001. Pada 2002, dia diterima di sebuah perusahaan di Semarang, Jawa Tengah.

“Pada 2004, tiba-tiba saja saya pingsan saat mengikuti meeting dengan salah satu manajer di Tegal. Saya dilarikan ke sumah sakit lokal dan didiagnosa menderita tifus. Karena tidak kunjung sehat, saya dilarikan ke Semarang. Tetapi kondisi fisik saya terus memburuk. Berat tubuh turun sampai 27 kilogram, betul-betul tinggal tulang,” kata Alfons.

Alfons (depan, tengah) bersama aktivis lain menjadi narasumber bagi narapidana narkoba. Foto: Dokumen Aflons Supit

Kawan di perjalanan

Kini, berat badan Alfons telah kembali. Sesuai dengan nazarnya, dia aktif membantu para pecandu dan orang yang hidup dengan HIV/AIDS di beberapa rumah rehabilitasi di Jakarta dan Depok sejak 2007.

“Saya hanya bisa memberikan mereka motivasi. Saya beritahu mereka pasti Tuhan memberi jalan. Apa pun agama mereka, siapa pun Tuhan mereka, pasti ada jalan. Yang penting kita terus dekatkan diri dengan Tuhan,” kata Alfons yang mengaku pernah berlatih dengan beberapa klub bola basket di Jakarta. 

Menurut Alfons, nasihat untuk tidak menyerah ini sangat relevan mengingat para pecandu narkoba dan terutama orang yang hidup dengan HIV/AIDS sering tidak diterima oleh masyarakat, termasuk oleh anggota keluarga mereka sendiri. 

Sejak satu setengah tahun lalu, Alfons menjadi Program Manager Rumah Pemulihan Gerakan Mencegah Daripada Mengobati (GMDM) Cares di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Dan uniknya, dia memilih hidup bersama para pecandu peserta rehabilitasi. 

“Saya mungkin satu-satunya program manager narkoba yang tinggal bersama klien. Saya lakukan ini karena saya betul-betul ingin menolong mereka supaya sembuh,” akunya.

“Kalau saya tinggal bersama mereka selama 24 jam sehari, saya bisa pantau kondisi mereka dan mengerti karakter mereka sehingga bisa menolong secara maksimal.”

Rumah Pemulihan GMDM Cares sendiri didirikan 1.5 tahun lalu dan Alfons menjadi program manager pertama. Dalam usianya yang masih belia, GMDM Cares telah merehabilitasi 23 orang. Sebanyak 7 orang lagi sedang menjalankan program yang bervariasi dari tiga sampai 9 bulan.

Terkadang, dia juga diundang Badan Narkotika Nasional (BNN), lembaga yang ditugaskan untuk memberantas peredaran narkoba ilegal di Indonesia, untuk memberikan penyuluhan mengenai dampak penyalahgunaan narkoba.

“Mungkin mereka mau memakai saya sebagai contoh, tetapi saya tidak berkeberatan. Saya selalu beritahu jujur bahwa saya mantan pecandu dan lebih dari itu hidup dengan AIDS,” kata Alfons.

Alfons senang sang istri, yang dia nikahi pada 2012, mendukung kegiatannya dan mau tinggal bersama pecandu narkoba di rumah rehabilitasi.

“Saya nikahi istri saya tahun 2012. Saya jujur memberitahu calon istri (sekarang istri) bahwa saya mantan pecandu dan lebih dari itu hidup dengan AIDS. Mendengar pengakuan saya, dia membaca berbagai literatur mengenai HIV/AIDS dan berkesimpulan bahwa orang dengan AIDS tidak perlu ditakuti. Dia menerima saya seperti apa adanya,” ujarnya.

Setelah delapan tahun lebih membantu pecandu narkoba dan orang dengan AIDS, Alfons sekarang bermimpi untuk suatu saat dia dan istrinya bisa mendirikan rumah rehabilitasi sendiri.

“Kami mempunyai hati yang selalu mau mengabdi. Kami ingin pecandu yang kembali ke masyarakat tidak jatuh lagi. Kadang-kadang yang bisa mengerti pecandu adalah orang yang pernah menjadi pecandu,” kata Alfons. —Rappler.com

 BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!