Dilema ‘coming out’ kepada orangtua

Kell Allan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dilema ‘coming out’ kepada orangtua
Perdebatan batin seorang pria untuk mengatakan pada ibunya bahwa ia adalah seorang gay dan agnostik

 

Hampir setiap malam ibu meneleponku. Bahkan dalam satu malam, ibu bisa meneleponku lebih dari sekali.

Sebagai seorang mahasiswa perantauan, menurut ibuku itu wajar. Orangtua selalu memiliki keinginan untuk berbicara dengan anaknya. Sayangnya, apa yang dia sampaikan selalu saja sama. Biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan sepele seperti apakah aku sudah makan, sudahkan aku sembahyang, atau ke mana saja aku hari ini, dan apa yang aku lakukan esok harinya. 

Aku pun selalu mejawab dengan jawaban yang sama seperti “iya” beberapa kali, atau “ke kampus”. Walaupun tidak semua jawaban itu benar.

Terkadang risih juga karena biasanya telepon berdering di saat yang tidak tepat. Akhirnya aku memilih untuk membuat ponselku diam dan tanpa getar. Jadi tak sedikit panggilan dari ibuku yang terlewatkan. Tapi itu tak membuat semuanya menjadi lebih baik. Malah ada lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan curiga yang tak perlu. Pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar membuatku tak nyaman.

Ibuku jelas sekali terdengar takut jika aku sampai bergaul sangat bebas. Pembicaraannya berkutat dalam larangan-larangan bergaul dengan teman lawan jenis. Pertama, aku tidak diperbolehkan bermain ke tempat teman perempuan. Kedua, aku tak diperbolehkan mengajak teman perempuan ke kamar kostku. Ketiga, minimal harus ada tiga orang jika ingin kemana-mana dengan perempuan.

Kecurigaan ibu berasal dari banyak sekali kabar tak baik dari mulut-mulut tetangga. Namun ketakutan terbesarnya adalah bahwa aku melakukan hubungan seks di luar nikah dan membuat pasanganku hamil dan harus menikahinya.

Ada rasa maklum sebagai seorang anak. Tinggal di sebuah lingkungan yang cukup relijius, wajar saja ketakutan semacam itu datang. Apalagi jarak kami yang jauh membuat ibu tak bisa mengawasiku dengan mudah. Diam-diam aku merasa bersalah juga.

Pertama, aku sangat sering main ke kamar kost teman perempuan. Bahkan tak jarang teman perempuan menginap di kostku, hanya berdua denganku. Tapi ketakutan ibu sama sekali tidak perlu. Aku tak pernah melakukan apa-apa seperti yang ditakutinya. Karena sebenarnya aku gay, yang tak memiliki nafsu kepada lawan jenisnya.

Sempat bercerita kepada teman-teman dekatku tentang kebingungan itu, mereka menasihatiku agar aku tidak menjatuhkan bom. Menurut mereka, kalau aku ingin jujur maka aku harus pelan-pelan agar orangtua bisa menerimanya dengan tenang. Aku pun mengiyakan dan menjadi sedikit tenang. Nasihat mereka yang aku ikuti selanjutnya adalah meyakinkan ibu bahwa ketakutannya takkan pernah terjadi.

Tapi ibu menelepon lagi. Dan karena satu kalimat yang tak sengaja aku ucapkan, perdebatan pun terjadi. Kalimat itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orientasi seksualku, melainkan tentang keyakinanku yang akhirnya baru aku sadari akan menjadi masalah kedua.

Saat ibu menyuruhku sembahyang supaya kuliahku lancar, aku jawab dengan lelucon bahwa banyak juga senior-seniorku yang tak pernah meninggalkan sembahyang tetapi kuliahnya tetap mandek. Tapi alih-alih membuat ibu tersenyum, aku diberi ceramah panjang dan dituduh tak memercayai Tuhan. Kenyataannya, aku bukan ateis, hanya agnostik.

Saat itulah aku menyadari bahwa aku memang sedang menunggu bom waktu. Aku harus come out (melela) kepada kedua orangtuaku tentang dua hal besar: Orientasi seksual dan keyakinan. 

Itu bukanlah hal yang bisa dianggap main-main. Setidaknya tidak bagi kedua orangtuaku yang Muslim konservatif itu. Belum lagi masalah-masalah lain yang akan muncul sebagai akibat dari terbukanya siapa aku sebenarnya.

Meski semuanya masih di dalam kepalaku sendiri, aku tahu apa yang akan terjadi: Penghakiman dari masyarakat. Bukan hanya untukku tetapi untuk keluargaku. Bukan main betapa akan terpuruknya kedua orangtuaku saat mendengar tetangganya berkata bahwa anak satu-satunya itu takkan memberikannya menantu yang cantik, apalagi cucu.

Sekali lagi aku mengingat pesan teman terdekatku, jangan terlalu dipikirkan. Saat waktunya datang, maka yang terjadi pasti terjadi. Dan aku pun mulai kembali santai. Tapi sedikit demi sedikit aku mulai memberikan petunjuk-petunjuk kecil tentang siapa aku sebenarnya. 

Saat ibu menelpon, aku pun langsung menjawab “tidak” saat ditanya apakah aku sudah sembahyang. Jawaban tersebut bisa ditebak membuat ibu kembali menguliahiku. Tapi kali ini aku tak bisa diam. Aku mulai menyampaikan sedikit demi sedikit kritik yang aku pikir cukup masuk akal.

Namun tak ada berita baik. Tak seperti yang aku duga. Baru saja aku menyampaikan satu kalimat, ibu langsung menjawab bahwa aku telah berbicara melenceng dan tuduhan ateis semakin menguat. Itu membuat aku terdiam. Sempat berpikir untuk mengajak ibu berbicara tentang LGBT, tetapi aku mengurungkannya karena itu bukan ide bagus mengingat betapa buruknya pemberitaan terhadap kaum kami di media baru-baru ini.

Tiba-tiba pikiran terburuk muncul dalam benakku: aku langsung ditolak mentah-mentah saat aku berkata jujur, diusir dari rumah, dan ibu jatuh terkena stroke. Mimpi terburuk yang takkan pernah aku harapkan tapi bisa saja terjadi.

Tak jarang ibu mengancamku seperti apa yang aku bayangkan itu. Dan kejadian itu benar-benar pernah terjadi dalam keluarga besarku, saat seorang kerabat menjadi stres dan sakit jiwa saat anak gadisnya menikahi seorang pria dari agama lain dan meninggalkan Islam demi suaminya.

Kejadian itu terjadi beberapa tahun sebelum aku lahir. Sejak saat itu sang anak yang juga langsung diusir itu tak pernah kembali lagi dan ibunya pun masih saja hidup dalam keadaan yang mengenaskan. Aku tak ingin itu terjadi padaku dan keluargaku.

Tapi di sisi lain, aku tak mau menjadi orang yang tak bahagia. Melakukan ritual yang tak aku yakini ataupun menikahi orang yang tak aku cintai bukanlah hidup yang ingin aku jalani. Apalagi sampai memiliki anak. Karena aku yakin bahwa walaupun nafsu bisa dikontrol, ia membutuhkan pelampiasan juga. Berbeda dengan pasangan heteroseksual yang melampiaskannya dengan pernikahan, kasusku berbeda. Dan sangat bodoh sekali rasanya terus menerus mengikuti ajaran yang sama sekali tak cocok dengan hatiku.

Aku tak ingin terus menerus berbohong. Aku benar-benar bingung. Aku seperti telah sampai di jalan buntu. Diamku akan menyiksaku. Namun aku takut pernyataan jujur akan membuat kedua orang tuaku merana. —Rappler.com

Kell Allan, seorang pria yang selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan, namun masih percaya dengan caranya sendiri. Dia juga percaya Tuhan mencintainya apapun yang terjadi. 

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Magdalene.co

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!